Kekhalifahan Abbasiyah
(
Arab
: ??????? ????????,
al-khil?fah al-‘abb?s?yyah
) atau
Bani Abbasiyah
(
Arab
: ?????????,
al-‘abb?s?yy?n
) adalah
kekhalifahan
ketiga
Islam
yang berkuasa di
Baghdad
(sekarang ibu kota
Irak
) dan kemudian berpindah ke
Kairo
sejak tahun 1261. Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dunia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari
Bani Umayyah
dan menundukkan semua wilayahnya kecuali
Andalusia
. Bani Abbasiyah merujuk kepada keturunan dari paman
Nabi
Muhammad
yang termuda, yaitu
Abbas bin Abdul-Muththalib
(
566
-
652
), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam
Bani Hasyim
. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibu kota dari
Damaskus
ke Baghdad. Berkembang selama tiga abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa
Turki
yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama
Mamluk
. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut
amir
atau
sultan
. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri,
Maghreb
dan
Ifriqiya
kepada
Aghlabiyyah
dan
Fatimiyah
. Kejatuhan totalnya pada tahun
1258
disebabkan serangan bangsa
Mongol
yang dipimpin
Hulagu Khan
yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad. Kekhalifahan Bani Abbasiyah berlanjut di Kairo mulai tahun 1261 dibawah naungan
Kesultanan Mamluk
Mesir. Kekhalifahan di Kairo ini berakhir ketika Mesir di taklukan
Kesultanan Utsmaniyah
tahun 1517 dan gelar khalifah di klaim oleh dinasti Utsmaniyah Turki.
Keturunan yang berasal dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat tinggal di
timur laut
Tikrit
,
Iraq
sekarang.
Propaganda pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz
[
sunting
|
sunting sumber
]
Pada zaman pemerintahan
Umar ibnu Abdul Aziz
, tidak ada keistimewaan Bani Umayah daripada saudaranya sesama Islam. Rakyat bebas menyatakan pendirian, asalkan jangan mengganggu ketenteraman umum. Meskipun sikap ini benar, kebijakan ini justru melemahkan pemerintahan Bani Umayah yang didirikan atas kekerasan (despotisme). Oleh sebab itu, diam-diam orang berusaha mengatur propaganda untuk mendirikan Daulah Bani Abbas.
[1]
Meskipun yang melakukan propaganda ini Bani Abbas sendiri, nama Bani Abbas tidaklah begitu ditonjolkan. Mereka justru mencatut nama Bani Hasyim, agar tidak terpecah antara pengikut Ali dan Bani Abbas, karena keduanya sama-sama dari Bani Hasyim. Sejak dahulu, Bani Umayah tidak pernah memusuhi Bani Abbas, melainkan hanya terhadap Bani Ali. Kalau Bani Abbas menyatakan penuntutan pangkat khalifah untuk dirinya sendiri, tentu kurang banyak pengikutnya.
Pusat propaganda ada di dua tempat, yaitu Kufah dan Khurasan.
[1]
Kufah terhitung negeri baru di wilayah Irak, dan Irak pada masa itu termasuk dalam daerah Persia. Khurasan pun termasuk dalam daerah Persia. Keduanya menjadi pusat perkumpulan rahasia itu sebab Bani Umayah sendiri kuat kedudukannya di kalangan bangsa Arab, sedangkan daulah yang akan berdiri ini hendak berpusat pada Persia, bukan ke Arab. Di kedua negeri itu, banyak orang yang merasa kurang senang jika khalifah tidak dipegang oleh Bani Hasyim, padahal merekalah yang dekat hubungannya dengan Rasul.
Mereka mengangkat 12 orang propagandis.
[1]
Kedua belas orang tersebut mengembara di negeri Khurasan, Kufah, Irak, lalu mendatangi Mekah pada musim haji. Mereka mengincar orang yang menentang kezaliman pemerintahan Bani Umayah. Diterangkan pula tentang bagaimana keturunan Bani Hasyim yang asli telah didesak dan dirampas hak turun-temurun yang mereka terima dari Rasul. Salah satu propagandis yang terkenal ialah Abu Muslim al-Khurasany. Ia mula-mula berpropaganda dengan terang terangan di negeri Maru. Disuruhnya seisi negeri berkumpul. Diadakannya pidato yang mengkritik pemerintah sekarang.
Muhammad bin Ali
,
cicit
dari
Abbas
menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di
Parsi
.
