Tulisan Bugis-Makasar
(
Bugis
-
Makasar
:
????
) ialah sistem tulisan dipakai masyarakat suku-suku
Bugis
dan
Makassar
masing-masing menulis
bahasa Bugis
dan
bahasa Makassar
. Ia juga pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh Bugis-Makassar seperti
Bima
di
Sumbawa
timur dan
Ende
di
Flores
dengan tambahan atau modifikasi.
Aksara ini merupakan turunan dari
aksara Brahmi
India melalui perantara aksara Kawi.
Aksara Lontara aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Sulawesi Selatan setidaknya sejak abad 16 M hingga awal abad 20 M sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan
huruf Rumi
. Aksara ini masih diajarkan di Sulawesi Selatan sebagai sebahagian daripada ajaran setempat, namun dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan harian.
Sistem tulisan ini berjenis
abugida
yang terdiri dari 23 huruf dasar. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merwakili satu
suku kata
dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan. Secara tradisionalnya, aksara ini ditulis tanpa
dijarakkan
(
scriptio continua
) dengan
tanda baca
yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara Lontara, sehingga teks Lontara secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks.
Para pengkaji umumnya meyakini bahawa aksara Lontara telah digunakan sebelum Sulawesi Selatan mendapat pengaruh
Islam
yang signifikan sekitar abad 16 M, berdasarkan fakta bahawa aksara Lontara menggunakan dasar sistem
abugida
Indik
ketimbang
huruf Arab
yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya.
Tulisan ini berakar pada
aksara Brahmi
dari India selatan, kemungkinan dibawa ke Sulawesi melalui perantara aksara Kawi atau aksara turunan Kawi lainnya.
Kesamaan rupa aksara-aksara Sumatra Selatan seperti
aksara Rejang
dengan aksara Lontara membuat beberapa ahli mengusulkan keterkaitan antara kedua sistem tersebut.
Teori serupa juga dijabarkan oleh Christopher Miller yang berpendapat bahawa aksara Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, dan Filipina berkembang selari dari pengaruh purwarupa
aksara Gujarat
,
India
.
[7]
Lontara di Sulawesi Selatan tampaknya pertama kali dikembangkan kawasan Bugis di wilayah Cenrana-Walannae pada sekitar tahun 1400. Penulisan mungkin telah menyebar ke bahagian lain di Sulawesi Selatan dari wilayah ini, tetapi kemungkinan perkembangan bebas tidak dapat ditolak. Yang jelas adalah bahawa catatan bertulis paling awal yang ada bukti adalah salasilah.
[8]
Ketika kertas tersedia di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17, tulisan Lontara, yang sebelumnya harus ditulis lurus, bersudut dan kaku pada daun lontar, sekarang dapat ditulis lebih cepat dan lebih bervariasi menggunakan tinta di atas kertas. R.A. Kern (1939: 580-3) menulis bahawa aksara Lontara yang diubah suai yang mempunyai bentuk melengkung yang terdapat di atas kertas nampaknya tidak terdapat dalam tulisan Bugis yang ditulis pada daun lontar yang dipelajarinya.
[9]
Melalui usaha ahli bahasa dari Lembaga Penginjilan Belanda, B.F. Matthes, mesin cetak Lontara Bugis, yang dirancang dan dihasilkan di Rotterdam pada pertengahan abad ke-19, telah digunakan sejak itu untuk mencetak di Makassar, Sulawesi Selatan dan Amsterdam. Hasil cetak itu juga digunakan sebagai model untuk mengajar tulisan Lontara Bugis di sekolah, bermula di sekolah-sekolah Makassar dan sekitarnya, kemudian secara bertahap menyebar ke wilayah lain di Sulawesi Selatan. Proses penyeragaman ini jelas mempengaruhi tulisan tangan kemudian. Apabila model standard Lontara Bugis telah muncul, variasi yang ada sebelumnya perlahan-lahan hilang.
