tirto.id
- Nusantara merupakan istilah yang amat familier dalam memori kolektif masyarakat Indonesia. Berasal dari khazanah sejarah masa Klasik, istilah Nusantara merangkum citra keagungan negeri dan cita-cita besar bangsa Indonesia. Bahkan, meski mengandung bias Jawa, ia kini ditetapkan sebagai nama bakal ibu kota baru Indonesia yang tengah dibangun di Kalimantan.
Adalah Muhammad Yamin yang semula menggaungkannya dalam tulisan-tulisan sejarahnya yang terbit pada awal masa Kemerdekaan Indonesia. Dalam bukunya
Gadjah Mada:
Pahlawan Persatuan Nusantara
(1945), Yamin mengaitkan cita-cita Nusantara dengan tokoh Gajah Mada sang Mahapatih Majapahit. Keduanya
manunggal
melalui Sumpah Palapa, sebuah cita-cita penyatuan seluruh pulau-pulau di Nusantara di bawah panji Majapahit.
Pada 1950-an, gagasan persatuan Nusantara itu lalu didiseminasikan kepada generasi muda melalui buku-buku sejarah di sekolah sebagai bagian dari cara membentuk karakter nasionalis warga Indonesia. Hingga kini, ia dikonstruksikan sebagai cita-cita besar yang mesti dicapai?atau malah dilampaui?oleh negara Indonesia modern.
Namun, retorika persatuan Nusantara ala Yamin yang terus diulang hingga kini ternyata juga menuai kritik. Konsep “negara” Majapahit tentulah tak bisa disamakan dengan pengertian negara modern. Klaim bahwa wilayah Majapahit meliputi hampir seluruh Asia Tenggara kepulauan dan penguasaan formal atasnya juga masih diperdebatkan.
Lain itu, G.J. Resink dalam
Bukan 350 Tahun Dijajah
(2012) tak tanggung-tanggung menyebut gagasan Nusantara yang digambarkan Yamin sebagai mitos dan romantisme berlebih.
Terlepas dari perdebatan-perdebatan itu, Nusantara sebagai gagasan ataupun cita-cita memang telah demikian melekat dalam benak masyarakat Indonesia. Ketika orang membicarakan persatuan negeri, rujukannya adalah Nusantara. Namun, kita mestinya tak sekadar berhenti di titik itu.
Pasalnya, tanpa pemahaman akan sejarah dan konteks kemunculannya, cita-cita Nusantara bakal jatuh jadi slogan kosong. Alih-alih jadi inspirasi, ia malah rawan menggiring kita pada fanatisme dan chauvinisme.
Pembaca, program Mesin Waktu seperti biasa akan mencoba mengurai hal itu dengan jalan kembali ke masa lalu. Kali ini, kita akan mencari jawabannya bersama Arca-Prasasti Amoghapasa tinggalan seorang leluhur raja-raja Majapahit.
Arca-Prasasti Amoghapasa
Leluhur raja-raja Majapahit yang dimaksud adalah Kertanagara. Pada 1208 Saka (1286 Masehi), raja terakhir dan terbesar Singhasari tersebut mengirim sebuah Arca Amoghapasa untuk Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, raja Kerajaan Malayu yang berkuasa di Dharmasraya. Kini, arca bertulis tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Dalam sekilas pandang, ia terlihat sebagai arca tunggal. Namun, ia sebenarnya terdiri dari bagian arca dan lapik yang terpisah. Sebelum disatukan seperti sekarang, keduanya pun
ditemukan secara terpisah
di waktu berbeda.
Seturut laporan
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschaapen,
Arca Amoghapasa ditemukan pada 1884 di Rambahan (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat). Sementara itu, bagian lapiknya di temukan pada 1911 di sekitar situs Percandian Padang Roco (kini masuk wilayah Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya).
