Kesultanan Mataram
(
bahasa Jawa
:
???????????????????
,
Pegon
: ????? ???????? ??????
,
translit.
Nagari Kasultanan Mataram
) adalah negara berbentuk
kesultanan
di
Jawa
pada abad ke-16. Kesultanan ini didirikan sejak pertengahan
abad ke-16
, tetapi baru menjadi negara berdaulat di akhir
abad ke-16
yang dipimpin oleh dinasti yang bernama
wangsa Mataram
.
[3]
[4]
Sepanjang abad ke-16, tepatnya pada puncak kejayaannya di bawah pemerintahan
Anyakrakusuma
, Mataram adalah salah satu negara terkuat di Jawa, kesultanan yang menyatukan sebagian besar pulau
Jawa
, yakni
Jawa Tengah
,
DI Yogyakarta
, sebagian besar
Jawa Barat
dan
Jawa Timur
kecuali
Banten
, selain itu juga menguasai daerah
Madura
, dan
Sukadana
(
Kalimantan Barat
),
Makasar
, serta
Pulau Sumatra
(
Palembang
dan
Jambi
). Kesultanan ini terdiri dari beberapa wilayah inti mulai dari:
kutagara
,
nagaragung
,
mancanagara
,
pasisiran
dan sejumlah
kerajaan
vasal
, beberapa di antaranya dianeksasi ke dalam teritori kesultanan, sedangkan sisanya diberikan beragam tingkat
otonomi
.
[5]
Kesultanan ini secara kenyataannya adalah
negara
merdeka
yang menjalin hubungan
perdagangan
dengan
Kerajaan Belanda
ditandai dengan kedua pihak saling mengirim
duta besar
. Menjelang keruntuhannya, Kesultanan Mataram menjadi negara
protektorat
Kerajaan Belanda
, dengan status
swapraja
.
Perjanjian Giyanti
yang ditandatangani oleh
Pangeran Mangkubumi
dengan
VOC
membuahkan kesepakatan bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua kekuasaan, yaitu
Nagari Kasunanan Surakarta
dan
Nagari Kasultanan Ngayogyakarta
. Perjanjian yang ditandatangani dan
diratifikasi
pada tanggal 13 Februari 1755 di
Giyanti
ini secara
hukum
menandai berakhirnya
Mataram
.
[6]
[7]
Nama
Mataram
secara historis adalah nama kerajaan pra-Islam yang mengacu pada
Kerajaan Mataram
abad ke-8
. Praktik umum di Jawa adalah menyebut kerajaan mereka dengan
metonimia
dan bervariasi dalam berbagai bahasa. Ada keragaman bahkan dalam bahasa. Dalam
bahasa Sanskerta
, Mataram berarti ibu, sedangkan istilah "Matawis" digunakan sebagai bentuk
demonim
dan
kata sifat
.
Berdasarkan sejarahnya, ada dua kerajaan yang pernah ada di periode yang berbeda dan keduanya disebut Mataram. Kerajaan selanjutnya, sering disebut sebagai
Mataram Islam
atau
Matawis
untuk membedakannya dari Kerajaan Mataram abad ke-8.
[8]
Kotagede
, bekas ibu kota Mataram yang didirikan pada tahun 1582 oleh Panembahan Senapati.
Pada seperempat
abad ke-16
Masehi
, wilayah Kesultanan Mataram merupakan bagian dari wilayah
Kesultanan Pajang
. Statusnya sebagai
kadipaten
dengan penguasanya yaitu
Ki Ageng Pamanahan
. Setelah
Panembahan Senapati
berkuasa di
Kadipaten Mataram
, ia memisahkan wilayahnya dari
Kesultanan Pajang
dan mendirikan Kesultanan Mataram.
[9]
Kesultanan Mataram didirikan olehnya pada tahun
1586
. Selanjutnya pada tahun
1586
wilayah
Pajang
sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Mataram diikuti
penyerahan takhta
Pajang
oleh
Pangeran Benawa
kepada
Panembahan Senapati
. Perkembangan Mataram begitu besar dan kuat sehingga sebagian besar sejarawan setuju bahwa itu telah didirikan selama beberapa generasi perintis Mataram.
Menurut catatan Jawa, raja-raja Mataram adalah keturunan dari
Ki Ageng Sela
(Sela adalah sebuah desa dekat
Demak
sekarang). Pada tahun
1570-an
, salah satu keturunan
Ki Ageng Sela
,
Kyai Gede Pamanahan
dianugerahi kekuasaan atas tanah Mataram oleh raja
Pajang
,
Sultan Adiwijaya
, sebagai imbalan atas jasanya mengalahkan
Arya Panangsang
, musuh
Adiwijaya
.
[10]
Pajang terletak di
kota Surakarta
saat ini, dan Mataram awalnya adalah
vasal
dari Pajang.
[4]
Pamanahan sering disebut sebagai Kyai Gede Mataram. Seorang kyai adalah seorang ulama muslim yang berpendidikan tinggi dan cenderung disegani.
Sedangkan di Pajang, terjadi perebutan kekuasaan besar-besaran yang terjadi setelah
Sultan Adiwijaya
wafat pada tahun
1582
. Pewaris
Adiwijaya
adalah
Pangeran Benawa
, digulingkan takhtanya oleh
Arya Pangiri
dari
Demak
, dan disingkirkan ke
Jipang
. Putra
Pamanahan
,
Sutawijaya
atau
Panembahan Senapati
, menggantikan ayahnya sekitar tahun
1584
, dan dia mulai melepaskan Mataram dari kekuasaan Pajang. Di bawah
Sutawijaya
, Mataram tumbuh secara
substansial
melalui
kampanye militer
melawan penguasaan Mataram atas Pajang oleh
Arya Pangiri
, dan
Pangeran Benawa
dengan cepat menggalang dukungan untuk merebut kembali takhtanya dan merekrut dukungan
Panembahan Senapati
melawan
Pajang
. Selanjutnya, Pajang diserang dari dua arah: oleh
Pangeran Benawa
dan oleh
Panembahan Senapati
. Perang antara Pajang melawan Mataram berakhir dengan kekalahan
Arya Pangiri
.