[10]
Dan pada akhir abad ke-19, penggunaan aksara
Makassar
(atau aksara
Jangang-Jangang
) telah diganti sepenuhnya oleh aksara Lontara Bugis, yang kadang-kadang disebut oleh para penulis Makassar sebagai "Lontara Baru".
Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara Lontara,
Makassar
(atau aksara
Jangang-Jangang
),
Arab
, dan
Latin
. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskhah yang menggunakan lebih dari satu tulisan, termasuk naskhah beraksara Lontara yang sering ditemukan bercampur dengan
Arab Melayu
.
Aksara Lontara kebanyakan ditemukan dalam bentuk buku dengan kertas yang diimpor dari Eropa. Teks umum ditulis dengan tinta lokal menggunakan rusuk daun palem atau
kallang
(
kalam
) yang terbuat dari batangan buluh.
Terdapat pula beberapa naskhah beraksara Lontara yang ditemukan dalam bentuk unik menyerupai pita rekaman: selembar daun lontar yang panjang dan tipis digulungkan pada dua buah poros kayu sebagaimana halnya pita rekaman pada kaset. Teks kemudian dibaca dengan menggulung lembar tipis tersebut dari kiri ke kanan. Namun demikian, media ini hanya ditemukan pada beberapa contoh saja; sastera beraksara Lontara lebih lazim ditemukan pada media kertas.
Selain kertas, aksara Lontara juga dapat ditemukan pada benda-benda tertentu sebagai sebahagian daripada seni terapan, misal pada
cap
[14]
dan kerajinan perak.
Memasuki pertengahan abad 19 M, berkembang teknologi cetak aksara Lontara yang diprakarsai oleh
B. F. Matthes
. Matthes dikomisikan oleh Lembaga Penginjilan Belanda untuk mempelajari bahasa-bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan dengan tujuan menghasilkan kamus, materi tata bahasa, dan terjemahan
Injil
yang layak bagi bahasa-bahasa tersebut. Matthes tiba di Makassar pada tahun 1848 M dan tinggal di sana selama sepuluh tahun. Bekerja sama dengan percetakan
Tetterode
di
Rotterdam
, sebuah font cetak untuk aksara Lontara yang Matthes anggap cukup memuaskan selesai diproduksi pada tahun 1856, dengan beberapa suntingan selama beberapa tahun ke depannya. Sejak itu, bacaan sastera Makassar dan Bugis, dengan font Lontara yang digubah Matthes, dapat dicetak massal dan menjadi lumrah beredar di khalayak umum. Langgam cetak ini kemudian menjadi model pengajaran standar di sekolah-sekolah dasar masa itu, bermula dari sekolah-sekolah di daerah Makassar yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Akibat tersebarnya langgam standar tersebut, gaya tulis aksara Lontara yang awalnya memiliki beberapa macam variasi lama kelamaan menjadi lebih seragam.
Secara tradisional, aksara Lontara digunakan untuk menulis beberapa bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan. Materi beraksara Lontara paling banyak ditemukan dalam bahasa
Bugis
, diikuti oleh bahasa
Makassar
, kemudian bahasa
Mandar
yang materinya paling sedikit. Masyarakat
Toraja
yang juga berdiam di Sulawesi Selatan tidak menggunakan aksara Lontara kerana tradisi
sastera Toraja
mengandalkan penyampaian lisan tanpa tradisi naskhah asli.
Aksara Lontara yang sedikit diolah juga digunakan untuk beberapa bahasa di luar Sulawesi Selatan yang wilayahnya pernah mendapat pengaruh Bugis-Makassar, seperti bahasa
Bima
di
Sumbawa
timur dan bahasa
Ende
di
Flores
.