Arca Amoghapasa Lokeswara ditemukan tanpa lapik di daerah Rambahan, Dharmasraya, Sumatra Barat. (Sumber: Natasha Reichle [2007])
Menariknya,
Arca Amoghapasa tersebut rupanya juga menjadi
media
penulisan tiga inskripsi. Bahkan,
setelah ditinjau,
tiga inskripsi tersebut
memiliki karakteristik dan angka tahun yang berbeda.
Namun, sejauh ini, baru dua inskripsi yang telah dibaca dan dikaji oleh banyak ahli sejarah kuno. Inskripsi ketiga rupanya telah begitu aus sehingga sulit untuk pelajari.
Prasasti
dengan tarikh tertua di
tera
kan pada bagian lapik arca.
Ia lazim disebut Prasasti Amoghapasa A atau Prasasti Padang Roco atau Prasasti Dharmasraya.
Sang
citralekha?
pemahat prasasti?me
noreh
prasasti itu
d
alam
a
ksara Jawa Kuno
dengan
bahasa Jawa Kuno
serta
Sanskerta.
Ialah yang memuat k
abar tentang
hadiah
Arca Amoghapasa oleh Sri Kertanagara. Disebutkan pula bahwa
raja Singhasari itu mengutus
empat pejabat tinggi
kerajaan
untuk mengantar langsung arca tersebut ke Swarnabhumi.
Dari informasi yang dibeberkan dalam prasasti, kita bisa menengarai bahwa pengiriman Arca Amoghapasa tersebut punya makna politik amat penting, setidaknya bagi Sri Kertanagara.
M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto dalam
Sejarah Nasional Indonesia
II
: Zaman Kuna
(2010) menduga bahwa arca tersebut adalah “mahar” untuk memperkukuh persekutuan Jawa-Melayu. Persekutuan ini juga disebut-sebut merupakan bagian dari upaya Sri Kertanagara mewujudkan visi
Dwipantara.
Dari Dwipantara hingga Nusantara
Makna
Dwipantara sebenarnya belumlah terang betul.
Secara harfiah, ia berarti “kepulauan antara”
atau “kepulauan seberang”,
nisbi serupa dengan istilah Nusantara.
Menurut Atina Winaya dalam “Cakrawala Mandala Dwipantara: Wawasan Kemaritiman Kerajaan Singhasari” (2018), Dwipantara merupakan wawasan geopolitik yang mendahului konsep Nusantara yang berkembang di zaman Majapahit.
Secara kronologis,
pendapat
Winaya cukup masuk akal.
Istilah
Dwipantara bisa dijumpai dalam Prasasti Camund
a
(atau Camund
i
)
yang ditemukan di
Desa Ardimulyo,
Malang, Jawa Timur. Menurut pembacaan M. Suhadi dan R. Kartakusumah dalam
Laporan Penelitian Epigrafi di Wilayah Provinsi Jawa Timur No. 47
(1996),
p
rasasti
ini memuat
tarikh 1214 Saka (1292 Masehi)
yang termasuk dalam masa kuasa Kertanagara.
Prasasti Camund
a
memuat baris bertulis, “
Tatkala kapratisthan paduka bhatari maka tewek huwus sri maharaja digwijaya ring sakalaloka mawuyu yi sakala dwipantara.
”
Baris tersebut diperkirakan berkait dengan
keberhasilan
Raja
Kertanagara menakluk
k
an “Dwipantara”.
Kita masih perlu meneliti lebih jauh, tapi
baris tersebut jelas memberi kesan
ekspansioni
stis bagi istilah Dwipantara. Kita juga
masih perlu bertanya tentang negeri-negeri seberang mana saja yang dicakup oleh istilah Dwipantara karena Prasasti Camunda tidak menyebutkan
nya.
Petunjuk-petunjuk lain dapat dikail dari kakawin
Nagarakertagama
gubahan Prapanca. K
etika istilah Dwipantara muncul,
Kertanagara
tercatat
telah
beberapa kali
mengirim ekspedisi
ke
luar Jawa.