[
butuh rujukan
]
Para penyebar Islam Semenanjung Arabia yang merupakan Kekhalifahan Abbasiyah atau Bani Abbasiyah, Keturunan dari Ahlul Bait Sayyidina Hussenin di Pulau Perca pada Abad ke-7 Masehi pada tahun 623 Masehi yakni Syaikh Ushuluddin, Bicitram syah, Sultan Alaudin Mughayat, Sultan Ratu Ngegalang Paksi dari Sultan Ratu Mumelar Paksi anak cucu dari Sayyidina Hussein memiliki tujuan khusus penyebar Islam di Pulau Perca dan mempengaruhi berdirinya kerajaan-kerajaan di pulau tersebut, bukti-bukti penyebaran Islam diantaranya tatanan adat yang masih hidup serta berjalan hingga sekarang, masjid dan makam-makam, sejarah adat dan budaya Islam menumbuhkan cinta tanah air dan memperkuat identitas bangsa.
[2]
[3]
Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah
Marwan II
, pertentangan ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun
750
,
Abu al-Abbas al-Saffah
berhasil meruntuhkan Daulah Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah.
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan
kekhalifahan
selama lima abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya
Islam
dan menyuburkan
ilmu pengetahuan
dan pengembangan
budaya
Timur Tengah
. Tetapi pada tahun
940
kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-
Arab
, khususnya orang
Turki
(dan kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir pada pertengahan
abad ke-13
), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan umat
Islam
. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian,
Said bin Husain
, seorang muslim
Syiah
dari dinasti
Fatimiyyah
mengaku dari keturunan anak perempuannya Nabi
Muhammad
, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun
909
, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah
Afrika Utara
. Pada awalnya ia hanya menguasai
Maroko
,
Aljazair
,
Tunisia
, dan
Libya
. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke
Mesir
dan
Palestina
, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun
1171
. Sedangkan
Bani Umayyah
bisa bertahan dan terus memimpin komunitas
Muslim
di
Spanyol
, kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun
929
, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun
1031
.
Kekalifahan Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Kekalifahan sebelumnya yakni Bani Umayyah, dimana pendiri dari kekalifahan ini adalah
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas
Rahimahullah
. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
- Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh
Persia
pertama. Dimulai dari pengangkatan Khalid Bin Barmak sebagai pengganti dari Abu Muslim Al Khurasani Menjadi Wazir dan keluarganya pun mengisi posisi-posisi penting dalam Pemerintahan Abbasiyyah.
- Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh
Turki
pertama.
- Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti
Bani Buwaih
dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
- Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah
Bani Seljuk
dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali)
Kesultanan Seljuk Raya
(salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
- Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota
Baghdad
dan diakhiri oleh invasi dari bangsa
Mongol
.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para
khalifah
betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan
filsafat
dan ilmu pengetahuan dalam
Islam
. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan
Abu al-Abbas
, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh
Abu Ja'far al-Manshur
(754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari
Bani Umayyah
,
Khawarij
, dan juga
Syi'ah
. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh
khalifah
sebelumnya di
Syria
dan
Mesir
dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan
Abu Muslim al-Khurasani
melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya
ibu kota
negara adalah
al-Hasyimiyah
, dekat
Kufah
. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya,
Baghdad
, dekat bekas ibu kota Persia,
Ctesiphon
, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa
Persia
. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat
Wazir
sebagai koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah
Khalid bin Barmak
, berasal dari
Balkh
,
Persia
. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk
Muhammad ibn Abdurrahman
sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekadar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah
al-Manshur
berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di
Asia
, kota
Malatia
, wilayah
Coppadocia
dan
Cicilia
pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi
pegunungan Taurus
dan mendekati
selat Bosphorus
. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar
Constantine V
dan selama gencatan senjata 758-765 M,
Bizantium
membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan
Turki Khazar
di
Kaukasus
,
Daylami
di
laut Kaspia
,
Turki
di bagian lain
Oxus
, dan
India
.
Pada masa al-Manshur ini, pengertian
khalifah
kembali berubah. Dia berkata:
“
|
Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)
|
”
|
Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari
Allah
, bukan dari manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa
al- Khulafa' al-Rasyiduun
. Di samping itu, berbeda dari daulat
Bani Umayyah
, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar takhta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar takhta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu
al-Mahdi
(775-785 M),
al-Hadi
(775- 786 M),
Harun Ar-Rasyid
(786-809 M),
al-Ma'mun
(813-833 M),
al-Mu'tashim
(833-842 M),
al-Watsiq
(842-847 M), dan
al-Mutawakkil
(847-861 M).
