Masjid Raya Ganting
(atau ditulis dan dilafalkan
Gantiang
dalam
bahasa Minang
) adalah masjid peninggalan abad ke-19 yang terletak di
Kampung Ganting
,
Kecamatan Padang Timur
,
Kota Padang
,
Sumatera Barat
,
Indonesia
. Tercatat sebagai masjid tertua di Padang, cikal bakal masjid ini berawal dari sebuah
surau
di
Seberang Padang
, daerah permukiman awal dalam
sejarah Padang
.
Arsitekturnya merepresentasikan akulturasi etnis-etnis yang ada di Padang dengan pengaruh
Neoklasik
dari Eropa yang dominan pada bagian fasad.
Berada di kawasan yang dulunya merupakan pusat kota, Masjid Raya Ganting sempat menjadi masjid terbesar di Minangkabau pada awal abad ke-20.
Masjid ini telah berkontribusi dalam pengembangan
dakwah Islam
, menjadi tempat perdebatan wacana
keislaman di Minangkabau
, hingga berperan pada masa genting ketika
Sumatera Barat diduduki oleh tentara Jepang
.
Pamornya meredup pasca-pergolakan
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) disusul kehadiran masjid besar baru seperti
Masjid Nurul Iman
dan
Masjid Taqwa Muhammadiyah
.
Bangunan Masjid Raya Ganting terpelihara dengan baik walaupun sempat mengalami kerusakan akibat
gempa bumi tahun 2005
dan
2009
. Masjid ini telah ditetapkan sebagai
cagar budaya oleh pemerintah daerah
dan menjadi daya tarik wisata di Kota Padang.
Pembangunan
Cikal bakal
Masjid Raya Ganting sebelum memiliki
fasad
(atas) dan setelah memiliki fasad (bawah).
Cikal bakal Masjid Raya Ganting berawal dari sebuah
surau
. Dalam
sejarah Padang
, surau paling awal terletak di Kapalo Koto (kini masuk wilayah
Seberang Padang
) dan dibangun pada abad ke-18. Pada tahun yang tidak diketahui, surau dipindahkan ke
Kampung Ganting
di tepi
Batang Arau
dan dinamakan sebagai Surau Kampung Ganting. Surau didirikan di atas tanah Haji Umar, kepala kampung setempat dari
Suku Caniago
.
Lokasinya berada di dekat jembatan Seberang Padang, sekitar 300 meter dari lokasi masjid sekarang.
Semula, bangunan surau terbuat dari kayu dengan atap berbahan
rumbia
. Konstruksi surau kemungkinan ditingkatkan seiring waktu.
Meskipun tahun pendirian surau tidak diketahui, keberadaan rumah ibadah di tepi Batang Arau sudah diidentifikasi pada 1781 dalam laporan yang dibuat oleh Jacob van Heemskerk, residen
VOC
di Padang, ketika menyerahkan kota kepada Inggris akibat
Perang Inggris-Belanda Keempat
.
[a]
Masjid Raya Ganting yang berdiri di lokasi sekarang didirikan sebagai pengganti Surau Kampung Ganting dan surau terdahulu di Kapalo Koto. Pendirian masjid sejalan dengan pembentukan
nagari
oleh delapan
suku
di Padang yang bernama Nagari Nan Salapan Suku.
Menurut
adat Minangkabau
, sebuah nagari dapat berdiri apabila salah satunya memiliki masjid. Namun, kapan persisnya masjid dibangun tidak diketahui pasti. Meski demikian, Masjid Raya Ganting jamak disebut sebagai masjid tertua di Padang.
Pembangunan masjid
Wartawan Fachrul Rasyid dari majalah
Gatra
menulis Masjid Raya Ganting didirikan pada 1805 dan rampung pada 1810.
Salah seorang pemrakarsa pembangunan adalah Haji Umar. Tanah untuk lokasi masjid diperoleh dari hasil wakaf masyarakat Kampung Ganting. Dana pembangunan dihimpun dari penduduk Muslim setempat, terutama dari kalangan saudara.
Masjid awal memiiki bentuk sederhana. Menurut versi ini, Masjid Raya Ganting termasuk bangunan yang tetap utuh saat terjadi
gempa bumi disertai tsunami
yang melanda pantai barat Sumatra pada 1833. Meski demikian, lantai batunya rusak sehingga diganti dengan lantai coran kapur dari kulit kerang dan batu kapur.
