Amnesti
(dari
bahasa Yunani
,
amnestia
) secara harfiah berarti melupakan, adalah tindakan menghapuskan hukuman pidana yang telah dijatuhkan maupun belum dijatuhkan kepada orang-orang. Hukum amnesti memiliki karakteristik khusus, yakni berlaku surut (
retroactive
), karena hanya berlaku untuk tindakan yang dilakukan sebelum ditetapkan. Amnesti merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berdiri sendiri, sehingga harus digunakan secara terbatas.
[1]
Amnesti diberikan oleh badan hukum tinggi negara semisal badan
eksekutif
,
legislatif
atau
yudikatif
. Praktik amnesti berawal ketika pemerintah
Athena
(Yunani) memberi pengampunan kepada "Tiga Puluh Tiran", yakni para pemimpin otoriter opresif yang berkuasa sebelumnya. Amnesti juga digunakan dalam konteks konflik antarnegara di Eropa. Di benua lain seperti
Amerika
dan
Asia
, amnesti digunakan untuk menyelesaikan konflik intranasional maupun antarnegara.
[2]
Di
Indonesia
, amnesti merupakan salah satu hak
presiden
di ranah yudikatif sebagai akibat penerapan sistem
pembagian kekuasaan
.
[3]
Presiden dapat memberikan amnesti kepada orang-orang yang telah melakukan tindak pidana setelah mendapat nasihat tertulis dari
Mahkamah Agung
(MA) atas permintaan Menteri Hukum dan HAM. Amnesti diatur dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1954. Di Pasal 1 disebut, "Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman".
[4]
Sebelum amandemen
Undang-Undang Dasar 1945
, amnesti menjadi salah satu hak absolut Presiden di samping
grasi
,
abolisi
, dan
rehabilitasi
. Namun, setelah amandemen 1945, Presiden harus mendapatkan pertimbangan MA atau
Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dengan tujuan untuk meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden.
[4]
Praktik amnesti pernah diterapkan kepada para pemberontak atau tahanan politik Indonesia pada era
Orde Lama
dan Reformasi.
[2]
Akan tetapi tidak semua hukuman pidana dapat diberikan amnesti.
Hukum internasional
tentang
hak asasi manusia
dan humaniter melarang pemberian amnesti terhadap kasus kejahatan internasional, seperti
genosida
, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Selain itu kejahatan penyiksaan, eksekusi ekstra-yudisial atau di luar proses hukum, perkosaan, serta penghilangan paksa, juga tidak diperbolehkan mendapatkan amnesti.
[2]