Pada masa
al-Mahdi
perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan.
Bashrah
menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada zaman khalifah
Harun Ar-Rasyid
Rahimahullah
(786-809 M) dan puteranya
al-Ma'mun
(813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara
Islam
menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun
, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku
Yunani
, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan
Kristen
dan penganut agama lain yang ahli (
wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah
). Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan
Baitul Hikmah
, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa
Al-Ma'mun
inilah
Baghdad
mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim
, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang
Turki
untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai
tentara
pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah
Umayyah
, dinasti
Abbasiyah
mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktik orang-orang
muslim
mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi
al-Khawarij
di
Afrika Utara
, gerakan
Zindiq
di
Persia
, gerakan
Syi'ah
, dan konflik antarbangsa dan aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan
Islam
daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan
Bani Umayyah
. Di samping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat pada zaman Bani Umayyah.
- Dengan berpindahnya ibu kota ke
Baghdad
, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh
Arab
Islam
. Sedangkan dinasti
Bani Umayyah
sangat berorientasi kepada
Arab
Islam
. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan
Persia
sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa
Turki
sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
- Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan
Bani Umayyah
.
- Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
- Maktab/Kuttab dan
masjid
, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
- Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan
bahasa Arab
, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman
Bani Umayyah
, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
- Terjadinya asimilasi antara
bangsa Arab
dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk
Islam
. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh
Persia
, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh
India
terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh
Yunani
masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
- Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah
al-Ma'mun
hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir
bi al-ma'tsur
, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari
Nabi
dan para sahabat. Kedua, tafsir
bi al-ra'yi
, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode
bi al-ra'yi
, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu
teologi
. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama.
Imam Abu Hanifah
Rahimahullah
(700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di
Kufah
, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan
Persia
yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya,
Abu Yusuf
, menjadi Qadhi al-Qudhat pada zaman
Harun Ar-Rasyid
. Berbeda dengan
Imam Abu Hanifah
,
Imam Malik
Rahimahullah
(713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh
Imam Syafi'i
Rahimahullah
(767-820 M), dan
Imam Ahmad ibn Hanbal
Rahimahullah
(780-855 M) yang mengembalikan sistem madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran
Islam
dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Di samping empat pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa
Bani Umayyah
, seperti
Khawarij
,
Murji'ah
dan
Mu'tazilah
pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional
Mu'tazilah
muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran
Yunani
yang membawa pemikiran
filsafat
dan rasionalisme dalam
Islam
. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah
Abu al-Huzail al-Allaf
(135-235 H/752-849M) dan
al-Nazzam
(185-221 H/801-835M).
Asy'ariyah
, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh
Abu al-Hasan al-Asy'ari
(873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan
hadits
, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang
astronomi
, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama
al-Fazari
sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe.
Al-Farghani
, yang dikenal di
Eropa
dengan nama
Al-Faragnus
, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin
oleh
Gerard Cremona
dan
Johannes Hispalensis
. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama
ar-Razi
dan
Ibnu Sina
. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina.
Ibnu Sina
yang juga seorang
filosof
berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah
al-Qoonuun fi al-Thibb
yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal
Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami
, yang di Eropa dikenal dengan nama
Alhazen
, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang
kimia
, terkenal nama
Jabir ibn Hayyan
. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama
Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi
, yang juga mahir dalam bidang
astronomi
. Dialah yang menciptakan ilmu
aljabar
. Kata
aljabar
berasal dari judul bukunya,
al-Jabr wa al-Muqoibalah
. Dalam bidang sejarah terkenal nama
al-Mas'udi
. Dia juga ahli dalam ilmu
geografi
. Di antara karyanya adalah
Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir
.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang
filsafat
, antara lain
al-Farabi
, Ibnu Sina, dan
Ibnu Rusyd
. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat
Aristoteles
. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di antaranya ialah
asy-Syifa'
. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama
Averroes
, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan
Averroisme
. Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan
filosofi
dari
Yunani
,
Persia
, dan
Hindustan
.
Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di antara mereka bukan Islam dan bukan
Arab
Muslim
. Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan mengembangkan karya
Kesusasteraan Yunani
dan
Hindu
, dan ilmu zaman pra-Islam kepada masyarakat
Kristen
Eropa
. Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu geografi,
matematika
, dan
astronomi
seperti
Euclid
dan Claudius
Ptolemy
. Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti
Al-Biruni
dan sebagainya.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan
Islam
pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama, namun setelah periode ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa kemunduran.
Wallahul Musta’an
.
Kekhalifahan abbasiyah adalah yang pertama kali mengorganisasikan penggunaan tentara-tentara
budak
yang disebut
Mamluk
pada abad ke-9. Dibentuk oleh
Al-Ma'mun
, tentara-tentara budak ini didominasi oleh bangsa
Turki
tetapi juga banyak diisi oleh bangsa
Berber
dari
Afrika Utara
dan
Slav
dari
Eropa Timur
. Ini adalah suatu inovasi sebab sebelumnya yang digunakan adalah tentara bayaran dari Turki.
Bagaimanapun tentara Mamluk membantu sekaligus menyulitkan kekhalifahan Abbasiyah. karena berbagai kondisi yang ada di umat
muslim
saat itu pada akhirnya kekhalifahan ini hanya menjadi simbol dan bahkan tentara Mamluk ini, yang kemudian dikenal dengan
Bani Mamalik
berhasil berkuasa, yang pada mulanya mengambil inisiatif merebut kekuasaan kerajaan
Ayyubiyyah
yang pada masa itu merupakan kepanjangan tangan dari khilafah Bani Abbas, hal ini disebabkan karena para penguasa Ayyubiyyah waktu itu kurang tegas dalam memimpin kerajaan. Bani Mamalik ini mendirikan kesultanan sendiri di
Mesir
dan memindahkan ibu kota dari
Baghdad
ke
Cairo
setelah berbagai serangan dari tentara
tartar
dan kehancuran Baghdad sendiri setelah serangan
Mongol
di bawah pimpinan
Hulagu Khan
. Walaupun berkuasa Bani Mamalik tetap menyatakan diri berada di bawah kekuasaan (simbolik) kekhalifahan, dimana khalifah Abbasiyyah tetap sebagai kepala negara.
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Di antara faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara
Turki
berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulah Abbasiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi'ah.
Setelah jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Bani Seljuk atau Salajiqah Al-Kubro (Seljuk Agung), posisi dan kedudukan khalifah Abbasiyah sedikit lebih baik, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan untuk membendung paham Syi'ah dan mengembangkan manhaj Sunni yang dianut oleh mereka.
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
- Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah Taklukan sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
- Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan
khalifah
kepada mereka sangat tinggi.
- Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke
Baghdad
.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman
Bani Umayyah
. Akan tetapi berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan
Islam
. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di
Spanyol
dan seluruh
Afrika Utara
, kecuali
Mesir
yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah tidak dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur provinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khilafah ditandai dengan pembayaran pajak.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu, dengan pembayaran upeti itu. Alasannya adalah:
- Mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya,
- Penguasa Bani Abbas lebih menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara:
- Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulah
Bani Umayyah
di
Spanyol
dan
Bani Idrisiyyah
di
Marokko
.
- Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh
khalifah
, kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulah
Aghlabiyyah
di
Tunisia
dan
Thahiriyyah
di
Khurasan
.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko, provinsi-provinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut
Ibnu Khaldun
, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara
Turki
dengan sistem perbudakan baru seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya ternyata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan
syu'u arabiyah
(kebangsaan/anti Arab).
Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Tampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.
Berakhirnya kekuasaan
Dinasti Seljuk
atas
Baghdad
atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara
Mongol
dan
Tartar
menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah
Islam
, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Di samping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang
Persia
. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa
Bani Umayyah
berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu.
Menurut
Ibnu Khaldun
, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang
Arab
.
- Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
- Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya
ashabiyah
(kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam).
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti
Maroko
,
Mesir
,
Syria
,
Irak
,
Persia
,
Turki
, dan
India
. Mereka disatukan dengan bangsa
Semit
. Kecuali
Islam
, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, di samping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini tampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah
al-Mutawakkil
, seorang khalifah yang lemah, naik takhta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh
Bani Buwaih
, bangsa
Persia
, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada
Dinasti Seljuk
pada periode keempat, sebagaimana diuraikan terdahulu.
Munculnya dinasti-dinasti yang lahir dan ada yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
- Bani Thahiriyyah
di
Khurasan
, (205-259 H/820-872 M).