Sementara itu, sejarawan
Rusli Amran
dalam
Padang Riwayatmu Dulu
menyebut pendirian Masjid Raya Ganting dimulai pada 1866. Namun, pembangunannya berjalan lamban sehingga, sesudah 20 tahun dibangun, masjid "belum selesai betul" karena dana yang "selalu saja kurang".
Surat kabar
Sumatra Courant
pada 1868 melaporkan beberapa imam pribumi di Padang melakukan penggalangan dana dari masyarakat Muslim untuk pembangunan masjid.
Tokoh dalam penggalangan dana yang teridentifikasi yakni Syekh Kapalo Koto, seorang imam di Seberang Padang dan Syekh Gapuak (bernama asli Abdul Halim), seorang saudagar sarung bugis di
Pasar Gadang
.
Dua tokoh ini, bersama Haji Umar selaku kepala kampung Ganting, disebut oleh banyak sumber sebagai tiga tokoh pemrakarsa Masjid Raya Ganting.
Pengembangan
Bangunan awal Masjid Raya Ganting memiliki ruang utama berukuran 30 × 30 m, ditambah serambi selebar 4 m mengelilingi bangunan utama. Pada awal abad ke-20, lantai bangunan mulai dicor dengan semen buatan Jerman
dan dipasang tegel dari Belanda yang dipesan melalui
NV
Jacobson van den Berg. Pemasangan tegel ditangani oleh tukang yang ditunjuk langsung oleh pabrik dan selesai pada 1910.
Selama tahun-tahun berikutnya, dilakukan sejumlah pekerjaan pembangunan yang mengubah tampilan bangunan, terutama pada bentuk atap, cungkup, tiang, dan fasad yang ada sekarang.
Biaya pembangunan diperoleh dari sumbangan wakaf beberapa jemaah yang namanya dipampang pada prasasti di dinding serambi bagian dalam.
Menurut sementara sumber, seorang perwira dari
Korps Tentara Zeni
Hindia Belanda wilayah
Pesisir Barat Sumatra
(yang meliputi Sumatera Barat dan
Tapanuli
sekarang) turut serta dalam pengembangan Masjid Raya Ganting.
Bantuan diberikan sebagai bentuk kompensasi pemerintah kolonial atas tanah wakaf masjid yang terpakai saat membuka jalan batu.
[b]
Namun, tidak ada penjelasan mengenai kapan dan bentuk bantuan yang diberikan.
Pada
mihrab
tempat imam memimpin salat dan menyampaikan khotbah, dibuat ukiran kayu mirip ukiran Tiongkok. Di bagian tengah ruangan salat, dibangun sebuah muzawir berukuran 4 × 4 m berbentuk panggung dari kayu dan diberi ukiran Tiongkok. Muzawir berfungsi sebagai tempat penyambung suara
imam
sehingga
makmum
dapat mendengar aba-aba imam. Saat salat Jumat, suara imam nyaris tak terdengar jamaah paling belakang. Setelah ada
pengeras suara
, muzawir tidak digunakan lagi sehingga pengurus masjid membongkar bangunan tersebut pada 1978.
Pada 1960, dilakukan pemasangan keramik pada 25 tiang ruang utama yang aslinya terbuat dari batu bata.
Pada 1967, dibangun menara pada bagian kiri dan kanan fasad masjid serta sebuah tempat wudu permanen dan tertutup. Pada 1995, dilakukan pemasangan keramik pada dinding ruang utama.
Kronik
Hindia Belanda
Sebagai masjid terbesar di Minangkabau pada awal abad ke-20, Masjid Raya Ganting pernah menjadi arena perdebatan dan perebutan pengaruh antara
ulama Minangkabau
yang terbagi menjadi Kaum Tua dan Kaum Muda. Perbedaan pandangan dalam masalah
ikhtilaf
hingga metode menentukan awal bulan Ramadhan membelah umat Muslim di Padang dalam dua kubu. Pada 1906,
Abdullah Ahmad
, seorang pendukung pembaruan dalam beragama, mulai mengajar di masjid. Ia menggantikan kedudukan pamannya yang meninggal, yakni Syekh Gapuak, yang merupakan salah seorang pendiri masjid.