Pangeran Benawa
kemudian naik takhta di Pajang.
[10]
Selama periode itu tidak ada putra mahkota Pajang yang menggantikan
Pangeran Benawa
sehingga takhta Pajang diserahkan ke
Panembahan Senapati
. Kemudian yang menjadi
bupati
di sana ialah Pangeran Gagak Baning atau adik Panembahan Senapati. Peristiwa pada tahun 1586 ini menandai berakhirnya kerajaan Pajang dan berdirinya Nagari Kasultanan Mataram.
Pasarean Mataram
, makam dari Panembahan Senapati dan Panembahan Seda ing Krapyak.
Sutawijaya
menjadi pemimpin
monarki
dengan menyandang gelar "
Panembahan
" (secara harfiah berarti "orang yang dijunjung"). Dia mengungkapkan sifat pemerintahannya yang ekspansif dan mulai memproyeksasi manuver politiknya sesuai ketentuan, layanan, dan fungsi
administrasi
ke timur di sepanjang
Bengawan Solo
.
[10]
Pada
1590
menaklukkan
Madiun
, dan berbelok ke timur dari
Madiun
untuk menaklukkan
Kediri
pada tahun
1591
dan
Ponorogo
.
[11]
Pada saat yang sama ia juga menaklukkan
Jipang
dan
Jagaraga
(utara
Magetan
sekarang). Dia berhasil mencapai timur sejauh
Pasuruan
. Setelah berhasil menyatukan bekas wilayah Pajang,
Panembahan Senapati
mengalihkan perhatiannya ke Jawa bagian barat, dengan menjalin hubungan baik dengan
Cirebon
[12]
dan menaklukkan
Galuh
pada tahun
1595
.
[11]
Usahanya untuk menaklukkan
Banten
pada tahun
1597
gagal, dikarenakan kurangnya
transportasi air
.
[11]
Panembahan Senapati
wafat pada tahun
1601
dan dimakamkan di
Kota Gede
, sebagai raja Jawa ia berhasil membangun fondasi negara baru yang kokoh. Penggantinya,
Raden Mas Jolang
atau yang kemudian bergelar sebagai
Susuhunan
Anyakrawati
.
[11]
Kontak pertama antara Mataram dan
Belanda
(
VOC
) terjadi pada era
Susuhunan Anyakrawati
. Kegiatan
Belanda
pada saat itu hanya sebatas
perdagangan
dari
pemukiman pesisir
utara Jawa, sehingga interaksi mereka dengan wilayah pedalaman Jawa dibatasi, meskipun dibelakang mereka membentuk
siasat
untuk melawan Mataram.
Susuhunan Anyakrawati
wafat karena kecelakaan sewaktu berburu rusa di hutan
Krapyak
. Dari peristiwa itu ia dikenal dengan gelar anumerta
Panembahan Seda ing Krapyak
(Panembahan yang wafat di Krapyak).
Turnamen bela diri antara dua penunggang kuda bertombak di kerajaan Mataram, diadakan di alun-alun depan keraton.
Anyakrawati
digantikan oleh putranya,
Pangeran Martapura
. Namun
Martapura
, kesehatannya buruk dan dengan cepat digantikan oleh saudaranya,
Raden Mas Rangsang
pada tahun
1613
, yang menyandang gelar
Susuhunan Anyakrakusuma
, dan kemudian pada tahun
1641
mengambil gelar
Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma
(
Sultan Agung
).
[11]
Kesultanan Mataram di bawah pemerintahan
Anyakrakusuma
dikenang sebagai puncak kekuasaan Mataram, dan masa keemasan kekuasaan asli Jawa sebelum
imperialisme
Eropa
pada abad berikutnya. Di bawah kepemimpinannya,
Anyakrakusuma
tidak mengizinkan
Serikat Dagang Hindia Timur (VOC)
untuk mendirikan
loji-loji
dagang di pantai utara. Hal ini ditolak lantaran ia tidak ingin
ekonomi
di pantai utara akan melemah jika dikuasai oleh
VOC
. Penolakan ini membuat hubungan Mataram dengan
VOC
merenggang.
[
butuh rujukan
]
Pada
1641
, utusan Jawa yang dikirim
Anyakrakusuma
ke
Arab
telah tiba setelah mendapat izin menyandang gelar "
Sultan
" dari
Mekah
. Nama dan gelar Islam yang diperolehnya dari
Mekah
adalah "Sultan Abdul Muhammad Maulana Matarami".
[13]
Pada
1645
Sultan Agung mulai membangun
Imogiri
, sebagai tempat pemakaman, sekitar lima belas kilometer selatan
Yogyakarta
.
Imogiri
tetap menjadi tempat peristirahatan sebagian besar keluarga
Kesunanan Surakarta
dan
Kesultanan Yogyakarta
hingga sekarang. Sultan Agung wafat pada musim semi tahun
1646
, meninggalkan sebuah negara yang ia bangun, membentang cakrawala sebagian besar
Jawa, Madura, dan pulau-pulau sekitarnya
.
Sepeninggal Sultan Agung, tahta diambil alih oleh anaknya,
Amangkurat I
. Pusat pemerintahan dipindahkan ke
Keraton Plered
yang lokasinya tak jauh dari keraton sebelumnya. Di bawah kepemimpinannya, Mataram diwarnai dengan gejolak politik yang tidak stabil karena adanya tekanan dari
VOC
, sehingga terjadi banyak pemberontakan dan perang saudara. Masa kepemimpinannya juga menjadi titik awal masa kemunduran Mataram.