Penggunaan Aksara Lontara
|
-
Gulungan lontar Bugis episode
I La Galigo
dalam koleksi Tropenmuseum
-
Nashkah kertas episode
I La Galigo
dalam koleksi Universitas Leiden
-
Catatan harian atau
lontara' bilang
. Salah satu baris berbelok-belok melebihi baris lainnya
-
Hikayat Amir Hamzah
dalam bahasa Makassar
-
Naskhah
Kutika
mengenai penanggalan
|
Dalam masyarakat Sulawesi Selatan pra-kemerdekaan, aksara Lontara kerap digunakan dalam sejumlah tradisi teks yang berhubungan, sebahagian besarnya dalam bentuk manuskrip atau naskhah kertas. Istilah
lontara
(kadang dieja
lontaraq
atau
lontara'
untuk menandakan bunyi
hentian glotal
di akhir) juga mengacu pada suatu genre sastera yang membahas sejarah dan salasilah, topik tulisan yang paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh masyarakat
Bugis
dan
Makassar
. Genre ini bisa dibahagi ke dalam beberapa sub-jenis: salasilah (
lontara' pangngoriseng
), catatan harian (
lontara' bilang
), dan catatan sejarah atau
kronik
(
attoriolong
dalam bahasa Bugis,
patturioloang
dalam bahasa Makassar). Tiap kerajaan Sulawesi Selatan umumnya memiliki catatan sejarah masing-masing yang disusun dari ketiga jenis genre di atas dalam konvensi gubahan tertentu.
Dibandingkan dengan catatan-catatan "sejarah" dari bahagian Nusantara lainnya, catatan sejarah dalam tradisi sastera Sulawesi Selatan dianggap sebagai salah satu yang paling "realistis"; berbagai kejadian historis dijelaskan secara lugas dan masuk akal, sementara unsur berlegenda relatif sedikit muncul dan selalu disertai dengan penanda seperti kata "konon" sehingga keseluruhan catatan terkesan faktual dan realistis.
Meskipun begitu, catatan sejarah seperti
attoriolong
Bugis dan
patturiolong
Makassar tidak terlepas dari fungsi politisnya sebagai salah satu alat pengesahan kekuasaan, keturunan, maupun klaim teritorial penguasa tertentu.
Penggunaan catatan harian merupakan salah satu fenomena unik sastera Sulawesi Selatan yang tidak memiliki analogi serupa dalam tradisi tulis Nusantara lainnya.
Pengguna catatan harian umumnya orang dengan strata tinggi, seperti sultan, penguasa (Bugis:
arung
, Makassar:
karaeng
), atau perdana menteri (Bugis:
tomarilaleng
, Makassar:
tumailalang
). Buku harian semacam ini umumnya memiliki tabel yang telah dibahagi-bagi menjadi baris dan tanggal, dan pada baris tanggal yang telah disediakan penulis akan membubuhkan catatan kejadian yang ia anggap penting pada tanggal tersebut. Seringkali banyak baris dibiarkan kosong, namun apabila satu hari memiliki banyak catatan maka seringkali baris aksara berbelok dan berputar-putar untuk menempati segala ruang kosong yang masih tersisa dalam halaman kerana satu tanggal hanya diperbolehkan untuk memuat satu baris tak terputus.
Salah satu peninggalan catatan harian beraksara Lontara dalam koleksi publik adalah satu volume catatan harian Sultan Ahmad al-Salih Syamsuddin (sultan ke-22
Kerajaan Bone
, berkuasa 1775?1812 M) yang ia isi sendiri antara 1 Januari 1775 M hingga 1795 M.
[24]
Salah satu sastera puitis yang umum ditemukan dalam naskhah Lontara adalah epos Bugis
I La Galigo
(
????????
, dikenal pula dengan nama
Sure' La Galigo
?????????