Pengajaran Abdullah Ahmad mendapat banyak pengikut, tetapi pada saat yang sama ditolak oleh kelompok pendukung tradisi.
Pada 1909, Abdullah Ahmad berhenti mengajar di masjid dan mendirikan
Adabiyah School
. Meski demikian, pengaruhnya tetap menonjol di kalangan jemaah. Imam Masjid Raya Ganting bernama Haji Talib menjadi pengikutnya. Pada 1919, Kaum Tua yang dipimpin oleh
Syekh Khatib Ali
berusaha mengganti kedudukan Haji Talib sebagai imam, tetapi gagal. Kaum Tua menolak Haji Talib lantaran tidak mengeraskan membaca
niat
salat dan mengikuti perhitungan awal bulan Ramadhan dengan metode hisab.
Oetoesan Melajoe
melaporkan bahwa terdapat ratusan orang yang salat di
Surau Syekh Khatib Ali
karena tidak mau mengikuti salat Jumat yang dipimpin oleh Haji Talib?padahal surau bukan tempat salat Jumat. Pejabat pemerintah kolonial Belanda di Padang berusaha mendamaikan kedua ubu yang bertikai dan mengatakan bahwa masjid adalah kepunyaan nagari, boleh dipakai Kaum Muda dan Kaum Tua.
BJO Schrieke
memberikan solusi agar Masjid Raya Ganting memiliki dua imam, masing-masing merepresentasikan Kaum Tua dan Kaum Muda.
Namun, perseteruan antara dua kelompok tetap berlangsung hingga beberapa tahun berikutnya.
[32]
Dalam suatu rentang waktu, Masjid Raya Ganting pernah dimanfaatkan sebagai tempat bimbingan
manasik haji
sekaligus tempat embarkasi bagi jemaah calon haji sebelum berlayar dari
Pelabuhan Teluk Bayur
ke Jeddah.
Materi bimbingan diberikan oleh seorang guru yang berasal dari Timur Tengah bernama Syekh Abdul Hadi atau dijuluki Tuanku Syekh Arab.
Ia merupakan menantu Syekh Khatib Ali. Saat propoganda
komunisme di Sumatra
kian kuat, Syekh Abdul Hadi memberikan khotbah Jumat dalam bahasa Melayu di masjid, disaksikan polisi Hindia-Belanda, yang berisi ajakan untuk tidak ikut dalam gerakan komunis.
Belakangan, ia terlibat perdebatan masalah ikhtilaf dengan
Syekh Adam Balai-Balai
di Padang Panjang. Pada suatu waktu, Syekh Abdul Hadi berkhotbah di mimbar Masjid Raya Ganting sambil membawa kapak dan berseru mengancam Syekh Adam. Peristiwa ini membuatnya diamankan oleh polisi dan dikirim ke rumah sakit jiwa di
Sabang
.
Sekolah agama Diniyah School pernah berdiri di dalam pekarangan masjid pada 1924,
tetapi dilaporkan tutup pada 1929 karena kekurangan siswa.
Gerakan kepanduan Muhammadiyah
Hizbul Wathan
pernah bermarkas di Masjid Raya Ganting. Hizbul Wathan menjadikan masjid ini sebagai lokasi jambore nasional pertama pada 1932.
Perjuangan kemerdekaan
Ketika Jepang mulai menduduki Indonesia pada 1942,
Soekarno
yang ditahan Belanda di Bengkulu diungsikan oleh Belanda ke Kutacane. Namun, sesampai di
Painan
, tentara Jepang sudah lebih dahulu menduduki Bukittinggi sehingga Belanda mengubah rencana semula dengan mengungsi ke
Barus
dan meninggalkan Soekarno di Painan. Selanjutnya,
Hizbul Wathan
, yang saat itu bermarkas di Masjid Raya Ganting, menjemput Soekarno untuk dibawa ke Padang dengan menggunakan
pedati
. Beberapa hari kemudian, Soekarno yang telah tiba di Padang menginap sementara waktu di salah satu rumah pengurus Masjid Raya Ganting dan sempat memberikan pidato di masjid.