Pemberontakan Raden Mas Alit dan Trunojoyo
[
sunting
|
sunting sumber
]
Sikap
Amangkurat I
yang cenderung lunak dan tunduk kepada
Belanda
memunculkan beberapa perlawanan. Salah satunya adalah pemberontakan Raden Mas Alit, adik dari
Amangkurat I
pada
1678
yang menelan ribuan korban jiwa. Raden Mas Alit pun tewas dalam pemberontakan ini.
[14]
Ada pula pemberontakan yang dipimpin oleh
Raden Mas Rahmat
, anak
Amangkurat I
yang saat itu telah menjadi
Pangeran Adipati Anom
atau putra mahkota. Ia keberatan dengan pengalihan gelar yang ia sandang kepada saudaranya, yakni
Pangeran Singasari
. Ia mengajak
Trunojoyo
, putra penguasa
Madura
, untuk melaksanakan misi tersebut pada
1670
.
Trunojoyo
menyanggupi karena ia ingin
Madura
merdeka dari penguasaan Kerajaan Mataram Islam di bawah kepemimpinan
Amangkurat I
. Namun,
Trunojoyo
malah menumpas satu demi satu wilayah-wilayah kekuasaan Mataram, dan akan menyerang
keraton Plered
. Hal ini membuat
Pangeran Adipati Anom
berubah haluan mendukung ayahandanya, kemudian melakukan pelarian menuju
Tegal
. Disinilah
Amangkurat I
sakit dan wafat, oleh karenanya
Amangkurat I
diberi nama anumerta
Susuhunan Tegal Arum
.
[14]
Disisi lain, Trunojoyo semakin kuat sehingga
Pangeran Adipati Anom
terpaksa menjalin kerja sama dengan
VOC
untuk menumpas
Trunojoyo
sekaligus merebut kembali takhta Mataram Islam. Kompeni bersedia membantu tapi dengan syarat. Akhirnya, Pangeran Adipati Anom diangkat menjadi penerus tahta dengan gelar
Amangkurat II
. Disini kembali terjadi pemindahan pusat pemerintahan, kali ini menuju ke
Kartasura
yang berada di bagian timur ibukota lama.
[14]
Intervensi
VOC
dalam urusan kerajaan juga menimbulkan
perang saudara
antar kerabat keraton Mataram pada saat itu, dikarenakan masing-masing pihak saling mengklaim soal takhta yang sah. Dimulai pada
Perang Takhta Jawa Pertama
yang melibatkan
Amangkurat III
dan
Pakubuwana I
,
Perang Takhta Jawa Kedua
yang melibatkan
Amangkurat IV
dan pangeran-pangeran yang memberontak.
Lukisan Jawa abad ke-19 menggambarkan salah satu episode Perang Jawa-Tionghoa melawan VOC (1741-1743).
Terjadinya peristiwa
Geger Pacinan
di
Batavia
berefek pada migrasi etnis
Tionghoa
secara besar-besaran ke
Jawa Tengah
. Hal inilah yang kemudian mendorong pemberontakan bersama yakni
etnis Jawa
dan
etnis Tionghoa
melawan para
penjajah
di tahun
1740
. Pemberontakan ini dipimpin oleh
Sunan Kuning
yang kelak diangkat oleh sebagian pengikutnya menjadi
Amangkurat V
, dibantu oleh pasukan dari
etnis Tionghoa
dan mengajak
Raden Mas Said
, anak dari
Pangeran Arya Mangkunagara
yang merupakan saudara kandung lain ibu dari
Pakubuwana II
, penguasa Mataram saat itu.
[15]
Pakubuwana II
berhasil mempertahankan gelarnya dengan bantuan
VOC
. Namun,
keraton Kartasura
hancur lebur dalam penyerangan tersebut.
VOC
juga meminta imbalan untuk bantuan yang diberikan, dimana
Pakubuwana II
harus melepaskan
Madura Barat
,
Surabaya
,
Rembang
,
Jepara
dan
Blambangan
. Hal tersebut dituangkan dalam bentuk
Perjanjian Panaraga
pada tahun
1743
.
Karena
keraton Kartasura
dirasa sudah tidak layak lagi,
Pakubuwana II
memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahannya. Kali ini ia memilih desa
Sala
, wilayah di timur
Kartasura
yang berada di tepi sungai
Bengawan
. Disana
Pakubuwana II
membeli tanah dari lurah Desa Sala, yaitu Ki Gede Sala, sebesar 10.000
ringgit
(
gulden Belanda
) untuk membangun istana Mataram yang baru. Di sinilah cikal bakal
Keraton Surakarta Hadiningrat
.
[15]
Situasi politik yang masih belum stabil setelah pemberontakan
Sunan Kuning
, membuat
Pakubuwana II
mengumumkan sebuah sayembara untuk menumpas
Raden Mas Said
dan dijanjikan sebuah hadiah. Konon, saat itu
Raden Mas Said
adalah panglima perang yang tak terkalahkan, bahkan dijuluki
Pangeran Sambernyawa
.
Tantangan ini diterima oleh
Pangeran Mangkubumi
, adik
Pakubuwana II
yang juga menjadi paman dari
Raden Mas Said
. Ia pun berhasil menumpas
Raden Mas Said
dan seharusnya bisa mendapatkan hadiah tersebut. Namun,
Pakubuwana II
dihasut oleh Patih Pringgalaya dan
Baron van Imhoff
, gubernur
VOC
saat itu untuk tidak memberikan hadiah tersebut demi menurunkan derajat
Mangkubumi
yang dikenal anti-
VOC
.