- Bani Shafariyah
di
Fars
, (254-290 H/868-901 M).
- Bani Samaniyah
di
Transoxania
, (261-389 H/873-998 M).
- Bani Sajiyyah
di
Azerbaijan
, (266-318 H/878-930 M).
- Bani Buwaih
, bahkan menguasai
Baghdad
, (320-447 H/ 932-1055 M).
- Thuluniyah
di
Mesir
, (254-292 H/837-903 M).
- Ikhsyidiyah
di
Turkistan
, (320-560 H/932-1163 M).
- Ghaznawiyah
di
Afganistan
, (351-585 H/962-1189 M).
- Bani Seljuk
/
Salajiqah
dan cabang-cabangnya:
- al-Barzuqani
, (348-406 H/959-1015 M).
- Abu 'Ali
, (380-489 H/990-1095 M).
- al-Ayyubiyyah
, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan
Shalahuddin al-ayyubi
setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib periode ke III.
- Idrisiyyah
di
Maghrib
, (172-375 H/788-985 M).
- Aghlabiyyah
di
Tunisia
(184-289 H/800-900 M).
- Dulafiyah
di
Kurdistan
, (210-285 H/825-898 M).
- 'Alawiyah
di
Thabaristan
, (250-316 H/864-928 M).
- Hamdaniyah
di
Aleppo
dan
Maushil
, (317-394 H/929- 1002 M).
- Mazyadiyyah
di
Hillah
, (403-545 H/1011-1150 M).
- Ukailiyyah
di
Maushil
, (386-489 H/996-1 095 M).
- Mirdasiyyah
di
Aleppo
, (414-472 H/1023-1079 M).
Yang mengaku dirinya sebagai khilafah
[
sunting
|
sunting sumber
]
- Umayyah
di
Spanyol
.
- Fatimiyah
di
Mesir
.
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, tampak jelas adanya persaingan antarbangsa, terutama antara
Arab
,
Persia
dan
Turki
. Di samping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatar belakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang
Syi'ah
maupun
Sunni
.
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga
Baitul-Mal
penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari
al-Kharaj
, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. Jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme kesukuan.
[
sunting
|
sunting sumber
]
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang
Persia
tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran
Manuisme
,
Zoroasterisme
dan
Mazdakisme
. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan
Zindiq
ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Al-Mansur
berusaha keras memberantasnya, bahkan
Al-Mahdi
merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan
mihnah
dengan tujuan memberantas
bid'ah
. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan
al-Afsyin
dan
Qaramithah
adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran
Syi'ah
, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang
ghulat
(ekstrem) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam
Islam
yang berhadapan dengan paham
Ahlussunnah
. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa.
Al-Mutawakkil
, misalnya, memerintahkan agar makam
Husain bin Ali
di
Karbala
dihancurkan. Namun anaknya,
al-Muntashir
(861-862 M.), kembali memperkenankan orang Syi'ah "menziarahi" makam Husain tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun.
Dinasti Idrisiyah
di
Marokko
dan khilafah
Fathimiyah
di
Mesir
adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari
Baghdad
yang
Sunni
.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara
muslim
dan
zindiq
atau
Ahlussunnah
dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam
Islam
.
Mu'tazilah
yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat
bid'ah
oleh golongan
salafy
. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh
al-Ma'mun
, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan
mihnah
. Pada masa
al-Mutawakkil
(847-861 M), aliran
Mu'tazilah
dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Sunni kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut
Hanbali
terhadap Mu'tazilah yang rasional dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan horizon intelektual padahal para
salaf
telah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai dengan yang dibawa oleh
Rasulullah
.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa
Bani Buwaih
. Namun pada masa
Dinasti Seljuk
yang menganut paham
Sunni
, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran
Asy'ariyah
tumbuh subur dan berjaya. Pikiran-pikiran
al-Ghazali
yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham
Ahlussunnah
. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam konon sampai sekarang.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu,
Syed Ameer Ali
mengatakan:
“
|
Agama
Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam
seperti juga agama
Isa
‘alaihis salaam
, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia... telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam
Islam
...Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah ... menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga
|
”
|
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Di samping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
- Perang Salib
yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
- Serangan tentara
Mongol
ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang
Kristen
Eropa
terpanggil untuk ikut berperang setelah
Paus Urbanus II
(1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas
Kristen Timur
, hanya
Armenia
dan
Maronit Lebanon
yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib. Pengaruh perang salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa
Hulagu Khan
, panglima tentara Mongol, sangat membenci
Islam
karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang
Budha
dan
Kristen Nestorian
. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki
Yerusalem
.