Selama
pendudukan tentara Jepang di Indonesia
, masjid ini dijadikan sebagai markas sekaligus tempat pembinaan prajurit
Giyugun
dan
Heiho
, yang merupakan kesatuan tentara pribumi yang dibentuk oleh Jepang. Anggota perwira militer Gyugun terdiri atas para ulama, sedangkan prajurit Heiho diambil dari para santri.
Setelah tentara Sekutu mendarat di Sumatra, banyak tentara
Inggris
dari kesatuan tentara Muslim India membelot dan bergabung dengan tentara rakyat setempat. Mereka mengatur strategi penyerangan dari masjid ini, termasuk penyerangan ke salah satu tangsi militer Inggris dari kesatuan
Gurkha
.
Ketika seorang prajurit Muslim itu tewas dalam perkelahian di markas militer yang hanya berjarak 200 meter dari masjid, jenazahnya disemayamkan di sekitar masjid.
Pasca-kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, Masjid Raya Ganting banyak dikunjungi oleh pejabat negara baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejumlah pejabat negara yang pernah berkunjung ke masjid ini, antara lain, adalah
Wakil Presiden
Mohammad Hatta
,
Menteri Pertahanan
Sultan Hamengkubuwana IX
,
Wakil Ketua DPR-GR
Achmad Syaichu
, dan
Ketua MPRS
Abdul Haris Nasution
. Selain itu, pejabat luar negeri dari
Malaysia
,
Arab Saudi
, dan
Mesir
pernah mengunjungi masjid ini.
Pada 1958, menyusul pergolakan
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI), pengawasan Masjid Raya Ganting yang semula berada di bawah otoritas adat
diserahkan ke
Pemerintah Kota Padang
. Meskipun demikian, kepengurusan masjid tetap dipegang oleh masyarakat Ganting.
Pada 10 April 2005, terjadi gempa bumi di pantai barat Sumatra dengan kekuatan 6,7
SR
setelah terjadinya
gempa bumi lebih besar
di sekitar
Pulau Nias
dua minggu sebelumnya. Akibat bencana ini, sejumlah tiang penyangga kuda-kuda atap retak dan patah.
Selanjutnya, masjid ini menjadi salah satu dari 608 unit
tempat ibadah
di
Sumatera Barat
yang rusak akibat
gempa bumi
pada 30 September 2009.
Sebagian fasad hancur dan beberapa tiang ruang utama retak, membuat bangunan dikhawatirkan roboh.
Sebelum dilakukan renovasi pada 2010, kerusakan yang dialami masjid menyebabkan aktivitas ibadah terganggu sehingga, selama sementara waktu aktivitas ibadah harus dilakukan di halaman masjid.
Arsitektur
Arsitektur Masjid Raya Ganting kerap disebut sebagai hasil akulturasi etnis-etnis yang ada di Kota Padang. Pada abad ke-19 ketika masjid ini dibangun, Padang telah dihuni oleh berbagai bangsa dan kelompok etnis, termasuk
Tionghoa
, Eropa, dan India. Mereka membentuk perkampungan di sekitar masjid; kecuali bangsa Eropa, kampung-kampung mereka masih dapat dijumpai sampai sekarang.
Masjid ini memiliki bentuk atap berundak, ciri khas arsitektur
masjid di Nusantara
. Puncak atap diberi kubah nenas dengan hiasan mustaka. Undakan atap terdiri atas lima tingkat; tiga tingkat berdenah persegi dan dua tingkat berdenah segi delapan. Menurut Fachrul Rasyid, bagian atap berdenah segi delapan dulunya dikerjakan oleh tukang-tukang Tionghoa di bawah pimpinan Kapten Cina Lau Ch’uan Ko (atau Louw Tjoean Ko). Namun, kronologisnya tidak jelas.
Pengaruh Eropa dan India terdapat pada fasad Masjid Raya Ganting. Fasad menutup seluruh dinding di bagian depan serta sebagian dinding di bagian samping (kiri dan kanan). Elemen fasad meliputi
pelengkung
,
plisir
, dan
pembirih
yang terinspirasi oleh gaya
arsitektur Neoklasik
. Pelengkung terdapat pada pintu berbentuk busur bertipe tudor. Friz berupa bidang melintang yang tersusun atas panil-panil kosong. Adapun parapet berupa deretan
baluster
dengan hiasan kubah bawang, yang kemungkinan dipengaruhi
arsitektur Mughal
.
