Suparna Sastradiredja
(2 Februari 1914 – 31 Desember 1996) adalah seorang tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia, tokoh
serikat buruh
, politikus
Partai Komunis Indonesia
, dan
pengarang
yang hidupnya berakhir dalam pengasingan di
Belanda
.
[1]
Suparna dilahirkan dari keluarga Abdul Sastradiredja (
1885
-
1968
) dan Nyi Emi Resmi (
1896
-
1970
) di desa Tarogong, Garut - Jawa Barat. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga sementara ayahnya seorang
guru
sekolah dasar di Garut.
[2]
Suparna menempuh pendidikannya di
Europeesche Lagere School
di
Cicalengka
, lulus pada
1930
, lalu melanjutkan ke
MULO
di
Bandung
, dan lulus pada
1933
. Dari situ ia melanjutkan pendidikannya di
Algemene Middelbare School
(AMS) di
Batavia
, dan selesai pada
1936
.
[2]
Sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, Suparna sudah aktif dalam organisasi pemuda nasionalis
Indonesia Muda
. Ia menjadi anggota dewan pimpinan organisasi ini dan bertanggung jawab sebagai redaktur majalah bulanan gerakan ini dengan nama yang sama "Indonesia Muda". Pada
1937
, ia dijatuhi hukuman penjara selama 10 bulan di Batavia karena menerbitkan artikel yang dianggap menghasut dalam majalah ini. Pengacaranya adalah
Mr. Amir Sjarifuddin
,
Mr. Mohammad Yamin
dan Mr. Sjah, yang belakangan menjadi tokoh-tokoh terkenal
Republik Indonesia
.
[3]
Suparna Sastra Diredja sering menghadiri rapat-rapat politik serta kelas-kelas pendidikan politik di malam hari yang diselenggarakan oleh mahasiswa-mahasiswa nasionalis. Belakangan ia menjadi anggota partai politik
Gerakan Rakyat Indonesia
(Gerindo). Suparna juga menjadi guru di salah satu "sekolah liar",
Perguruan Rakyat
, di
Jakarta
yang digunakan oleh kaum nasionalis untuk membakar semangat orang-orang muda.
[3]
Pada masa pendudukan
Jepang
, Suparna Sastra Diredja ikut serta dalam gerakan anti Jepang di bawah tanah di
Jawa Barat
. Ia bergerak melalui
Koperasi Rakyat Indonesia
(Korindo), sebuah koperasi guna-produksi, namun kemudian dibubarkan atas perintah tentara Jepang. Suparna kemudian bergabung dengan pemuda-pemuda revolusioner, di antaranya
Wikana
,
Chaerul Saleh
dan
Sukarni
.
Ia memimpin kantor Badan Penolong Prajurit Pekerja, sebuah lembaga setengah resmi di Priangan. Badan ini dibentuk untuk membantu keluarga-keluarga para
romusha
. Suparna menggunakan lembaga ini untuk mengorganisasi dapur umum untuk membantu rakyat yang kelaparan.
Setelah
Perang Dunia II
, segera setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Suparna mendirikan
Angkatan Pemuda Indonesia
, sebuah organisasi pemuda bersenjata di Bandung. Ia terpilih sebagai anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat
, badan perwakilan rakyat sementara, untuk distrik
Bandung
dan
Priangan
. Kemudian, Ia menjadi kepala departemen logistik dari organisasi bersenjata dan anggota Dewan Nasional untuk Rencana Pembangunan. Ia ikut serta dalam delegasi Indonesia pada perundingan-perundingan dengan pihak
Belanda
, khususnya menyangkut masalah-masalah perkebunan.
Suparna adalah salah satu pendiri serikat buruh perkebunan yang bernama
Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia
(Sarbupri) pada
1947
dan menjabat sebagai sekretaris jenderal hingga
1965
. Ia juga menjadi anggota Dewan Nasional Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (
SOBSI
).
Setelah
Pemilihan umum 1955
, Suparna menjadi anggota Konstituante mewakili fraksi
PKI
. Setelah nasionalisasi tanah-tanah perkebunan asing pada 1964, ia ditunjuk sebagai direktur Perusahaan Perkebunan Dwikora ex perkebunan milik Inggris di Indonesia.
[3]
Pada
September
1965
, Suparna ikut serta dalam delegasi
MPRS
ke Kamboja, Vietnam Utara, Korea Utara dan
Tiongkok
. Bersamaan dengan itu, terjadi perkembangan lain di tanah air, khususnya setelah meletusnya
G30S
. Karena itu Suparna tidak sempat ditangkap ataupun dilenyapkan seperti kebanyakan orang
komunis
atau yang dicurigai sebagai komunis. Akhirnya Suparna tinggal di Tiongkok selama 12 tahun. Betapapun juga ia tidak merasa bebas di Tiongkok karena ia tidak dapat berhubungan dengan sanak keluarga dan teman-temannya di Indonesia. Karena itulah pada
1978
ia pindah ke Belanda dan tinggal menetap di negara itu.
Di Belanda, sejak awal sekali Suparna telah aktif dalam gerakan-gerakan untuk
demokrasi
dan
hak azasi manusia
di Indonesia. Ia ikut serta dalam berbagai aksi, menulis artikel, menyampaikan informasi lisan dan tertulis tentang situasi di Indonesia. Ia menjadi anggota dewan pengurus SKBSI, Aksi Setia Kawan, dan sekretaris Yayasan Perhimpunan Indonesia. Bersama-sama dengan sejumlah temannya ia menerbitkan artikel-artikel dan tulisan-tulisan lain menyangkut Indonesia. Ia menjadi bendahara yayasan ini. Selain itu, sejak
1982
Suparna juga menjadi anggota
Partai Komunis Belanda
.
Suparna menikah dengan Enok Djuariah, seorang perempuan kelahiran
Ciamis
pada
1915
, yang hingga
1965
juga bekerja sebagai
guru sekolah dasar
. Mereka memiliki lima orang anak. Karena Suparna tidak dapat kembali lagi ke Indonesia, pada 1982 mereka bercerai. Suparna menikah kembali pada
1987
dengan Neneng Marsiah.
- (Indonesia)
Romusa (1987)
- (Indonesia)
Bermukim di Bumi Belanda
- (Indonesia)
(Belanda)
Si Titut: Kuda Pacu Wedana Leles
- (Indonesia)
(Belanda)
"MMC" di lereng Merapi-Merbabu
- (Indonesia)
Petani Singaparna Berontak (tak lengkap)
- (Indonesia)
(Belanda)
Studie over de problemen van de Indonesische revolutie
- (Indonesia)
Cerita tentang ayah saya, tentang ibuku Emi
- (Indonesia)
Kenang-kenangan dalam Serikat Buruh'
Dalam penulisannya, ia banyak menggunakan nama samaran, misalnya Nusa Kusuma, Putra Nusantara, Nusantari, Baranusanta, Kartika Putra, Pandu dan Pandu Nusa.
- ^
"Suparna Sastradiredja - PKI (Partai Komunis Indonesia) - Profil Anggota"
.
Konstituante.Net
. Diakses tanggal
2021-10-24
.
- ^
a
b
Raditya, Iswara N.
"Suparna Sastra Diredja Dirajam Sejarah Kelam"
.
tirto.id
. Diakses tanggal
2020-12-04
.
- ^
a
b
c
"Suparna Sastradiredja - PKI (Partai Komunis Indonesia) - Profil Anggota"
.
Konstituante.Net
. Diakses tanggal
2020-12-04
.