Kemelut tersebut semakin menjadi-jadi setelah dilakukannya perubahan dalam
Perjanjian Panaraga
oleh
VOC
, yang dimana perubahan tersebut mengharuskan
Susuhunan
untuk menyerahkan wilayah pesisir kepada
VOC
. Hal ini membuat
Mangkubumi
kecewa, dan situasi pun berbalik di mana ia keluar dari keraton pada tanggal 19 Mei 1746 dan bergabung dengan
Raden Mas Said
. Meski begitu, keluarnya
Mangkubumi
dari keraton bukan untuk memusuhi dan memberontak, melainkan untuk mempertahankan wilayah Mataram, khususnya wilayah pesisir.
Perlawanan dari
Mangkubumi
dan pengikutnya terus berlanjut hingga mangkatnya
Pakubuwana II
dan digantikan oleh anaknya,
Pakubuwana III
. Sepeninggal kakaknya, atas usul
Raden Mas Said
,
Mangkubumi
diangkat oleh pengikutnya menjadi
Susuhunan
di wilayah Kabanaran (
Sukowati
) menandingi
Pakubuwana III
, dengan
Raden Mas Said
sebagai patih. Sebab itulah
Mangkubumi
pernah dijuluki sebagai
Susuhunan Kabanaran
. Bergabungnya
Mangkubumi
dan
Raden Mas Said
menimbulkan kekuatan yang luar biasa, terbukti dengan ditaklukkannya kembali daerah-daerah pesisir yang sebelumnya telah dikuasai oleh
VOC
, bahkan wilayah-wilayah di bagian timur seperti
Surabaya
dan
Madura
pun juga ditaklukkan.
[16]
Kegagalan
VOC
melawan pasukan
Mangkubumi
menimbulkan berbagai tekanan. Akhirnya, mereka kembali memainkan intrik politik adu domba untuk memecah belah kekuatan
Mangkubumi
dan
Raden Mas Said
.
VOC
berhasil menghasut
Raden Mas Said
melalui Tumenggung Sujanapura untuk melepaskan diri dari pasukan
Mangkubumi
. Alhasil,
Mangkubumi
kelak harus berjuang sendirian melawan pasukan
VOC
,
Surakarta
, dan
Raden Mas Said
.
Peta yang menggambarkan batas wilayah keempat monarki (dua kerajaan dan dua kadipaten) pecahan Nagari Mataram setelah
Perang Diponegoro
pada tahun 1830.
Di sisi lain, situasi perang yang kurang menguntungkan membuat
VOC
menawarkan perjanjian damai kepada
Mangkubumi
. Maka ditandatanganilah
Perjanjian Palihan Nagari
yang dilakukan di
Dusun Kerten
,
Desa Jantiharjo
,
Karanganyar
, pada 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh
VOC
yang diwakili oleh Nicolaas Hartingh, serta Pangeran Mangkubumi. Atas desakan VOC,
Pakubuwana III
terpaksa menyetujui perjanjian tersebut, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuannya dengan Mangkubumi di daerah
Jatisari
yang berakhir dengan disahkannya
Perjanjian Jatisari
, pada tanggal 15 Februari 1755.
Sejak saat itu,
Pakubuwana III
berhak atas wilayah timur Nagari Mataram dan tetap mempertahankan kedudukannya atas raja
Surakarta
dengan gelar
Susuhunan Pakubuwana
. Pakubuwana III juga mengizinkan
Mangkubumi
untuk memerintah sebagian tanah Nagari Mataram sebelah barat alias di seberang
Sungai Opak
yang kelak menjadi
Yogyakarta
, dan bertakhta sebagai raja dengan gelar
Sultan Hamengkubuwana
. Perjanjian-perjanjian tersebut juga mengakhiri kejayaan Mataram Islam selama beberapa abad.
[17]
Rupanya,
Perjanjian Giyanti
dan
Perjanjian Jatisari
tidak diterima dengan baik oleh
Raden Mas Said
, sehingga ia tetap melakukan perlawanan terhadap
VOC
,
Surakarta,
dan
Yogyakarta
. Karena perang berlangsung berlarut-larut dan mengalami kebuntuan, maka Raden Mas Said yang mendapat julukan Pangeran Sambernyawa itu menerima tawaran damai dari VOC, yang kemudian memunculkan
Perjanjian Salatiga
pada tahun 1757. Dari perjanjian tersebut, ia diangkat menjadi pangeran miji dan kemudian menjadi pangeran merdeka dengan gelar
Adipati Mangkunagara
, serta mendapat sebagian
tanah apanase
dari wilayah
Nagara Agung
Surakarta
bagian timur, yang kemudian dikenal sebagai
Kadipaten Mangkunagaran
.
Sekitar lima puluh empat tahun kemudian, wilayah Mataram kembali terpecah. Kali ini, kekalahan
Yogyakarta
dalam
Geger Sepoy
pada tahun 1813 membuahkan suatu keputusan yaitu diangkatnya
Pangeran Natakusuma
selaku salah satu putra dari
Hamengkubuwana I
untuk menjadi pangeran merdeka dengan gelar
Adipati Paku Alam
, oleh pemerintah
Inggris
.
Natakusuma
berhak atas wilayah kemantren di timur
Keraton Yogyakarta
, dan beberapa bidang di pesisir
Kulon Progo
atau Karang Kemuning, yang dikenal dengan nama
Kadipaten Pakualaman
.