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat
Paus Urbanus II
berseru kepada umat
Kristen
di
Eropa
untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di
Baitul Maqdis
yang dikuasai oleh Penguasa
Seljuk
, serta menghambat pengaruh dan invasi dari tentara
Muslim
atas wilayah Kristen. Sebagaimana sebelumhnya tentara Sulthan
Alp Arselan
Rahimahullah
tahun 464 H (1071 M), yang hanya berkekuatan 20.000
[4]
? 30.000
[5]
prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara
Romawi
yang berjumlah 40.000
[5]
? 70.000,
[6]
terdiri dari tentara
Romawi
,
Ghuz
,
al-Akraj
,
al-Hajr
,
Prancis
dan
Armenia
, peristiwa ini dikenal dengan
peristiwa Manzikert
.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak daulah kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di
Baghdad
.
Serangan Bangsa Mongol dan Jatuhnya Baghdad
[
sunting
|
sunting sumber
]
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara
Mongol
yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah
Al-Musta'shim
, penguasa terakhir Bani Abbas di
Baghdad
(1243 - 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara
Hulagu Khan
.
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah,
Ibn Alqami
, seorang
Syi'ah
ingin mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan
Abu Bakr Ibn Mu'tashim
, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sulthan-sulthan
Seljuk
".
Khalifah menerima usul itu, la keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada
Hulagu Khan
. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fikih dan orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran.
Dengan pembunuhan yang kejam ini berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut. Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke
Syria
dan
Mesir
.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa
Mongol
bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumi hanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin
Hulaghu Khan
tersebut.
Peningalan-Peninggalan dan Kemajuan Yang Dicapai Pada Masa Kekhalifahan Abbasiyyah
[
sunting
|
sunting sumber
]
Setiap dinasti atau rezim mengalami fase-fase yang dikenal dengan fase pendirian, fase pembangunan dan kemajuan, fase kemunduran dan kehancuran. Akan tetapi durasi dari masing-masing fase itu berbeda-beda karena bergantung pada kemampuan penyelenggara pemerintahan yang bersangkutan. Pada masa pemerintahan, masing-masing memiliki berbagai kemajuan dari beberapa bidang, diantaranya bidang politik, bidang ekonomi, bidang social-budaya. Pada masing-masing bidang memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kemajuan dalam Bidang Sosial Budaya
[
sunting
|
sunting sumber
]
Sebagai sebuah dinasti, kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berkuasa lebih dari lima abad, telah banyak memberikan sumbangan positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Dari sekitar 37 orang khalifah yang pernah berkuasa, terdapat beberapa orang khalifah yang benar-benar memliki kepedulian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, serta berbagai bidang lainnya, seperti bidang-bidang sosial dan budaya.
Di antara kemajuan dalam bidang sosial-budaya adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat. Keadaan sosial masyarakat yang majemuk itu membawa dampak positif dalam perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Hal itu terjadi karena dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, dapat dipergunakan untuk memajukan bidang-bidang sosial budaya lainnya yang kemudian menjadi lambang bagi kemajuan bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan lainnya. Diantara kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Khalifah Dinasi Abbasiyah adalah seni bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana, masjid, bangunan kota dan sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam pembangunan istana dan kota-kota, seperti pada istana Qashrul dzahabi, dan Qashrul Khuldi, sementara bangunan kota seperti pembangunan kota Baghdad, Samarra dan sebagainya.
Kemajuan juga terjadi pada bidang sastra bahasa dan seni musik. Pada masa inilah lahir seorang sastrawan dan budayawan terkenal, seperti Abu Nawas, Abu Athahiyah, Al Mutanabby, Abdullah bin Muqaffa dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka masih dapat dibaca hingga kini, seperti kitab Kalilah wa Dimna. Sementara tokoh terkenan dalam bidang musik yang kini karyanya juga masih dipakai adalah Yunus bin Sulaiman, Khalil bin Ahmad, pencipta teori musik Islam, Al farabi dan lain-lainnya.
Selain bidang?bidang tersebut di atas, terjadi juga kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada masa awal pemerintah Dinasti Abbasiyah, telah banyak diushakan oleh para khalifah untuk mengembangkan dan memajukan pendidikan. Oleh karena itu, mereka kemudian mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi.