). Epos mengenai asal-usul masyarakat Bugis ini merupakan puisi berbait yang terdiri dari cuplikan berbagai protagonis di latar kerajaan mitologis pra-Islam bernama Luwu'. Meski terbagi ke dalam berbagai episod cerita yang merentang hingga beberapa generasi watak, semua cuplikan saling menyambung dan cenderung konsisten dari segi isi dan bahasa sehingga semuanya membentuk satu piawaian yang lancar. Apabila disatukan, keseluruhan
I La Galigo
dapat mencapai hingga 6000 halaman folio, menjadikannya salah satu karya sastera terpanjang di dunia.
Konvensi puitis dan alusi
Galigo
kemudian melahirkan pula genre puisi
tolo'
, yang menggabungkan kesejarahan genre
lontara'
? dengan bentuk puitis
Galigo
.
Aksara Lontara juga kerap ditemukan dalam teks-teks Islami yang mencakup namun tidak terbatas pada hikayat, panduan doa, azimat, tafsir, serta kitab hukum-hukum Islam.
Naskhah semacam ini hampir selalu ditulis dengan campuran
abjad Jawi
untuk istilah Arab atau Melayu. Jenis teks ini juga merupakan penggunaan aksara Lontara yang bertahan paling lama dan masih diproduksi (dalam jumlah yang terbatas) hingga awal abad 21 M. Salah satu lembaga yang kerap memproduksi materi beraksara Lontara di Indonesia pasca kemerdekaan adalah Pesantren As'adiyah di
Sengkang
yang menerbitkan berbagai teks Islami dengan bahasa Bugis dan aksara Lontara cetak sejak pertengahan abad 20 M. Namun memasuki abad 21 M, kualitas cetakan dan jumlah terbitan beraksara Lontara di Sulawesi Selatan kian menurun; hampir tidak ada buku baru yang disusun dalam aksara Lontara dan bahkan buku lama yang beraksara Lontara seringkali dicetak ulang dengan alih aksara Latin yang menggantikan aksara Lontara sepenuhnya.
[28]
Dalam aksara Lontara, setiap konsonan mempunyai bunyi vokal /a/. Penyatuan antara konsonan bagi aksara ini adalah tidak wujud.Sebagai contoh, gabungan ? (da), ? (a) dan ? (na) tidak akan menghasilkan 'dan' sebaliknya akan menghasilkan 'da-a-na'. Setiap konsonan diubah bunyinya dengan penggunaan tanda vokal.
Secara asasnya, penamaan konsonan-konsonan Lontara adalah berdasarkan sebutannya. Bagi tanda vokal pula, mereka dipanggil
ana sure'
(
IPA
:?ana?sur??) dan setiap satunya dipanggil dengan bunyinya. Berikut adalah jadual bagi aksara Lontara:
Konsonan lontara
|
?
Ka
|
?
Ga
|
?
Nga
|
?
Ngka
|
?
Pa
|
?
Ba
|
?
Ma
|
?
Mpa
|
?
Ta
|
?
Da
|
?
Na
|
?
Nra
|
?
Ca
|
?
Nya
|
?
Ja
|
?
Nca
|
?
Ya
|
?
Ra
|
?
La
|
?
Wa
|
?
Sa
|
?
A
|
?
Ha
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tanda vokal (ana sure')
|
Tanda baca
|
?? i
|
?? u
|
?? e
|
?? o
|
?? ?
|
?
|
?
|
Aksara Lontara mempunyai dua tanda baca unik iaitu pallawa lontara, '?' serta penutup perenggan, '?'. Fungsi pallawa adalah sama seperti tanda noktah serta tanda koma dalam
huruf rumi
. Penutup perenggan pula berfungsi sebagai noktah di penghujung perenggan atau bahagian.
Pada masa kini, tulisan-tulisan yang menggunakan aksara Lontara turut menggunakan tanda-tanda baca latin seperti tanda koma (,), titik bertindih (:}, tanda soal (?), dan sebagainya.
