한국   대만   중국   일본 
Marsinah
The Wayback Machine - https://web.archive.org/web/20070312173829/http://www.sinarharapan.co.id:80/berita/0204/05/hib01.html


Jum'at, 5 April 2002

Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan Kebenaran dan Perdamaian Berdasarkan Kasih

No.  4078


Halaman Utama
Tajuk Rencana
Nasional
Ekonomi
Jabotabek
Nusantara
Luar Negeri
Olah Raga
Iptek
Hiburan
Feature
Mandiri
Ritel
Hobi
Wisata
Eureka
Kesehatan
Cafe & Resto
Otomotif
Properti
Budaya
CEO
Opini
Foto
Karikatur
Komentar Anda
Tentang SH

 

 

?Marsinah?
Simbol Pencari Keadilan yang Terlupakan   

Jakarta, Sinar Harapan
Misteri pembunuhan Marsinah?seorang buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur?tanggal 8 Mei 1993 yang sempat menghebohkan waktu itu dan pelakunya hingga kini belum terungkap diangkat ke layar lebar lewat judul Marsinah (Cry Justice). .

Film berdurasi dua jam yang disutradarai Slamet Rahardjo Djarot itu menggunakan cara bertutur kronologis lengkap dengan tanggal dan tempat kejadian, tak ubahnya seperti film dokumenter. Dibuka dengan adegan unjuk rasa buruh PT CPS, film bergulir dengan adegan penangkapan para buruh dan petinggi PT CPS oleh sejumlah oknum berbaju preman, diselang-seling adegan hitam putih yang menceritakan kilas balik saat Marsinah bersama rekan-rekannya menggerakkan buruh untuk meminta hak mereka.
Seperti yang biasa terjadi di rezim Orde Baru dulu, setiap orang yang diciduk oleh oknum-?sebagai kata ganti aparat militer?mengalami siksaan. Tiga belas orang buruh yang ditangkap, semuanya dituduh PKI, sebuah stigma yang biasa diberikan masa Orde Baru dulu untuk orang-orang yang mengikuti aksi demonstrasi yang dianggap bisa mengganggu stabilitas keamanan nasional. Tak kurang delapan petinggi PT CPS yang ditangkap tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodim Brawijaya.
Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Awalnya mereka semua mengelak terlibat, tapi akibat siksaan yang tiada henti, satu per satu akhirnya terpaksa mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Mutiari yang sedang hamil muda pun, tak urung keguguran saat diinterogasi.
Menyadari istrinya hilang, suami Mutiari, Hari Sarwono mencari istrinya ke mana-mana. Mulai dari pabrik PT CPS hingga ke kantor polisi setempat. Bisa ditebak, hasilnya nihil. Dari informasi yang diperoleh dari seorang karyawan PT CPS, Hari mengetahui kalau istrinya dibawa oknum tak dikenal. Hari lalu mendatangi LBH Yayasan Persada Indonesia, Surabaya untuk mencari bantuan. Sementara itu, keluarga Hari merasa malu atas pemberitaan media mengenai pelaku pembunuhan Marsinah yang mengarah pada Mutiari dan rekan-rekannya, meminta Hari untuk menceraikan Mutiari.
Hari yang yakin istrinya tidak bersalah, menolak permintaan keluarganya dan semakin getol mencari bantuan. Tak tanggung-tanggung, Hari mendatangi SCTV Surabaya untuk menceritakan istrinya yang hilang. Di situ Hari juga mengungkapkan oknum yang terlibat dalam penangkapan istrinya, yang diduganya sebagai anggota militer. Berita seputar terbunuhnya Marsinah dan penangkapan karyawan PT CPS yang semakin gencar membuat aparat militer panik. Apalagi Hari bermaksud mempraperadilankan aparat atas penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai prosedur.
Aparat balik menekan Mutiari dan mempercepat proses pemeriksaan, dipindahkan ke tahanan Polda Jawa Timur hingga akhirnya Mutiari dipaksa menandatangani BAP dan diajukan ke pengadilan sebagai tersangka. Karena keburu diajukan ke pengadilan, gugatan pra peradilan gugur dan sidang Mutiari digelar lebih cepat dibandingkan rekan-rekannya yang lain sebagai ?hukuman? karena suaminya bersikeras mempraperadilankan aparat.
Sisa film dipenuhi dengan adegan pengadilan Mutiari dan rekan-rekannya yang divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo, sampai mereka mengajukan banding dan kasasi ke MA yang membebaskan mereka karena tidak cukup bukti. Sementara pembunuh Marsinah yang sebenarnya tak pernah terungkap. Film diakhiri dengan adegan adik Marsinah, Marsini, yang menangis sambil menatap tumpukan majalah dan koran yang dipenuhi berita Marsinah mempertanyakan siapakah yang sebenarnya membunuh kakak kandungnya.

