|
?Marsinah?
Simbol Pencari Keadilan yang Terlupakan
Jakarta, Sinar Harapan
Misteri pembunuhan Marsinah?seorang buruh pabrik PT Catur Putra
Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur?tanggal 8 Mei 1993 yang
sempat menghebohkan waktu itu dan pelakunya hingga kini belum
terungkap diangkat ke layar lebar lewat judul Marsinah (Cry
Justice). .
Film berdurasi dua jam yang disutradarai Slamet Rahardjo Djarot itu
menggunakan cara bertutur kronologis lengkap dengan tanggal dan
tempat kejadian, tak ubahnya seperti film dokumenter. Dibuka dengan
adegan unjuk rasa buruh PT CPS, film bergulir dengan adegan
penangkapan para buruh dan petinggi PT CPS oleh sejumlah oknum
berbaju preman, diselang-seling adegan hitam putih yang menceritakan
kilas balik saat Marsinah bersama rekan-rekannya menggerakkan buruh
untuk meminta hak mereka.
Seperti yang biasa terjadi di rezim Orde Baru dulu, setiap orang
yang diciduk oleh oknum-?sebagai kata ganti aparat militer?mengalami
siksaan. Tiga belas orang buruh yang ditangkap, semuanya dituduh
PKI, sebuah stigma yang biasa diberikan masa Orde Baru dulu untuk
orang-orang yang mengikuti aksi demonstrasi yang dianggap bisa
mengganggu stabilitas keamanan nasional. Tak kurang delapan petinggi
PT CPS yang ditangkap tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku
Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap,
mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah
tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodim Brawijaya.
Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat
skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Awalnya mereka
semua mengelak terlibat, tapi akibat siksaan yang tiada henti, satu
per satu akhirnya terpaksa mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak
mereka lakukan. Mutiari yang sedang hamil muda pun, tak urung
keguguran saat diinterogasi.
Menyadari istrinya hilang, suami Mutiari, Hari Sarwono mencari
istrinya ke mana-mana. Mulai dari pabrik PT CPS hingga ke kantor
polisi setempat. Bisa ditebak, hasilnya nihil. Dari informasi yang
diperoleh dari seorang karyawan PT CPS, Hari mengetahui kalau
istrinya dibawa oknum tak dikenal. Hari lalu mendatangi LBH Yayasan
Persada Indonesia, Surabaya untuk mencari bantuan. Sementara itu,
keluarga Hari merasa malu atas pemberitaan media mengenai pelaku
pembunuhan Marsinah yang mengarah pada Mutiari dan rekan-rekannya,
meminta Hari untuk menceraikan Mutiari.
Hari yang yakin istrinya tidak bersalah, menolak permintaan
keluarganya dan semakin getol mencari bantuan. Tak
tanggung-tanggung, Hari mendatangi SCTV Surabaya untuk menceritakan
istrinya yang hilang. Di situ Hari juga mengungkapkan oknum yang
terlibat dalam penangkapan istrinya, yang diduganya sebagai anggota
militer. Berita seputar terbunuhnya Marsinah dan penangkapan
karyawan PT CPS yang semakin gencar membuat aparat militer panik.
Apalagi Hari bermaksud mempraperadilankan aparat atas penangkapan
dan penahanan yang tidak sesuai prosedur.
Aparat balik menekan Mutiari dan mempercepat proses pemeriksaan,
dipindahkan ke tahanan Polda Jawa Timur hingga akhirnya Mutiari
dipaksa menandatangani BAP dan diajukan ke pengadilan sebagai
tersangka. Karena keburu diajukan ke pengadilan, gugatan pra
peradilan gugur dan sidang Mutiari digelar lebih cepat dibandingkan
rekan-rekannya yang lain sebagai ?hukuman? karena suaminya
bersikeras mempraperadilankan aparat.
Sisa film dipenuhi dengan adegan pengadilan Mutiari dan
rekan-rekannya yang divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Sidoarjo, sampai mereka mengajukan banding dan kasasi ke MA
yang membebaskan mereka karena tidak cukup bukti. Sementara pembunuh
Marsinah yang sebenarnya tak pernah terungkap. Film diakhiri dengan
adegan adik Marsinah, Marsini, yang menangis sambil menatap tumpukan
majalah dan koran yang dipenuhi berita Marsinah mempertanyakan
siapakah yang sebenarnya membunuh kakak kandungnya.