Terdapat tambahan elemen berupa pilaster, mimbar, dan sepasang menara di fasad bagian depan. Pilaster berjejer empat berbentuk pilar ganda bergalur. Mimbar terletak di tengah-tengah berukuran 220 × 120 × 275 cm. Adapun menara terdapat di ujung kiri dan kanan.
Tata ruang
Serambi depan (atas) dan ruang utama (bawah).
Masjid Raya Ganting memiliki denah bangunan persegi panjang berukuran 42 × 39 m. Ruang utamanya berdenah bujur sangkar berukuran 30 × 30 m. Serambi mengelilingi ruang utama pada sisi depan dan samping. Denah serambi muka berukuran 12 × 39 m. Adapun denah serambi samping, baik kiri dan kanan, berukuran 30 × 4,5 m. Bersebelahan dengan serambi samping, terdapat bangunan tempat wudu; sebelah kiri untuk perempuan dan sebelah kanan untuk laki-laki.
Ruangan serambi muka dapat diakses melalui pintu-pintu pada fasad; enam di bagian depan serta satu di kiri dan satu di kanan. Di dinding bagian dalam, terdapat
pilaster
di dinding yang menjadi pembatas antar-pintu. Ketebalan dindingnya 34 cm dan tingginya 320 cm.
Ruangan serambi muka ditopang oleh tujuh pilar ganda berbentuk silinder yang terbuat dari
beton
berdiameter 45 cm.
Pilar-pilar berdiri di atas umpak beton dengan lebar 113 cm, tinggi 70 cm, dan tebal 67 cm.
Ruang utama dapat diakses melalui empat pintu masuk. Dua pintu terdapat di bagian depan, sisanya terdapat bagian samping kiri dan samping kanan. Pintu memiliki ukuran 160 × 264 cm dengan dua daun pintu dari kayu. Pintu memiliki lubang angin dengan hiasan lengkung kipas. Terdapat pula dua jendela yang terbuat dari kayu di sisi timur mengapit pintu masuk, dan masing-masing tiga jendela di sisi utara dan selatan, serta enam jendela di sisi barat. Jendela-jendela berukuran 160 × 200 cm. Seperti pada pintu, jendela memiliki hiasan lengkung kipas pada lubang anginnya.
Dinding pada ruang utama terbuat dari
beton
berlapis
keramik
, sedangkan lantainya terbuat dari tegel putih berhiaskan bunga.
Di dalam ruang utama, terdapat 25 tiang yang berbentuk segi enam berdiameter 40?50 cm dan tinggi mencapai 420 cm.
Tiang-tiang yang terbuat dari bata merah dengan bahan perekat kapur dicampur putih telur ini sama sekali tidak menggunakan tulang besi.
Jumlah 25 tiang berjajar lima melambangkan
25 nabi
, dan masing-masing tiang dilapisi marmer putih berhiaskan
kaligrafi
yang memuat nama 25 nabi mulai dari Adam sampai Muhammad.
Tiang-tiang tersebut berfungsi sebagai penopang utama konstruksi atap masjid yang berbentuk segi delapan.
Pada sisi barat ruang utama terdapat mihrab yang diapit oleh dua kamar di sisi utara dan selatan. Denah ruangan mihrab berukuran 2 × 1,5 m dengan tinggi pada sisi timur 3,2 m dan sisi barat 2,1 m.
Halaman dan bangunan pendukung
Masjid Raya Ganting berdiri di lahan seluas 9.751 m² yang dikelilingi oleh permukiman penduduk. Denah halamannya berbentuk trapesium dengan sisi miring di sebelah timur, yang berbatasan dengan jalan raya dan diberi pagar setinggi 1 m. Di sebelah selatan, terdapat pemakaman masyarakat.
Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi
atau dikenal sebagai Syekh Bayang, seorang ulama Kaum Tua yang hidup sezaman dengan Khatib Muhammad Ali, dimakamkan di pemakaman tersebut.
Istri Syekh Bayang, Siti Raham, masih bertali tarah dengan Syekh Gapuak.