Dokumenter
Film yang berjudul Marsinah ini boleh dibilang telah lama ditunggu. Ada sepercik harapan untuk menyaksikan kisah perjuangan Marsinah yang menjadi bahan pembicaraan beberapa tahun lampau. Namun ternyata, Slamet Rahardjo tidak memberi porsi penuh pada Marsinah. Alih-alih, ia malah menggambarkan perjuangan Mutiari, mantan tersangka utama pembunuh Marsinah, untuk memperoleh keadilan. Tokoh Marsinah hanya muncul dalam cerita kilas balik yang digambarkan hitam-putih.
Penonton tidak diberi pengantar yang cukup untuk mengetahui sosok Marsinah dan apa yang membuatnya sampai tewas terbunuh, sehingga kematiannya memang perlu dijadikan bahan renungan. Penonton hanya disuguhi adegan Marsinah terbunuh, divisum dan dikuburkan hingga sempat dibongkar lagi untuk diperiksa ulang. Mengingat kurun waktu yang cukup lama dari peristiwa yang terjadi hampir 10 tahun lampau, kata pengantar agaknya diperlukan, apalagi bagi penonton yang ketika itu belum mengikuti peristiwa tersebut sehingga harus meraba-raba peristiwa yang terjadi.
Yang patut dipuji adalah keberanian sang sutradara mengungkap oknum alias aparat yang terlibat. Tanpa menyebut nama, sutradara cukup jelas memberikan gambaran siapa pihak yang berwenang saat itu. Selain itu, akting dan wajah para pemain yang notabene pemain baru, juga cukup lumayan. Sayangnya, hingga akhir film usai pertanyaan besar mengenai perjuangan Marsinah tak pernah terungkap.

Simbol Perjuangan
Disinggung mengenai peran Mutiari yang lebih dominan dalam film ini dibandingkan Marsinah, Slamet Rahardjo mengatakan dirinya memang sengaja ingin menjadikan Marsinah sebagai idiom bahwa Marsinah adalah identik dengan semangat kebebasan, keadilan serta sendi-sendi kehidupan yang saat itu tiba-tiba menjadi beku.
?Marsinah bukan lagi nama gadis desa atau pejuang buruh tetapi telah menjadi idiom permasalahan kita semua. Kebesaran nama Marsinah tidak perlu diungkapkan oleh dirinya sendiri tapi bisa lewat orang lain yaitu Mutiari. Angle yang ingin saya angkat adalah seperti itu dan bukan membuat film biografi,? tandas Slamet usai pemutaran film perdana Marsinah (Cry Justice) di gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Rabu malam lalu (3/4).
Kesan film ini terkesan berat sebelah karena kurang mengungkapkan informasi dari sisi aparat keamanan, juga dibantah Slamet. Menurutnya ia sudah berusaha mengungkap apa adanya sesuai data yang timnya peroleh, sementara pihak militer seperti yang terungkap dalam persidangan selalu membantah telah melakukan kesewenang-wenangan.
?Ini adalah film nonfiksi, dialognya dan jalan ceritanya nggak boleh ngarang. Saya memang sengaja tidak menyinggung orang terlalu berat dalam film ini, tapi ada indikasi jika saat itu terjadi komando tunggal,? sahut Slamet yang mengaku tidak takut dan tidak pernah mendapat tekanan selama pembuatan film ini. Apalagi sebelum pembuatan film ini, bersama PT Gedam Sinemuda Perkasa yang memproduksi film ini, dia sudah sowan ke berbagai pejabat militer.
Sesuai jadwal semula, film yang telah dinyatakan lulus sensor ini akan mulai ditayangkan di jaringan Bioskop 21 Jakarta mulai tanggal 18 April mendatang. Setelah itu, Marsinah akan preview dan diputar di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya.
Soal pembuatan film yang cukup lama hingga 2 tahun, tak lain karena masalah dana yang terbatas. ?Maklum saja kami kerja tanpa sponsor,? cetus produser Gusti Randa yang mengaku belum memiliki target jumlah penonton film ini. (din)

 

Halaman muka | Tajuk Rencana | Nasional | Ekonomi | Jabotabek | Nusantara | Luar Negeri |
Olah Raga
| Iptek | Feature | Hiburan | Opini | Foto | Karikatur | Tentang SH | Komentar Anda

Copyright ? Sinar Harapan 2002