Awal dekad 1980 dibuka dengan kegiatan mogok yang dilakukan oleh 7 orang simpatisan republik yang ditahan oleh Britain di Penjara Maze. Kegiatan
mogok lapar
tersebut dilakukan sebagai kegiatan protes terhadap kebijakan Pemerintah Britain yang menangkap mereka yang diduga sebagai simpatisan republik tanpa proses pengadilan dan tindakan kasar petugas penjara terhadap tahanan. Sebelumnya, pada tahun 1976 sekelompok simpatisan republikan yang ditahan di penjara yang sama juga melakukan kegiatan protes berupa penolakan memakai seragam penjara yang diikuti dengan kegiatan mengotori dinding penjara dengan kotoran dan air najis 2 tahun sesudahnya. kegiatan mogok yang dilakukan pada tahun 1980 tersebut berlangsung selama 53 haridari 27 Oktober sehinggalah tanggal 18 Disember.
Setahun kemudian, para tahanan simpatisan republik kembali melakukan kegiatan mogok lapar apabila mengetahui bahawa tuntutan para peserta kegiatan mogok lapar pada tahun 1980 tidak dipenuhi . Berbeda dengan kegiatan mogok lapar sebelumnya, kegiatan mogok lapar pada tahun 1981 dilakukan dengan interval beberapa hari antara pesertanya dengan tujuan untuk menarik perhatian khalayak yang lebih besar. Kegiatan mogok lapar dimulai oleh
Bobby Sands
pada tanggal 1 Mac 1981. Uniknya, saat dia menjalani kegiatan mogok lapar tersebut, beliau terpilih sebagai salah satu anggota parlimen di Westminster. Bobby Sands akhirnya meninggal akibat 66 hari sesudah beliau memulai kegiatan mogoknya, dan pengebumiannya di Belfast dihadiri lebih daripada 100,000 orang. Meninggalnya Sands akibat kegiatan mogok lapar kemudian diikuti oleh kematian sembilan peserta mogok selama 3 bulan berikutnya.
Sesuai keinginan penggagas dan pesertanya, kegiatan mogok lapar yang dilakukan pada tahun 1981 berhasil menarik perhatian masyarakat dunia dan menaikkan semangat golongan nasionalis dan republikan. Beberapa tempat di dunia didirikan sebagai memperingati Bobby, sementara di wilayah lain kegiatan-kegiatan protes mengecam kerajaan Britain tercetus selepas kematian Bobby Sands. Di lain pihak, jumlah pemuda yang bergabung ke dalam kelompok paramiliter PIRA juga meningkat pesat. Hal tersebut mengikuti tren yang terjadi pasca
insiden Bloody Sunday
pada tahun 1972 di mana semakin banyak yang tertarik untuk bergabung ke PIRA dan secara langsung menambah kekuatan bagi mereka untuk terus menjalankan gerakan bersenjata.
Tanggal 12 Oktober 1984, terjadi kegiatan pengeboman di Hotel Grand di
Brighton
, England. kegiatan pengeboman tersebut menarik perhatian umum begitu besar kerana Perdana Menteri
Margaret Thatcher
sedang berada di sana dalam kongres
Parti Konservatif
pada masa sama. Dilaporkan 5 orang terbunuh dan 34 lainnya cedera, namun Thatcher sendiri selamat dalam insiden tersebut yang dianggap sebagai kegiatan balas dendam PIRA terhadap pemerintah Britain atas kematian Bobby Sands dan pihak yang bersimapati denga puak republikan lainnya dalam kegiatan mogok lapar tahun 1981.