Mataram memiliki struktur pemerintahan yang dipimpin oleh seorang
susuhunan/sultan
. Dalam konsep kenegaraan Jawa raja-raja Mataram disebutkan dengan konsep Keagungbinatharaan atau diungkapkan sebagai
"gung binathara, bahu dhendha nyakrawati"
(kekuasaan yang agung, memelihara hukum di muka bumi). Raja dikatakan
"wenang wisesa ing sanagari"
(memegang kuasa di negara). Dia harus
"wicaksana"
(bijaksana), bersifat
"budi bawa leksana, ambeg adil para marta"
(meluap budi luhur-mulia dan bersifat adil terhadap sesama), tugasnya
"anjaga tata titi tentreming praja"
(menjaga keteratutan dan ketenteraman negeri), agar tercipta suasana
"karta tuwin raharja"
(aman dan sejahtera).
[18]
Amiril muminina sayyidina panatagami kyatira ning rat wus sineksen saking Ngarab, winenang among dirja ning rat
Pemimpin para mukmin tuan penata agama kemasyhurannya di jagad sudah disaksikan dari negeri Arab, diberi wewenang memomong keselamatan dunia
Serat Sastra Gending
karya Sultan Agung
Kemasyhuran sultan Mataram telah dikenal sampai tanah
Arab
sebagai seorang pemimpin para mukmin di tanah
Jawa
. Sehingga penguasa
Mekah
waktu itu memberi gelar
Sultan
kepada raja Mataram. Inilah awal mula raja Mataram menggunakan gelar
Sultan
. Pemakaian gelar raja pada Mataram selain Sultan yaitu:
Panembahan
,
Susuhunan
atau
Sunan
.
Anyakrakusuma
mendapat gelar
Sultan
. Gelar tersebut dianugerahkan
Sultan
Murad IV
yang diwakilkan syarif
Mekah
, Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi.
Anyakrakusuma
ditahbiskan sebagai
Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami
, disertai kuluk untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi
air zamzam
. Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di makam Astana Kasultan Agungan di
Imogiri
dengan nama Enceh Kyai Mendung.
Struktur birokrasi kesultanan Mataram berdasarkan pada jabatan-jabatan yang disusun secara hierarki mengikuti sistem pembagian wilayah, meliputi:
Susuhunan atau Sultan, gelar yang digunakan untuk merujuk pada kepala negara yang sedang bertakhta (
jumeneng
). Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan membentuk dan menempatkan pejabat dari tingkat pusat sampai daerah berdasarkan wilayah yang sudah dibagi. Kebijakan tersebut dilakukan untuk menciptakan kegiatan pemerintahan yang terkendali.
Dalam mengurusi rumah tangga karaton tugas diserahkan kepada seorang
Wedana Lebet
yang terdiri dari Wedana Gedong Kiwa, Wedana Gedong Tengen, Wedana Keparak Kiwa, dan Wedana Keparak Tengen. Para wedana tersebut dikepalai oleh
Patih Lebet
, dan setiap
wedana
dibantu oleh
kliwon
(asisten di bawah wedana),
kabayan
(asisten di bawah kliwon), dan 40
mantri jajar
(salah satu sebutan untuk priyai di lingkungan karaton).
[19]
Adapun untuk mengurusi pemerintahan di Nagaragung, sultan menyerahkannya kepada
Wedana Jawi
yang dikepalai oleh seorang
Patih Jawi
. Masing-masing
wedana
juga dibantu oleh
kliwon
,
kabayan
, dan 40
mantri jajar
. Semua
wedana
tersebut bertempat di Kutagara, sedangkan daerahnya di Nagaragung diserahkan kepada
demang
atau
kyai lurah
.
[20]
Untuk mengurusi wilayah di luar Kutagara dan Nagaragung (pusat pemerintahan), di
Mancagara Wetan
maupun
Mancagara Kilen
, sultan menempatkan para bupati yang dipimpin oleh
Wedana Bupati
baik di wilayah
Mancagara
maupun
Pasisiran
. Para bupati di wilayah
Mancagara
berpangkat Tumenggung atau Raden Arya, sedangkan di wilayah
Pasisiran
dikenal dengan Syahbandar yang memiliki pangkat Tumenggung, Kyai Demang, atau Raden Ngabehi. Para bupati
Mancagara
maupun
Pasisiran
berada dalam kordinasi dan bimbingan langsung dari
Wedana Bupati
.
[18]
Selain menempatkan bupati di wilayah
Mancagara
dan
Pasisiran
, sultan juga menempatkan bupati penting di wilayah pusat. Para bupati tersebut dijadikan staff ahli yang sewaktu-waktu diperlukan pertimbangannya.
Sebagai pengontrol gerak-gerik para lembaga negara maupun para bupati di daerah, maka sultan mengangkat dinas rahasia yang disebut telik sandi atau
Abdi Kajineman
.
[21]
Selain para pejabat tinggi pusat tersebut, di bawahnya masih terdapat sekitar 150 macam jabatan dibawahnya. Mereka dikhususkan ke dalam berbagai macam jabatan, mulai dari prajurit, panglima, pengadilan, keuangan, perlengkapan, kesenian, keagamaan, dan lainnya. Semua jabatan tersebut merupakan bentuk birokrasi sebagai pelaksana roda pemerintahan.
[18]
Struktur administratif Mataram menganut pola konsentris. Berdasarkan sudut pandang konsentris yang diterapkan dalam sistem ketatanegaraan di Mataram, wilayah dibedakan dalam beberapa pembagian sebagai berikut:
[20]
[22]
[23]
- Kutagara
(Kuta Nagara) meliputi:
- Siti Narawita (ibu kota), sebagai pusat pemerintahan.
- Karaton (istana), sebagai pusat kegiatan pemerintahan.