[59]
Di dalam kompleks Masjid Raya Ganting, terdapat bangunan pendukung berupa tempat wudu dan perpustakaan. Secara keseluruhan, luas area yang diperuntukan untuk bangunan sekitar seperlima dari luas lahan. Halaman yang tersisa digunakan untuk pelaksanaan
salat Ied
pada hari
Idul Fitri
dan
Idul Adha
.
Persis di belakang mihrab masjid, terdapat dua makam Regent Padang yang menjabat pada abad ke-19. Pada prasastinya, masing-masing tertulis Yml. Radja Bidoe Glr. Marah Indra Toeangkoe Panglima Radja di Padang dan Yml. Marah Soeib Glr. Marah Indra Toeangkoe Panglima Regent di Padang.
Lihat pula
Catatan kaki
Keterangan
- ^
Laporan ini kelak digunakan
E. Netscher
, Gubernur
Pantai Barat Sumatra
dari 1870?1878, ketika menyusun buku
Padang in het Laatst der XVIIIe Eeuw
pada 1880.
- ^
Jalan batu yang disebutkan yakni jalan menuju
Pelabuhan Teluk Bayur
. Jalan ini, berdasarkan dokumen pemerintah Hindia Belanda, mulai dibangun pada 1896 dan selesai pada 1900. Panjang jalan 6,5 km.
Rujukan
Daftar pustaka
- Masjid Kuno Indonesia
. Jakarta: Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999.
ISBN
979-8250-16-8
.
OCLC
47893710
. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 5 Agustus 2020
. Diakses tanggal
18 September
2019
.
- Zein, Abdul Baqir (1999).
Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia
. Jakarta: Gema Insani.
ISBN 979-561-567-X
.
- Colombijn, Freek
(1994).
Patches of Padang: The History of an Indonesian Town in the Twentieth Century and the Use of Urban Space
. Belanda: Research School CNWS
. Diakses tanggal
1 April
2020
.
- Safwan, Mardanas
(1987).
Sejarah Kota Padang
(PDF)
.
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
- Hamka
(1982).
Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra
. Jakarta: Ummind.
- Hamka (1974).
Muhammadiyah di Minangkabau
. Yayasan Nurul Islam.
OCLC
610593110
.
- Amran, Rusli
(1988).
Padang Riwayatmu Dulu
. Jakarta: Yasaguna.
- Abdullah, Taufik
(2009).
Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933)
(dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing.
- Seno
(2010).
Peran Kaum Mudo dalam Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau 1803?1942
(PDF)
. BPSNT Padang Press.
- Netscher, E.
(1880).
Padang in het Laatst der XVIIIe Eeuw
(dalam bahasa Belanda). W. Bruining.
- Koestoro, Lucas Partanda (2007).
Padang, Kota Andaleh di Pesisir Barat Sumatera Barat
. Balai Arkeologi Medan.
ISBN
978-979-987-723-9
.
- Soekarno
(1990).
Bung Karno dan Islam: Kumpulan Pidato Tentang Islam, 1953?1966
. Jakarta: Haji Masagung.
ISBN 979-412-167-3
.
- Rasyid, Fachrul (2008).
Dari Pagaruyung Sampai Semenanjung: refleksi sejarah Minangkabau
. Padang: UPTD Museum Aditiyawarman.
- Darwis, Yuliandre
(2013). "Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau". Gramedia Pustaka Utama.
- Abdul Cholik (2008).
Pandangan Kaum Kuno Terhadap Kaum Muda dalam Harian Oetoesan Melajoe
(Tesis). Universitas Indonesia.
- Nurmatias Zakaria (1995).
Masjid Raya Gantiang Padang (Sebuah Kajian Perbandingan dan Akulturasi)
(Tesis). Universitas Indonesia.
- Rizaldi Aulia Fernando (2017).
Peranan Ulama Dalam Pembentukan Budaya Minangkabau Modern (1885-1943)
(Tesis). UIN Sunan Ampel Surabaya.
- Surat kabar dan majalah
- Jurnal
- Evers, Hans-Dieter (1993), "Images of a Sumatran Town: Padang and the Rise of Urban Symbolism in Indonesia", dalam Nas, P.J.M.,
Urban Symbolism
, Studies in Human Society (dalam bahasa Inggris),
8
, Leiden: E.J. Brill
.
- Dokumen dan laporan
- Situs web