Dokumenter
Film yang berjudul Marsinah ini boleh dibilang telah lama ditunggu.
Ada sepercik harapan untuk menyaksikan kisah perjuangan Marsinah
yang menjadi bahan pembicaraan beberapa tahun lampau. Namun
ternyata, Slamet Rahardjo tidak memberi porsi penuh pada Marsinah.
Alih-alih, ia malah menggambarkan perjuangan Mutiari, mantan
tersangka utama pembunuh Marsinah, untuk memperoleh keadilan. Tokoh
Marsinah hanya muncul dalam cerita kilas balik yang digambarkan
hitam-putih.
Penonton tidak diberi pengantar yang cukup untuk mengetahui sosok
Marsinah dan apa yang membuatnya sampai tewas terbunuh, sehingga
kematiannya memang perlu dijadikan bahan renungan. Penonton hanya
disuguhi adegan Marsinah terbunuh, divisum dan dikuburkan hingga
sempat dibongkar lagi untuk diperiksa ulang. Mengingat kurun waktu
yang cukup lama dari peristiwa yang terjadi hampir 10 tahun lampau,
kata pengantar agaknya diperlukan, apalagi bagi penonton yang ketika
itu belum mengikuti peristiwa tersebut sehingga harus meraba-raba
peristiwa yang terjadi.
Yang patut dipuji adalah keberanian sang sutradara mengungkap oknum
alias aparat yang terlibat. Tanpa menyebut nama, sutradara cukup
jelas memberikan gambaran siapa pihak yang berwenang saat itu.
Selain itu, akting dan wajah para pemain yang notabene pemain baru,
juga cukup lumayan. Sayangnya, hingga akhir film usai pertanyaan
besar mengenai perjuangan Marsinah tak pernah terungkap.
Simbol Perjuangan
Disinggung mengenai peran Mutiari yang lebih dominan dalam film ini
dibandingkan Marsinah, Slamet Rahardjo mengatakan dirinya memang
sengaja ingin menjadikan Marsinah sebagai idiom bahwa Marsinah
adalah identik dengan semangat kebebasan, keadilan serta sendi-sendi
kehidupan yang saat itu tiba-tiba menjadi beku.
?Marsinah bukan lagi nama gadis desa atau pejuang buruh tetapi telah
menjadi idiom permasalahan kita semua. Kebesaran nama Marsinah tidak
perlu diungkapkan oleh dirinya sendiri tapi bisa lewat orang lain
yaitu Mutiari. Angle yang ingin saya angkat adalah seperti itu dan
bukan membuat film biografi,? tandas Slamet usai pemutaran film
perdana Marsinah (Cry Justice) di gedung Pusat Perfilman Usmar
Ismail, Jakarta, Rabu malam lalu (3/4).
Kesan film ini terkesan berat sebelah karena kurang mengungkapkan
informasi dari sisi aparat keamanan, juga dibantah Slamet.
Menurutnya ia sudah berusaha mengungkap apa adanya sesuai data yang
timnya peroleh, sementara pihak militer seperti yang terungkap dalam
persidangan selalu membantah telah melakukan kesewenang-wenangan.
?Ini adalah film nonfiksi, dialognya dan jalan ceritanya nggak boleh
ngarang. Saya memang sengaja tidak menyinggung orang terlalu berat
dalam film ini, tapi ada indikasi jika saat itu terjadi komando
tunggal,? sahut Slamet yang mengaku tidak takut dan tidak pernah
mendapat tekanan selama pembuatan film ini. Apalagi sebelum
pembuatan film ini, bersama PT Gedam Sinemuda Perkasa yang
memproduksi film ini, dia sudah sowan ke berbagai pejabat militer.
Sesuai jadwal semula, film yang telah dinyatakan lulus sensor ini
akan mulai ditayangkan di jaringan Bioskop 21 Jakarta mulai tanggal
18 April mendatang. Setelah itu, Marsinah akan preview dan diputar
di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya.
Soal pembuatan film yang cukup lama hingga 2 tahun, tak lain karena
masalah dana yang terbatas. ?Maklum saja kami kerja tanpa sponsor,?
cetus produser Gusti Randa yang mengaku belum memiliki target jumlah
penonton film ini. (din)
|