- Nagaragung
(Nagara Agung) adalah wilayah yang mengitari Kutagara, wilayah ini dibagi menjadi empat bagian, meliputi:
- Daerah Siti Ageng atau Bumi Gede, suatu wilayah di antara
Pajang
dengan
Demak
, kemudian dibagi menjadi daerah
Siti Ageng Kiwa
dan
Siti Ageng Tengen
. Terletak di sebelah barat daya Semarang (antara daerah
Ungaran
dan
Kedungjati
)
- Daerah Siti Bumi atau Bumija yang terletak di sekitar daerah
Kedu
- Daerah Siti Numbak Anyar yang terletak di sekitar daerah
Bagelen
- Daerah Pajang, dibagi menjadi
Panumping
yang meliputi daerah
Sukowati
dan daerah
Panekar
yaitu daerah Pajang bagian timur.
- Mancagara
(Manca Nagara) adalah wilayah di luar Nagaragung yang meliputi:
- Mancagara Wetan (Mancanegara Timur), dimulai dari Panaraga ke timur, yang meliputi Magetan, Madiun, Grobogan, Kaduwung,
Jagaraga
, Panaraga, Pacitan, Kediri,
Jipang
,
Wirasaba
,
Blitar
,
Srengat
,
Lodaya
,
Pace
, Nganjuk,
Berbek
, Cakuwu,
Wirasari
- Mancagara Kilen (Mancanegara Barat), dimulai dari Banyumas ke barat, yang meliputi
Banyumas
,
Cilacap
,
Sumedang
,
Galuh
,
Priangan
.
- Pasisiran
(Pesisir) adalah wilayah yang sebagian besar berada di pantai utara Jawa dan sebagian diantaranya diberikan otonomi tersendiri. Wilayah ini dibagi menjadi dua:
- Pasisiran Wetan (Pesisir Timur), dimulai dari Demak ke timur, yang meliputi
Jepara
,
Kudus
,
Pati
,
Rembang
,
Lasem
,
Tuban
,
Sedayu
,
Lamongan
,
Gresik
, Surabaya, Pasuruan,
Blambangan
- Pasisiran Kilen (Pesisir Barat), dimulai dari Demak ke barat, yang meliputi Semarang, Kendal, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes,
Cirebon
,
Indramayu
,
Karawang
Kedua wilayah,
Mancagara Wetan
dan
Pasisiran Wetan
, biasanya disebut sebagai
Brang Wetan
. Demikian pula untuk
Mancagara Kilen
dan
Pasisiran Kilen
disebut sebagai
Brang Kilen
atau
Brang Kulon
. Struktur wilayah Mataram memiliki susunan yang teratur dengan wilayah kabupaten dan jumlah cacahnya disebutkan di dalam Pustaka Rajapuwara. Di samping beberapa wilayah di atas, terdapat tanah seberang (tanah sabrang: tanah yang berada di seberang laut), seperti
Jambi
,
Palembang
,
Banjar
,
Kotawaringin
dan
Sukadana
.
Struktur pemerintahan Mataram dari puncak hingga ke bawah pada dasarnya merupakan kelanjutan dari masa Majapahit. Pada puncak kekuasaan terdapat raja yang dibantu oleh birokrat istana. Di bawah raja terdapat penguasa-penguasa daerah yang disebut bupati. Cara-cara pengerahan tenaga birokrasi ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
[24]
- Pengangkatan dilakukan berdasarkan keturunan dan kesetiaan terhadap raja.
- Jabatan birokrasi di pusat kerajaan ditiru oleh penguasa daerah.
- Jabatan birokrasi tergantung pada wewenang atau sifat pribadi raja.
- Pengelolaan politik dan pemerintahan merupakan urusan pribadi raja.
- Tradisi menjadi aturan.
- Tidak ada spesialisasi wewenang dan tugas para pejabat.
Dalam administrasi pemerintahan masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang pejabat tinggi. Para bupati
mancanegara
dan
pasisiran
di bawah pengawasan seorang wedana bupati. Wedana bupati
pesisiran wetan
berkedudukan di
Jepara
. Wedana bupati
mancanegara wetan
berkedudukan di
Ponorogo
. Wedana bupati, baik
mancanegara
maupun
pasisiran
, bertugas mengawasi dan mengkoordinasi bupati-bupati yang berada di bawah yurisdiksinya. Secara hierarkis, wedana bupati berhubungan langsung dengan patih kerajaan yang mengurusi bidang pemerintahan.
[24]
Kabupaten yang berada di
mancanegara
dan
pasisiran
diperintah oleh bangsawan setempat. Kabupaten merupakan daerah otonom dan dapat mencukupi kebutuhannya sendiri. Otonomi yang dimiliki seorang bupati disertai dengan hak untuk memiliki angkatan senjata sendiri. Tugas pokok seorang bupati, yaitu:
[24]
- Memungut pajak yang dibayarkan setiap tahun
- Mengerahkan tenaga kerja untuk perang
- Mengerjakan proyek pekerjaan umum
- Menyelenggarakan peradilan di tingkat bawah
Meskipun kerajaan Islam, Mataram tidak pernah mengadopsi budaya, sistem, dan institusi Islam secara menyeluruh. Sistem politiknya berakar dari peradaban Jawa asli yang digabungkan dengan unsur-unsur Islam. Kesultanan Mataram merupakan simbol berdirinya kekuatan sosial-politik Islam di Jawa yang menjadi titik peralihan sekaligus masa transisi dari masa Hindu-Buddha ke masa Kajawen (
Ka-jawi-an
). Mataram diakui mampu menyiarkan Islam secara kultural yang ditandai dengan perubahan besar pada masa Sultan Agung dalam mengadaptasikan agama dengan budaya lokal.
Islam
dihadirkan di Jawa secara adaptif dengan budaya asli Jawa. Adaptasi kultural tersebut dapat diterima masyarakat Jawa, maka pribumisasi Islam dianggap berhasil karena Islam berkembang pesat di Jawa secara alamiah dan melalui proses kultural dari masyarakat Jawa itu sendiri.
