Bahasa Jawa
ialah bahasa pertuturan
etnik Jawa
terutama di sesetengah bahagian
Banten
,
Jakarta
,
Jawa Barat
,
Jawa Tengah
dan
Jawa Timur
di
Indonesia
. Bahasa Jawa terbahagi kepada dua, iaitu
Ngoko
dan
Kromo
. Ngoko sendirinya berkembang secara tidak langsung menjadi ngoko kasar dan ngoko halus (campuran ngoko dan kromo) Selanjutnya, Krama itu terbahagi lagi menjadi Krama, Krama Madya, Krama Inggil (Krama Halus).
Krama Madya inipun agak berlainan antara Krama yang dituturkan di kota (
Sala
) dengan Krama yang dituturkan di pinggiran (desa). Justeru, Krama Haluspun berlainan antara Krama Halus/Inggil yang dituturkan oleh kalangan Kraton (Istana) dengan kalangan rakyat biasa (awam).
Bahasa Jawa dianggarkan dituturkan sekitar dua pertiga penduduk
pulau Jawa
; jumlah keseluruhan penutur bahasa Jawa dalam negara Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 80 juta orang pada tahun 2023.
[2]
Ia antara bahasa utama dituturkan dalam Jakarta ibukota negara Indonesia
[3]
yang mempengaruhi utama
bahasa baku Indonesia
selain loghat-loghat
Betawi
dan
Riau
sebanyak 69.1% dari keseluruhan bahasa daerah diserap.
[4]
Bahasa Jawa ini mempunyai aksaranya sendiri yang dikembangkan daripada
huruf Pallava
dan juga huruf
Pegon
yang diubah suai daripada
huruf Arab
.
Penduduk Jawa yang berhijrah ke
Malaysia
turut membawa bahasa dan
kebudayaan Jawa
ke Malaysia sehinggakan terdapat kawasan penempatan mereka dikenali sebagai
kampung Jawa
dan
padang Jawa
. Bahasa jawa juga bahasa rasmi di daerah Istimewa Yogyakarta
[5]
Loghat pada bahasa Jawa terbahagi menjadi dua kategori:
- Loghat Sosial
- Loghat Daerah
Loghat dalam bahasa Jawa merujuk kepada kelas sosial:
- Ngoko
- Ngoko Andhap
- Madhya
- Madhyantara
- Kromo
- Kromo Inggil
- Bagongan
- Kedhaton
Kedua-dua loghat terakhir digunakan di kalangan keluarga Kraton dan sukar difahami oleh orang Jawa kebanyakannya.
Kelainan perkataan menurut loghat sosial dalam bahasa Jawa boleh difahami melalui contoh berikut:
- Bahasa Melayu
: "Maaf, bolehkah saya bertanya, apa awak tahu di mana semasa tempat abang Budi bermastautin?"
- Bahasa Indonesia
: “Maaf, bolehkah saya bertanya, apa kau tahu di mana sekarang tempat bermukimnya mas Budi?”
Maka perkataan dalam cara berbicara loghat-loghat Ngoko dan Kromo ialah:
- Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahe Budi kuwi, neng*ndi?’
- Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, daleme mas Budi kuwi, neng endi?”
- Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahe mas Budi kuwi, neng ndi?”
- Madya: “Nuwun sewu, kula ajeng tanglet, griyane mas Budi niku, teng pundi?”
- Madya alus: “Nuwun sewu, kula ajeng tanglet, daleme mas Budi niku, teng pundi?”
- Krama andhap: “Nuwun sewu, dalem badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
- Krama: “Nuwun sewu, kula badhe taken, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
- Krama inggil: “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
Berdasarkan daerah, loghat bahasa Jawa ialah:
Kelompok Bahasa Jawa Bahagian Barat:
- Loghat Banten
- Loghat Indramayu-Cirebon
- Loghat Tegal
- Loghat Banyumasan
- Loghat Bumiayu
(peralihan Tegal dan Banyumas)
Kelompok pertama di atas sering digelar bahasa Jawa ngapak-ngapak.
Kelompok Bahasa Jawa Bahagian Tengah:
- Loghat Pekalongan
- Loghat Kedu
- Loghat Bagelen
- Loghat Semarang
- Loghat Pantai Utara Timur
(Jepara, Rembang, Kudus, Pati)
- Loghat Blora
- Loghat Mataraman
Kelompok kedua di atas sering digelar Bahasa Jawa Standard, khususnya Loghat Mataram.
Kelompok Bahasa Jawa Bahagian Timur:
- Loghat Madiun
- Loghat Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
- Loghat Surabaya
- Loghat Malang
- Loghat Tengger
- Loghat Banyuwangi
(atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok ketiga di atas sering digelar Bahasa Jawa Timuran.
Hanacaraka
atau Carakan ialah aksara yang digunakan bagi menulis bahasa Jawa pada masa dahulu. Aksara ini masih diajarkan pada sekolah-sekolah di pulau Jawa. Seperti aksara Asia Tenggara lainnya, aksara ini juga mengambil model daripada Aksara Pallava/Vatteluttu.
Meskipun begitu, setiap aksara telah mempunyai bentuk yang berlainan sehingga setiap penutur tidak mampu membaca aksara lain meskipun berada dalam satu keluarga.
Huruf-huruf dasar dalam Hanacaraka/Carakan :
Apabila diucapkan, susunan aksara tersebut dapat
membentuk kalimat
:
Hana Caraka
(Terdapat Pengawal);
Data Sawala
(Berlainan Pendapat);
Padha Jayanya
(Sama kuat/hebatnya);
Maga Bathanga
(Kedua-duanya mati).
Ada pula tafsiran berlain-lainan yang diajarkan oleh
Pakubuwono IX
,
Raja Kasunanan Surakarta
. Tafsiran tersebut ialah:
- Ha-Na-Ca-Ra-Ka
bererti ada "utusan" iaitu utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Maksudnya, ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga-tiga unsur itu ialah Tuhan, manusia dan kewajipan manusia (sebagai ciptaan).
- Da-Ta-Sa-Wa-La
bererti manusia setelah diciptakan sampai dengan data "saatnya (dipanggil)" tidak boleh sawala "mengelak" manusia (dengan segala atributnya) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.
- Pa-Dha-Ja-Ya-Nya
bererti menyatunya zat pemberi hidup (Khalik) dengan yang diberi hidup (makhluk). Maksudnya padha "sama" atau sesuai, jumbuh, cocok "tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu "menang, unggul" sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan "sekadar menang" atau menang tidak tertib.
- Ma-Ga-Ba-Tha-Nga
berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kudrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menghalanginya.
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/162614/perda-no-2-tahun-2021