Lima tahun pasca kegiatan mogok lapar tahun 1981, terjadi perpecahan dalam tubuh partai republikan
Sinn Fein
- parti yang disebut-sebut sebagai sayap politik PIRA. Perpecahan tersebut disebabkan sejumlah anggota Sinn Fein berusaha memanfaatkan momentum untuk menggalang dukungan melalui jalan politik pasca kegiatan mogok lapar yang menaikkan semangat kaum nasionalis republik. Upaya tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip Sinn Fein yang menolak penglibatan dalam parlimen Ireland Utara sejak Ireland Utara pertama kali terbentuk. Perbedaan pendapat tersebut menjadikan tampuk kekuasaan Sinn Fein terpecah menjadi dua di mana pecahannya lebih memihak kepada pihak Republican. Terpecahnya Sinn Fein juga diikuti dengan munculnya pecahan baru dari kelompok PIRA bernama
Continuity Irish Republican Army
(CIRA) pada tahun yang sama.
Pada tahun 1985, Britain melakukan dialog dengan Ireland lalu menghasilkan suatu kesepakatan yang dikenal sebagai Perjanjian Inggeris-Ireland. Antara intipati perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada Ireland sebagai penasihat bagi Ireland Utara untuk menyelesaikan konflik dan tidak akan ada perubahan dalam perlembagaan Ireland Utara, kecuali majoriti anggotanya memilih untuk bergabung ke dalam Republik Ireland. Namun, perjanjian tersebut juga mendapat penolakan baik dari kaum unionis maupun republik. Kaum
unionis
menolak perjanjian tersebut kerana memberi keleluasaan bagi Ireland untuk mencampuri kegiatan politik Ireland Utara, sementara kaum republikan - khususnya PIRA - melakukan penolakan kerana perjanjian tersebut masih menetapkan Ireland Utara sebagai bagian dari Britain. Lepas dari penolakan yang diterima, perjanjian tersebut tetap digunapakai oleh Britain dan Ireland.
Awal dasawarsa ini ditandai dengan peletakkan jawatan Margaret Thatcher dari kerusi Perdana Menteri Britain pada bulan November 1990. Secara keseluruhan, kegiatan-kegiatan pengganasan masih terjadi sepanjang dekad 1990-an, namun kesengitan situasi lebih menurun jika dibandingkan dengan dekad-dekad sebelumnya. Yang menariknya, pada permulaan dekad ini jumlah mangsa yang terkorban akibat serangan kaum loyalis sempat melampaui jumlah mangsa yang terkorban akibat serangan kaum republikan. Belakangan diketahui bahawa pada tempo hini, para militia loyalis mendapatkan sokongan senjata dan informasi rahsia dari anggota perisikan Britain.
Salah satu peristiwa pengganasan terbesar dalam dekad ini adalah peristiwa ledakan bom di pusat kota
Manchester
pada tanggal 15 Jun 1996. Insiden ledakan tersebut begitu diingat kerana begitu besarnya dampak kerusakan yang timbul dan mangsa cedera yang mencapai 200 orang. Ledakan tersebut juga disebut-sebut sebagai ledakan bom terbesar yang menimpa Britain sejak Perang Dunia Kedua. Sebagai akibatnya, banyak bangunan yang terpaksa dihancurkan dan dibangun kembali. Belakangan diketahui bahawa PIRA yang melakukan kegiatan tersebut. Selain kegiatan ledakan bom di Manchester, PIRA juga meledakkan bom di London beberapa bulan sebelumnya di awal 1996 yang mengakibatkan kerugian sebanyak puluhan juta pound sterling, setengah bilion paun streling apabila dikira secara keseluruhan dengan kerugian akibat daripada pengeboman Manchester.
Lepas dari konflik yang masih terus berlanjut, usaha untuk mengakhiri konflik di Ireland Utara semakin menemukan titik terang.
Perjanjian Belfast
(dikenal juga sebagai Perjanjian Jumaat Agung dirumuskan selepas berlangsungnya dialog antara partai-partai di Ireland Utara bersama pihak-pihak kerajaan Britain dan Ireland pada tahun 1998. Sejumlah poin penting dalam perjanjian ini antara lainnya ialah:
- Ireland Utara tetap menjadi sebahagian dari Britain melainkan mayoritas rakyatnya berubah pendirian,
- pendirian jawatankuasa hak asasi manusia di Ireland Utara,
- penyusunan sistem pemerintahan di Ireland Utara yang komposisi anggotanya harus terdiri dari partai loyalis dan republik, serta,
- berakhirnya operasi ketenteraan Britain di Ireland Utara.