Sejak saat itulah budaya Islam di Jawa lebih dikenal dengan istilah Kajawen (Ka-jawi-an) yang sarat dengan muatan sufistik dan mulai berkembang pesat. Kitab-kitab tasawuf dalam
bahasa Arab-Nya
dari timur tengah mulai digubah dalam
bahasa Jawa
dengan diadakan adaptasi seperlunya terhadap alam pikiran Jawa tanpa kehilangan substansinya. Perpaduan dari berbagai sentral budaya ini telah menimbulkan karya-karya kreatif baru yang memperkaya khazanah sekaligus pengembang budaya Kajawen.
Para penguasa Mataram adalah keturunan dari
Ki Ageng Sela
,
Ki Ageng Enis
dan
Ki Ageng Pamanahan
, perintis dan pendiri
wangsa Mataram
bersama tokoh dari Sela lainnya yaitu
Ki Juru Martani
dan
Ki Panjawi
. Pada dasarnya penguasa Mataram mulanya bergelar
panembahan
kemudian
susuhunan
, gelar
sultan
baru resmi digunakan pada tahun 1641 pada masa kekuasaan
Anyakrakusuma
. Berikut adalah daftar penguasa Mataram:
Mataram adalah kerajaan Islam terbesar terakhir di Jawa sebelum terbagi menjadi
Surakarta
,
Yogyakarta
,
Mangkunagaran
dan
Pakualaman
. Setelah keruntuhan Mataram pada abad berikutnya pulau Jawa dalam kolonialisme Belanda. Bagi sebagian orang Jawa, Kesultanan Mataram, khususnya era
Sultan Agung
, dikenang sebagai kebanggaan masa lalu yang gemilang, karena Mataram menjadi kerajaan terakhir Islam terbesar di Jawa.
[25]
Dalam seni dan budaya, Kesultanan Mataram telah meninggalkan jejak yang kekal dalam
budaya Jawa
, karena banyak unsur budaya Jawa, seperti
gamelan
,
batik
,
keris
,
wayang kulit
dan tari tradisional Jawa diciptakan, dikembangkan dalam bentuknya yang sekarang, dan diwariskan oleh karaton penerusnya. Pada masa puncak Kesultanan Mataram pada paruh pertama abad ke-17, kebudayaan Jawa berkembang, sebagian besar di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. Mataram banyak mempengaruhi kebudayaan di Jawa termasuk di bagian barat. Pada periode ini masyarakat Sunda berasimilasi lebih jauh dengan budaya Kajawen (
Jawa
). Seperti
wayang golek
yang diadopsi dari Jawa, kemudian budaya serupa seperti gamelan dan batik juga di kenalkan di sana dan berkembang. Pada masa itu pula
bahasa Sunda
mulai menggunakan tingkatan bahasa yang didasarkan kepada aturan serta nilai-nilai sosial kemasyarakatan, untuk saling menghargai dan menghormati orang lain, sebagaimana tercermin dalam bahasa Jawa. Selain itu
aksara Jawa
juga digunakan untuk menulis bahasa Sunda sebagai
cacarakan
Kini, warisan budaya Kesultanan Mataram dilestarikan oleh keempat pecahan Mataram (
catur sagotra
). Beberapa dari warisan budaya tersebut adalah karya asli sejak masa kejayaan Mataram, yang dibagi dalam
Perjanjian Jatisari
.
Catur Sagotra merupakan penyatuan empat entitas yang masih memiliki akar tunggal tali kekerabatan. Hal ini merujuk pada keluarga kerajaan-kerajaan penerus dinasti Mataram Islam. Kerajaan-kerajaan tersebut ialah
Kesunanan Surakarta
,
Kesultanan Yogyakarta
,
Kadipaten Mangkunagaran
, dan
Kadipaten Pakualaman
.
Terbentuknya Catur Sagotra berawal pada tahun 2004 oleh
Sri Susuhunan Pakubuwana XII
, sebelum wafat pernah memberi amanah kepada
Nani Soedarsono
untuk melanjutkan cita-cita luhur Catur Sagotra. Catur Sagotra merupakan sebuah gagasan bersama dari empat raja Jawa pada waktu itu yaitu
Sri Susuhunan Pakubuwana XII
,
Sri Sultan Hamengkubuwana IX
,
KGPAA. Mangkunagara VIII
dan
KGPAA. Paku Alam VIII
. Tujuan Catur Sagotra adalah untuk mempersatukan keempat trah dalam ikatan kesamaan falsafah budaya dan keterkaitan sejarah leluhur Mataram.
[26]
- ^
"Koin Java Rupee Dengan Seijin Susuhunan Mataram"
.
kintamoney.com
. 2011
. Diakses tanggal
19 Agustus
2020
.
- ^
Graaf, Hermanus Johannes de (2001).
Awal kebangkitan Mataram : masa pemerintahan Senapati
(edisi ke-Cet. 3). Jakarta: Grafiti.
ISBN
9789794440117
.
OCLC
603911675
.
- ^
"The Mataram Kingdom & Royal Palaces"
. joglosemar.co.id. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 2021-03-03
. Diakses tanggal
20 Agustus
2020
.
- ^
a
b
"Mataram, Historical kingdom, Indonesia"
. Encyclopædia Britannica
. Diakses tanggal
20 Agustus
2020
.
- ^
M.C. Ricklest. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 1200-2004.