Jadual fonetik konsonan Lontara
|
|
Penyuaraan
|
Labial
|
Dental
|
Palatal
|
velar
|
glotis
|
nasal
|
bersuara
|
m
|
?
|
n
|
?
|
?
|
?
|
ŋ
|
?
|
|
gugus
|
bersuara - tak bersuara
|
mp
|
?
|
nr
|
?
|
?c
|
?
|
ŋk
|
?
|
|
hentian
|
bersuara
|
b
|
?
|
d
|
?
|
|
g
|
?
|
|
tak bersuara
|
p
|
?
|
t
|
?
|
|
k
|
?
|
?
|
?
|
geseran dan bunyi afrikat
|
bersuara
|
|
?
|
?
|
|
tak bersuara
|
|
s
|
?
|
c
|
?
|
|
h
|
?
|
lambdal
|
bersuara
|
|
l
|
?
|
|
rhotal
|
bersuara
|
|
r
|
?
|
|
geluncuran
|
tak bersuara
|
w
|
?
|
|
j
|
?
|
|
Dalam unicode, julat kod bagi aksara Lontara adalah dari U+1A00 sehingga U+1A1F
[1]
:
|
|
0
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
A
|
B
|
C
|
D
|
E
|
F
|
U+1A0x
|
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
U+1A1x
|
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
??
|
??
|
??
|
??
|
??
|
¤
|
¤
|
?
|
?
|
Catatan
: Simbol '¤' pada kod U+1A1C dan U+1A1D adalah untuk dua tanda bacaan yang belum disahkan penggunaannya.
- ^
Miller, Christopher (2010).
"A Gujarati origin for scripts of Sumatra, Sulawesi and the Philippines"
.
Annual Meeting of the Berkeley Linguistics Society
.
36
(1).
- ^
Druce, Stephen C. (2009). "The lands west of the lakes, A history of the Ajattappareng kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE". KITLV Press Leiden: 63.
- ^
Druce, Stephen C. (2009). "The lands west of the lakes, A history of the Ajattappareng kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE". KITLV Press Leiden: 57?58.
- ^
J. Noorduyn (1993).
Variation in the Bugis/Makasarese script In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Manuscripts of Indonesia 149, no:3
. KITLV. m/s. 535.
- ^
Gallop, Annabel Teh (2019).
Malay Seals from the Islamic World of Southeast Asia
(dalam bahasa Inggeris). Singapore: NUS Press.
ISBN
9813250860
.
- ^
Gallop, Annabel Teh (01 January 2015).
"The Bugis diary of the Sultan of Bone"
. British Library
. Dicapai pada
11 April
2020
.
- ^
Tol, Roger (2015).
"Bugis Kitab Literature. The Phase-Out of a Manuscript Tradition"
.
Journal of Islamic Manuscripts
.
6
: 66?90.
doi
:
10.1163/1878464X-00601005
.
- Sumber utama
- Jukes, Anthony (2014).
"Writing and Reading Makassarese"
.
International Workshop of Endangered Scripts of Island Southeast Asia: Proceedings
(dalam bahasa Inggeris). LingDy2 Project, Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies.
CS1 maint: ref=harv (
link
)
- Tol, Roger (1996). "A Separate Empire: Writings of South Sulawesi". Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn (penyunting).
Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia
(dalam bahasa Inggeris). Jakarta: Lontar Foundation.
ISBN
0834803496
.
CS1 maint: ref=harv (
link
)
- Macknight, Charles Campbell (2016).
"The Media of Bugis Literacy: A Coda to Pelras"
.
International Journal of Asia Pacific Studies
(dalam bahasa Inggeris).
12
(supp. 1): 53?71.
CS1 maint: ref=harv (
link
)
- Macknight, Charles Campbell; Paeni, Mukhlis; Hadrawi, Muhlis, penyunting (2020).
The Bugis Chronicle of Bone
(dalam bahasa Inggeris). Diterjemahkan oleh Campbell Macknight; Mukhlis Paeni; Muhlis Hadrawi. Canberra: Australian National University Press.
ISBN
9781760463588
.
CS1 maint: ref=harv (
link
)