P
ada 1275 Masehi,
Kertanagara mengirim pasukannya ke Sumatra untuk
menundukkan negeri Melayu
.
Kertanagara
lalu
menyerang dan menaklukkan Bali
pada
1284 Masehi.
Nagarakertagama
juga menyebut Pahang, Gurun, dan Bakulapura sebagai negeri-negeri yang “tunduk menekur di hadapan beliau”. Dalam nada yang agak sumir, begitu pula Tanah Sunda dan Madura.
Hingga pada 1286 Masehi, Kertanagara mengirim lagi pasukan
dan delegasi
nya?dengan gestur lebih bersahabat?ke Sumatra untuk mengantarkan Arca Amoghapasa Lokeswara.
Detail empat figur pengiring Amoghapasa. Kiri: Syamatara dan Sudhanakumara. Kanan: Bhrkuti dan Hayagriwa. (Sumber: Natasha Reichle [2007])
Sejarawaan
Slamet Mul
j
ana meyakini bahwa itu semua merupakan serangkaian upaya Kertanagara
mewujudkan
visinya
tentang Dwipantara.
Muljana sendiri
dalam
Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit
(2012)
menyebutnya Gagasan Nusantara Pertama?
cita-cita penyatuan
negeri-negeri seberang lautan
di bawah
panji Singhasari.
Yang terjadi selanjutnya adalah sejarah.
Pada tahun yang sama dengan terbitnya Prasasti Camunda,
Kertanagara
menemui ajal yang tragis
gara-gara
serangan
Jayakatwang dari Kediri. Seiring dengan tamatnya riwayat
Kerajaan
Singhasari, cita-cita Dwipantara pun turut tenggelam.
Namun, cita-cita politik itu tak benar-benar mati begitu saja. Trah Singhasari yang setelah itu mendirikan Majapahit rupanya masih merawat gagasan Sri Kertanagara sambil menunggu momentum yang tepat. Hingga akhirnya, i
a dibangkitkan lagi dalam rupa cita-cita Nusantara yang diikrarkan oleh Patih Amangkubhumi Majapahit, Gajah Mada, pada 1334 Masehi.
Membendung
Ancaman Kublai Khan
Lantas, a
pa yang membuat
Sri Kertanagara
merasa perlu melakukan ekspansi
dan mempersatukan
negeri-negeri seberang
?
Untuk menjawab pertanyaan itu,
M
uljana dalam
Tafsir Sejarah Nagarakretagama
(2011)
mengetengahkan keterangan yang diperolehnya dari kidung
Panji Wijayakrama
tentang watak
ahangkara
yang lekat pada diri Sri Kertanagara.
Menurut tafsir Muljana,
ahangkara
merupakan
kombinasi dari keangkuhan dan kesadaran penuh Kertanagara a
kan
kuasa dan kekuatan politik yang digenggamnya. Itulah yang mendorongnya merombak total pemerintahan Singhasari warisan ayahnya, mendiang Raja Wisnuwardhana, segera setelah dia naik takhta.
Watak
ahangkara
pulalah yang mendasari Kertanagara melancarkan program politi
k ekspansionis
yang
nisbi
belum pernah
ada presedennya di masa para pendahulunya.
“
Di antara raja-raja Singasari, Sri Kertanagara yang pertama-tama melepas pandangan ke luar Jawa. Ia meninggalkan politik tradisional yang berkisar pada Janggala-Panjalu. Ia ingin mempunyai kerajaan yang lebih luas dan lebih besar daripada sekadar kerajaan Janggala-Panjalu warisan Raja Erlangga,”
tulis Muljana
(2011)
.
T
ak hanya itu, ambisi pribadi Kertanagara tersebut juga berkelindan dengan situasi regional Asia Tenggara. Kala itu, negeri-negeri Hindu-Buddha Asia Tenggara tengah dilanda kegusaran akibat ancaman dari utara.