Di masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan, yang berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan yang mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan Persia, Kebudayaan Yunani, Kebudayaan Hindi dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
Masuknya Islam ke dalam kebudayaan Arab terjadi dengan dua jalan utama, yaitu :
a. Jalan Agama, Mengharuskan mempelajari Qur’an, Hadist, Fiqh yang semuanya dalam bahasa Arab.
b. Jalan Bahasa, Jazirah Arabia adalah sumber bahasa Arab, bahasa terkaya diantara rumpun bahasa samy dan tempat lahirnya Islam.
Pesatnya perkembangan kebudayaan Persia dan Turki di zaman ini karena 2 faktor, yaitu :
a. Pembentukan lembaga wizarah
b. Pemindahan ibukota
Peranan orang India dalam membentuk kebudayaan Islam terjadi dengan dua cara:
a. Secara langsung, Kaum muslimin berhubungan langsung dengan orang-orang India seperti lewat perdagangan dan penaklukan.
b. Secara tak langsung,penyaluran kebudayaan India ke dalam kebudayaan Islam lewat kebudayaan Persia.
Sebelum dan sesudah Islam, terkenallah di Timur beberapa kota yang menjadi pusat kehidupan kebudayaan Yunani. Yang paling termasyur diantaranya adalah :
a) Jundaisabur, Terletak di Khuzistan, dibangun oleh Sabur yang dijadikan tempat pembuangan para tawanan Romawi. Setelah jatuh di bawah kekuasaan Islam. Sekolah-sekolah tinggi kedokteran yang asalnya diajar berbagai ilmu Yunani dan bahasa Persia, diadakan perubahan-perubahan dan pembaharuan.
b) Harran, Kota yang dibangun di utara Iraq yang menjadi pusat pertemuan segala macam kebudayaan. Warga kota Harran merupakan pengembangan kebudayaan Yunani terpenting di zaman Islam, terutama dimasa Daulah Abbassiyah.
c) Iskandariyyah, Ibukota Mesir waktu menjadi jajahan Yunani. Dalam kota Iskandariyyah ini lahir aliran falsafah terbesar yang dikenal “Filsafat Baru Plato” (Neo Platonisme). Dalam masa Bani Abbassiyah hubungan alam pemikiran Neo Platonisme bertambah erat dengan alam pikiran kaum muslimin.
? Kemajuan dalam Bidang Politik dan Militer
[
sunting
|
sunting sumber
]
Di antara perbedaan karakteristik yang sangat mencolok antara pemerintah Dinasti Bani Umayyah dengan Dinasti Bani Abbasiyah, terletak pada orientasi kebijakan yang dikeluarkannya. Pemerintah Dinasti Bani Umayyah, yaitu orientasi kebijakan yang dikeluarkannya selalu pada upaya perluasan wilayah kekuasaanya. Sementara, pemerintah Dinasti Bani Abbasiyah, lebih menfokuskan diri pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, sehingga masa pemerintahan ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban Islam. Meskipun begitu, usaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan tetap merupakan hal penting yang harus dilakukan. Untuk itu, pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah memperbaharui sistem politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran.
Agar semua kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yang disebut diwanul jundi. Departemen inilah yamg mengatur semua yang berkaiatan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan. Pembentukan lembaga ini berdasarkan pada kenyataan politik-militer bahwa pada masa pemertintahan Dinasti Abbasiyah, banyak terjadi pemebrontakan dan bahkan beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
? Kemajuan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan
[
sunting
|
sunting sumber
]
Keberhasilan umat Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dalam pengembangan ilmu pengetahuan, sains, dan peradaban Islam secara menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung. Di antaranya adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah terhadap masyarakat non Arab (Mawali), yang memiliki tradisi intelektual dan budaya riset yang sudah lama melingkupi kehidupan mereka. Mereka diberikan fasilitas berupa materi atau finansial dan tempat untuk terus melakukan berbagai kajian ilmu pengetahuan melalui bahan-bahan rujukan yang pernah ditulis atau dikaji oleh masyarakat sebelumnya. Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang membawa harum dinasti ini.