- Tercapainya Perjanjian Belfast juga disebut-sebut sebagai pengakhiran konflik ini.
Berbagai perubahan dilakukan sebagai penerapan lanjutan dari Perjanjian Belfast. Salah satu perubahan penting yang dilakukan adalah reformasi dalam badan polis setempat Royal Ulster Constabulary di mana pada tahun 2001, namanya diubah menjadi
Police Service of Northern Ireland
(PSNI) yang dianggotai daripada 50% Katolik dan 50% Protestan. Perubahan tersebut dilakukan untuk mengubah imej polis di Ireland Utara yang selama ini dianggap diskriminatif dan semena-mena terhadap masyarakat Katolik dan nasionalis serta mengembalikan peranan mereka sebagai penjaga ketertiban di Ireland Utara usai penarikan balik tentera Britain.
Menjelang Perjanjian Belfast, kelompok-kelompok paramiliter di Ireland Utara menghentikan kegiatan bersenjatanya untuk sementara waktu. Usai Perjanjian Belfast disahkan, pelucutan senjata kesemua kelompok paramiliter dilakukan. Fokus utama dalam proses pelucutan senjata adalah penekanan bahawa PIRA merupakan kelompok paramiliter terbesar dan paling dominan semasa konflik ini berlangsung berlangsung. Upaya tersebut akhirnya diselesaikan setelah pada tahun 2005 apabila PIRA dipastikan sudah menghancurkan semua stok persenjataannya dengan disaksikan oleh pasukan pengawas independen. Setelah pelucutan senjata milik PIRA dilakukan, pelucutan senjata dilakukan kepada kelompok-kelompok paramiliter lain seperti UDA dan UVF.
Kebijakan PIRA untuk mengakhiri kegiatan bersenjatanya ternyata tetap mendapat penolakan dari sejumlah penyokongnya. Oleh kerana itu, pada tahun 1998 sejumlah simpatisan PIRA memutuskan untuk membelot dan membentuk kelompok paramiliter baru bernama Real IRA (RIRA). RIRA memiliki agenda untuk melanjutkan aktivitas bersenjata yang selama ini dilakukan oleh PIRA. Dalam sejumlah aksinya, mereka diketahui bekerja sama dengan Continuity IRA (CIRA) yang juga merupakan pecahan dari PIRA tahun 1986. Bisa dibilang, tinggal RIRA dan CIRA kelompok paramiliter di Ireland Utara yang masih aktif sehingga kini.
Meskipun terdapat kelompok-kelompok paramiliter kecil yang masih aktif hingga kondisi di Ireland Utara sudah jauh lebih kondusif sejak tahun 2000-an. Ireland Utara sekarang menjadi salah satu lokasi tujuan pelabur dan pelancong di Britania Raya. Lukisan-lukisan dinding yang selama ini menjadi visualisasi pertempuran di Ireland Utara kini menjadi saksi bisu sekaligus "galeri terbuka" untuk memeperingati konflik berkepanjangan tersebut. Sikap terbuka dam saling menghargai antara kedua-dua masyarakat Katolik dan Protestan juga semakin meningkat.
Namun, konflik yang sudah berlangsung selama hampir 30 tahun tersebut tetap saja membawa konsekuensi negatif bagi wilayah setempat. Beberapa di antaranya adalah sikap sentimentil yang masih kerap muncul antara komunitas Katolik dengan Protestan, kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Ireland Utara selama the Troubles yang masih belum tertangani, korban jiwa dan kerugian harta benda akibat konflik, serta tekanan psikologi mendalam dalam kalangan masyarakat di Ireland Utara yang ditandai jumlah kasus perceraian, penyalahgunaan alkohol, dan bunuh diri dalam keluarga yang sangat tinggi.