Arahkan pandang ke cakrawala utara dan kau akan melihat apa yang Kertanagara lihat: tekanan Dinasti Yuan (Mongol) yang didirikan oleh
Kublai Khan
.
Infografik Mesin Waktu Arca Prasasti Amoghapasa. tirto.id/Ecun
B
ernard H.M. Vlekke dalam
Nusantara: Sejarah Indonesia
(2018) menyebut abad ke-13 sebagai Abad Mongol. Selama paruh pertama abad ke-13, Genghis Khan dan anak-cucunya menaklukkan negeri-negeri Eurasia dan menciptakan imperium yang membentang dari Rusia hingga Laut Tiongkok.
Pada 1260
Masehi
, Kublai Khan mewarisi imperium besar itu.
Ketika Kertanagara
mengirim ekspedisi
pertama
ke Melayu pada 1275
, Kublai Khan tengah berjibaku men
undukkan seluruh
Tiongkok
di bawah kuasanya
.
Lain itu, dia mengincar
pula
negeri-negeri di selatan dan seberang lautan Tiongkok.
Dalam dekade
1280-
an hingga 1290-an
Masehi
, Kublai Khan melancarkan kampanye militer ke Jepang dan negeri-negeri Hindu-Buddha di Asia Tenggara daratan.
“
Mereka kurang berhasil, tapi sekadar fakta bahwa imperium Cina yang kuat tapi sebelumnya penuh damai tiba-tiba berubah jadi ekspansionis pastilah menimbulkan kegentaran di seluruh wilayah itu,” tulis Vlekke.
E
kspansi
Kublai Khan itu
juga
merongrong ketenangan Kertanagara.
Terlebih, antara 1280 dan 1287, militer Mongol dikabarkan telah merangsek ke negeri Annam dan Champa (kini Vietnam).
Kertanagara sadar bahwa ancaman Mongol itu hanya tinggal menunggu waktu saja
untuk
mendatangi Singhasari. Dan memang benar, utusan Mongol
beberapa kali
mendatangi Singhasari dan menuntut ketundukannya pada dekade 1280-an.
Kertanagara yang berwatak
ahangkara
tentu saja mengabaikan tuntutan-tuntutan itu.
Namun, dia juga tak bisa menyepelekan ancaman Mongol begitu saja.
Maka dai harus mencari
cara terbaik
untuk
menangkis?atau setidaknya mengimbangi?
tekanan
Kublai Khan itu.
Menurut Vlekke, Kertanagara akhirnya mengambil dua langkah. Langkah pertama berdimensi spiritual, yakni dengan memperdalam Tantrayana untuk menandingi
kualitas spiritual Kublai Khan. Langkah selanjutnya adalah konsolidasi politik
dengan memperkuat “persatuan” Dwipantara.
Menurut Muljana,
itulah konteks utama dari pengiriman Arca Amoghapasa Lokeswara ke Dharmasraya pada 1286 Masehi.
Maka s
elain berdimensi politik, upaya itu juga punya nuansa spriritual.
“
Pemberian hadiah arca itu boleh ditafsirkan sebagai pemberian
c
akti
kepada raja Melayu. Pemberian
c
akti
itu mengandung arti memperkokoh persahabatan untuk menghadapi kemungkinan serangan tentara Kubilai dari Tiongkok,” tulis Muljana (2012).
Resistensi
A
dityawarman
Dari
P
rasasti
Amoghapasa A yang berasal dari Kertanagara, mari kita beralih pada Prasasti Amoghapasa B yang
ditatahkan di balik stela
Sang
Amoghapasa.
Selain berangka tahun lebih muda, ia juga
ditulis
dengan cara berbeda, yakni
dalam aksara Sumatra Kun
o dengan
bahasa Sanskerta.
Sayangnya, menurut H. Kern dalam
De wij-inscriptie op het Amoghap?ca-beeld van Padang Candi (Batang Hari-districten); 1269 Caka
(1917), bahasa Sanskerta yang dipakai prasasti ini amat amburadul.