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahhan Harun ar-Rasyid , kemajuan intelektual pada waktu itu setidaknya dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
1. Terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting dibidang pemerintahan. selain itu mereka banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
2. Gerakan Terjemah
Pada masa daulah ini usaha penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dari gerakan ini muncullah tokoh-tokoh Islam dalam ilmu pengetahuan, antara lain :
a. Bidang filsafat: al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Sina, al-Ghazali,Ibnu Rusyd.
b. Bidang kedokteran: Jabir ibnu Hayan , Hunain bin Ishaq, Tabib bin Qurra ,Ar-Razi.
c. Bidang Matematika: Umar al-Farukhan, al-Khawarizmi.
d. Bidang astronomi: al-Fazari, al-Battani, Abul watak, al-Farghoni dan sebagainya.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain :
1) Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.
2) Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.
3) Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
4) Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)
5) Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain.
6) Al Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: Al Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah,Mizanul Amal,Ihya Ulumuddin dan lain- lain.
7) Ibnu Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain.
1) Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.
2) Hurain bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai penterjemah bahasa asing.
3) Thabib bin Qurra (836-901 M)
4) Ar Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan campak yang diterjemahkan dalam bahasa latin.
1) Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
2) Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).
Berkembang subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam perbintangan ini seperti :
1) Al Farazi : pencipta Astro lobe
2) Al Gattani/Al Betagnius
3) Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
4) Al Farghoni atau Al Fragenius
Beberapa seniman ukir terkenal: Badr dan Tari (961-976 M) dan ada seni musik, seni tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
a. Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain.
b. Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam Bukhori (194-256 H), Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At Tirmidzi, dan lain-lain.
c. Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar dalam menciptakan ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali.
d. Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah : Al Qusyairy (wafat 465 H). Karangannya : ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat 632 H). Karangannya : Awariful Ma’arif, Imam Ghazali : Karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
e. Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka masih mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Islam. Yang mengembangkan faham/mazhabnya dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Para Imam Syi’ah (Hasjmy, 1995:276-278).
? Perkembangan Peradaban di Bidang Fisik
[
sunting
|
sunting sumber
]
Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat maju pesat, karena upaya- upaya dilakukan oleh para Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapat kita lihat dari bangunan -bangunan yang berupa:
a. Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.
b. Majlis Muhadharah, yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana, ahli pikir dan pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c. Darul Hikmah, adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga disediakan tempat ruangan belajar.
d. Madrasah, Perdana menteri Nizhomul Mulk adalah orang yang mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini, dengan nama Madrasah.
e. Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.
Pada masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang fisik seperti kehidupan ekonomi: pertanian, perindustrian, perdagangan berhasil dikembangkan oleh Khalifah Mansyur.
Kronologi Kekhalifahan Bani Abbasiyyah
[
sunting
|
sunting sumber
]
Di bawah ini merupakan silsilah para khalifah dari Bani Abbasiyah, mulai dari
Abbas bin Abdul-Muththalib
sampai khalifah terakhir dari Bani Abbasiyah yang berkuasa di
Baghdad
.
[8]
Catatan:
- k
. merupakan tahun kekuasaan
- Angka, merupakan nomor urut seseorang menjadi khalifah.
- Nama dengan huruf kapital merupakan
khalifah
yang berkuasa.
- Sejarah Bani Abbasiyyah, Muhammad Syu'ub, Terbitan PT.Bulan Bintang.
- Tarikh Islamy, Imam
Ibnu Khaldun
.
- Al-Bidaayah Wan Nihaayah, Imam
Ibnu Katsir
.
- Tarikh Asr Al-Khilafah Abbasiyyah,
Dr. Yusuf Al-Ish
, Disusun oleh
Darul Fikr
Damascuss
- Tarikh Daulah Abbasiyyah, Disusun Oleh Tim Penyusun
Universitas Imam Muhammad Bin Su'ud Al-Islamiyyah
Riyadh
- Ad Daulah Al Abbasiyyah ,
Syaikh Muhammad Al Khudhari
Terbitan
Maktabah At-Tauqifiyyah
Kairo
- https://id-ikmaluddinfurqon.blogspot.com/2023/05/materi.pai.sejarah.masa.keemasan.islam.era.daulah.abbasiyah.html
|
---|
Umum
| |
---|
Perpustakaan nasional
| |
---|
Lain-lain
| |
---|
|
---|
Pendiri
| |
---|
Khalifah di
Bagdad
| |
---|
Khalifah di
Kairo
| |
---|
Wilayah penting
| |
---|
Tokoh lainnya
| |
---|
Lain-lain
| |
---|
|
---|
Imperium kuno
| |
---|
Imperium abad pertengahan
| |
---|
Imperium modern
| |
---|
Imperium Adidaya
| |
---|