- ^
Brown 2003
, p. 63: "On February 13, 1755, the Treaty of Giyanti was signed, dividing what was left of the kingdom of Mataram into two parts. One part, with its capital in the city of Solo, was headed by Pakubuwana II's son, Pakubuwana III. The other part, with its capital 60 kilometres to the west of Yogyakarta, was ruled by Pakubuwana II's half-brother Mangkubumi, who took the title Sultan Hamengkubuwono I. The treaty was not immediately accepted by all parties to the dispute: fighting went on for another two years. In 1757, though, an uneasy peace settled on Java when Pakubuwana III's territory was divided, with a portion going to his cousin Mas Said, who took the title Mangkunegara I."
- ^
"Gianti Agreement | Indonesia [1755]"
.
Encyclopedia Britannica
(dalam bahasa Inggris)
. Diakses tanggal
2020-01-08
.
- ^
Adji, Krisna Bayu; Achmad, Sri Wintala (2014).
Sejarah raja-raja Jawa : dari Mataram Kuno hingga Mataram Islam
. Yogyakarta: Araska Publisher.
- ^
Munawar, Zaid (2020).
"Pengelolaan Pajak di Kerajaan Mataram Islam Masa Sultan Agung, 1613-1645 M"
.
Jurnal Sejarah Peradaban Islam
.
4
(1): 10.
- ^
a
b
c
Soekmono.
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3
. Kanisius. hlm. 55.
- ^
a
b
c
d
e
Soekmono.
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3
. Kanisius. hlm. 56.
- ^
Notosusanto, Marwati Djoened, Poesponegoro, Nugroho (2008).
Sejarah Nasional Indonesia Jilid 3: Zaman Pertumbuhan & Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia
. Balai Pustaka (Persero), PT.
ISBN
978-979-407-409-1
.
- ^
Soekmono.
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3
. Kanisius. hlm. 63.
- ^
a
b
c
Mengenal Sejarah Runtuhnya Kesultanan Mataram dan Daftar Raja-raja
- ^
a
b
Solo, Kota yang Terbentuk Dari Geger Pecinan
- ^
Tim Okezone (2022).
"Duet Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa Sikat VOC di Kerajaan Mataram"
.
okezone.com
. Diakses tanggal
22 Februari
2022
.
- ^
Aswab Nanda Pratama (2019).
"Hari Ini dalam Sejarah, Perjanjian Giyanti Memecah Wilayah Mataram Islam"
.
Kompas.com
. Diakses tanggal
20 Januari
2021
.
- ^
a
b
c
Moedjanto, G (1987).
Konsep Kekuasaan Jawa; Penerapannya Oleh Raja-raja Mataram
. Yogyakarta: Kanisius.
- ^
Widada, dkk. (2001). Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius. Wurianto, Arif Budi. (2001). Gung Binatara: Kekuasaan dan Moralitas Jawa. Jurnal Ilmiah Bestari
- ^
a
b
Suwarno, P. J. (1989).
Sejarah Birokrasi Pemerintahan Indonesia Dahulu dan Sekarang
. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
- ^
Kartodirdjo, A. Sartono, dkk. (1995).
Negara dan Nasionalisme Indonesia; Integrasi, Disintegrasi, dan Suksesi
. Jakarta: Grasindo.
- ^
Serat Pustaka Rajapuwara, Koleksi Reksapustaka Mangkunegaran, Surakarta, No. MS 113.
- ^
Moertono, S. (1985).
Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX
. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- ^
a
b
c
Sapto, Ari (2015-12-30).
"Pelestarian Kekuasaan Pada Masa Mataram Islam: Sebha Jaminan Loyalitas Daerah Terhadap Pusat"
.
Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya
.
9
(2): 156?157.
doi
:
10.17977/um020v9i22015p153-161
.
ISSN
2503-1147
.
- ^
Ricklefs, M. C. (2008).
A History of Modern Indonesia Since C. 1200
.
- ^
Yudono, Jodhi (ed.).
"Catur Sagotra Nusantara, untuk Melestarikan Empat Keraton"
.
Kompas.com
. Diakses tanggal
2021-02-01
.
- Soekmono, Drs. R.
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3
. 2nd edition. Penerbit Kanisius 1973. 5th reprint edition in 2003. Yogyakarta.
ISBN
979-413-291-8
. (in Indonesian)
- Anderson, BRO’G. The Idea of Power in Javanese Culture dalam Anderson, BRO’G. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Cornell University Press. 1990.
- Carey, Peter. 1997. Civilization on loan: the making of an upstart polity: Mataram and its successors, 1600?1830.
Modern Asian Studies
31(3):711?734.
- de Graaf, H.J. dan T.H. Pigeaud. 2003. Kerajaan Islam Pertama Di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Pustaka Utama Graffiti.
- De Graaf, H.J. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Pustaka Utama Graffiti 2002.
- Mangunwijaya Y.B. 1983. Rara Mendut. Jakarta : Gramedia.
- Miksic, John (general ed.), et al. (2006)
Karaton Surakarta. A look into the court of Surakarta Hadiningrat, central Java
(First published: 'By the will of His Serene Highness Paku Buwono XII'. Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta, 2004) Marshall Cavendish Editions Singapore
ISBN
981-261-226-2
- Ricklefs, M.C. 2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749?1792: Sejarah Pembagian Jawa. Yogyakarta: Penerbit Matabangsa.
- Ricklefs, M.C. 2001.
A history of modern Indonesia since c.1200
. Stanford: Stanford University Press.
ISBN
0-8047-4480-7
.
- Reid, Anthony
(2014).
Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin
. Jakarta: Obor.
- Reid, Anthony
(2015).
Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II: Jaringan Perdagangan Global
. Jakarta: Obor.
|
---|
Sebelum 600 M
(Hindu-Buddha pra-Mataram)
| |
---|
600-1500 (Hindu-Buddha)
| |
---|
1500-sekarang (Islam)
| |
---|