Hal itu terang menyulitkan proses penerjemahannya. Akibatnya, Kern dan para ahli epigrafi lain hanya bisa menebak maksud dari si penulis prasasti berdasar kata-kata Sanskerta yang tercantum padanya.
Menurut pembacaan Kern, Prasasti Amoghapasa B diterbitkan pada 1269 Saka (1347 Masehi) oleh Srimat Sri Udayadityawarman atau yang lebih populer dikenal sebagai Raja Adityawarman. Kita pun telah membahas tokoh ini saat meneroka asal-usul Arca Bhairawa dari Dharmasraya.
Prasasti Amoghapasa B yang ditatah dibalik stela Arca Amoghapasa dari Rambahan. (Sumber: Natasha Reichle [2007])
Prasasti Amoghapasa B sepenuhnya berisi puji-pujian terhadap Adityawarman. Beberapa diksinya juga memberi kita petunjuk akan unsur-unsur Buddhisme Wajrayana. Lebih dari itu, kita pun bisa menengarai suatu resistensi atas cita-cita persatuan Nusantara yang dicetuskan dari Jawa.
Petunjuk akan resistensi itu didapati para ahli epigrafi dari selipan informasi soal ritual penyucian kembali Arca Amoghapasa oleh Acarya Dharmasekhara.
Menurut Uli Kozok dan Eric van Reijn dalam "Adityawarman; Three Inscriptions of the Sumatran 'King of All Supreme Kings'" (2010), ritual penyucian kedua yang dilakukan pada 1347 Masehi itu berkenaan dengan deklarasi kemerdekaan Kerajaan Dharmasraya dari hegemoni Jawa.
Tak hanya itu, Adityawarman juga memindahkan Arca Amoghapasa tersebut dari tempat asalnya berdiri tanpa mengikutsertakan lapik arca yang bertulis prasasti dari Sri Kertanagara. Itu jelaslah bukan suatu ketaksengajaan, melainkan langkah politik Adityawarman membongkar tatanan lama bikinan Kertanagara.
“Pesannya jelas: Adityawarman tidak mau menyandang gelar maharaja rendahan seperti [Tribhuwanaraja] Mauliwarmadewa, raja Melayu yang bertakhta pada 1286,” tulis Kozok dan van Reijn.
Dalam Prasasti Amoghapasa A,
citralekha
memang menggurat gelar
maharaja
atau “raja besar”
bagi
Tribh
u
wanar
a
ja.
Sementara itu, Sri Kertanagara disebutnya dengan gelar
m
ah
a
r
aj
adhir
aj
a
alias “raja tertinggi di antara para raja”.
Dengan demikian,
Prasasti Amoghapasa A jelas
menegaskan hierarki di antara dua penguasa itu. Bahwa
dalam lingkungan
politik
Dwipantara
atau Nusantara
,
Sri Kertanagara berkedudukan lebih tinggi daripada
Tribh
u
wanar
a
ja.
K
arenanya, Adityawarman perlu menulis sebuah prasasti untuk menyatakan statusnya yang independen. Dalam Prasasti Amoghapas B, Adityawarman bahkan mendaku dua gelar sekaligus.
Gelar pertama adalah
dewa tuhan
yang
diperkirakan sebagai pernyataan
kedudukannya sebagai
dewaraja
. Gelar kedua yang dia cantumkan adalah
m
ah
a
r
a
jadhir
a
ja,
persis benar dengan gelar Sri Kertanagara dalam Prasasti Amoghapasa A.
Menurut
Kozok dan van Reijn, langkah itu merupakan cara Adityawarman menyetarakan dirinya dengan sang Raja Dwipantara.
Langkah politik Adityawarman sebagai raja mandiri selanjutnya adalah memindahkan pusat kerajaannya ke lubuk jantung Minangkabau. Dasarnya adalah taktis belaka, yakni menghindari potensi konflik terbuka dengan Majapahit yang armadanya hilir mudik di pesisir timur Sumatra.