Liyan
atau "yang Lain" (
bahasa Inggris
:
the Other
) dalam fenomenologi digunakan dalam mengidentifikasi dan membedakan diri dengan yang lain dalam pengakuan mereka untuk menjadi
ada
. Oleh karena itu, liyan berbeda dan berlawanan dengan diri. Meskipun liyan terpisah dari diri, liyan merupakan realitas
ada
yang juga mengukuhkan keberadaan diri.
Pengalaman
ada
bersama yang lain ini membawa konsekuensi bahwa diri juga
ada
bagi yang lain.
Simone de Beauvoir
menegaskan bahwa menjadi manusia bebas adalah menjadi
subjek
. Dia menempatkan perempuan sebagai liyan, karena menurutnya perempuan dikonstruksi oleh
budaya
melalui penciptaan
mitos
tentang perempuan yang
irasional
,
kompleks
, dan sulit dimengerti, yang tercipta untuk menjadi pelengkap laki-laki.
Menurut
Beauvoir
perempuan menerima ke-liyan-an mereka sebagai misteri
feminin
, yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi perempuan. Perempuan didefinisikan dengan referensi kepada laki-laki dan bukan referensi kepada dirinya sendiri, dengan demikian perempuan adalah insidental semata, bukan esensial. Laki-laki adalah subjek, sedangkan perempuan adalah orang lain atau liyan.
Tetapi, menurut Dorothy Kauffman McCall, opresi perempuan oleh laki-laki terjadi, justru karena perempuan telah menginternalisasi cara pandang asing bahwa laki-laki adalah esensial, sedangkan perempuan tidak esensial.
Dalam pandangan
Sigmund Freud
, anak laki-laki ingin menyatu dengan ibunya, dan secara tidak sadar ingin mengganti ayahnya. Tetapi karena mengetahui ayahnya kuat, ia takut akan hukum
kastrasi
. Kecemasan akan kastrasi yang juga pengalaman akan
kompleks Oedipus
diselesaikan dengan cara menekan perasaan-perasaan seksual terhadap ibunya dengan berhenti bersaing dengan ayahnya. Kemudian mulai mengidentifikasi diri dengan ayahnya. Apabila penyelesaian konflik dalam tahap ini tidak sempurna, anak laki-laki akan semakin membenci ayahnya dan menggeneralisasi perasaan ini kepada semua figur otoritas.
Sebaliknya, dalam kasus anak perempuan, Freud berpendapat bahwa anak perempuan menginginkan ayahnya dan secara tidak sadar ingin mengganti ibunya. Akan tetapi, tidak seperti anak laki-laki yang mengalami kecemasan akan kastrasi; anak perempuan menemukan bahwa dirinya tidak memiliki penis, yang menyebabkan adanya perasaan iri terhadap kepemilikan penis ("
penis envy"
). Kompleks ini disebut kompleks
Elektra
, yang diambil dari watak
Agamemmon
yang membujuk saudara laki-laki-nya untuk membunuh ibu mereka, sehingga ia bisa mengawini ayahnya. Kompleks ini diselesaikan dengan menekan keinginan seksual terhadap ayahnya dan berhenti bersaing dengan ibunya, serta mulai mengidentifikasikan diri dengan ibunya. Freud berpendapat bahwa kebanyakan anak perempuan sesungguhnya tidak pernah bisa mengatasi perasaan iri terhadap kepemilikan penis atau benar-benar dapat mengidentifikasi diri dengan ibunya. Akibatnya, Freud menegaskan perempuan pada umumnya memiliki tingkat moralitas lebih rendah daripada laki-laki.
Beauvoir
menolak pendapat
Freud
yang menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua, berdasarkan
anatomi
tubuhnya ini. Menurutnya, perempuan iri terhadap mereka yang memiliki penis, bukan karena mereka ingin penis itu sebagai organ penis; tetapi karena mereka menginginkan keuntungan material dan psikologis yang diberikan kepada pemilik penis. Status sosial laki-laki tidak dapat ditelusuri dari karakteristik tertentu dari anatomi laki-laki; namun, karena adanya 'Nama-Ayah' yang digambarkan sebagai otoritas atau kekuasaan sang Ayah dalam mitos
Oedipus
. Perempuan adalah liyan bukan karena mereka tidak memiliki penis sebagai organ tubuh, melainkan karena mereka tidak memiliki kekuasaan.
Jacques Lacan
menjelaskan teorinya tentang
tatanan simbolik
sebagai fase
kompleks Oedipus
dalam tahap perkembangan psikoseksual Freud. Dia menafsirkan teori "
penis envy
" sebagai hasrat ingin mengetahui seperti apa rasanya berada dalam suatu kelompok yang lain;
selain itu, dalam
tatanan simbolik
perempuan disingkirkan dan dipaksa untuk tunduk dalam tatanan ini di luar keinginannya. Karena perempuan menolak menginternalisasi 'Nama-Ayah’, maka hukum ini harus ditekan dari luar. Perempuan diberikan bahasa yang sama seperti yang diberikan kepada laki-laki, yaitu bahasa
maskulin
. Meskipun demikian, bahasa ini tidak mengekspresikan apa yang dirasakan perempuan. Perempuan harus bergumam atau tetap bisu dalam
tatanan simbolik
.
Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, manusia dengan jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakun, dan memproduksi sperma, sedangkan manusia dengan jenis kelamin perempuan adalah manusia yang memiliki rahim, payudara, vagina, dan indung telur. Organ biologis tersebut terdapat pada manusia laki-laki dan perempuan secara permanen dan tidak dapat dipertukarkan karena merupakan ketentuan biologis atau kodrat.
Sedangkan
gender
adalah suatu bentuk kebudayaan dengan ciri-ciri kelompok yang dibentuk berdasarkan kebutuhan dan tingkah laku yang diberikan pada anak perempuan atau laki-laki.
Persoalan distingsi antara tubuh dan hubungannya dengan konstruksi masyarakat di kemukakan oleh
Gayle Rubin
, di mana gender adalah konstruksi masyarakat yang menempatkan, memosisikan
Subjek
pada tubuh perempuan dengan 'keharusan' untuk memiliki gender yang sama dengan tubuhnya. Gender bagi subjek perempuan adalah feminin, namun
femininitas
ini tidaklah kodrati dan karena itu dapat berbeda-beda dari satu budaya ke budaya lain.
Pendekatan penubuhan
Beauvoir
mempertanyakan kembali pembedaan jenis kelamin dan
gender
, serta pembedaan berdasarkan oposisi biner alami/budaya, tubuh/pikiran, aktif/pasif, dan sebagainya, di mana tubuh perempuan lebih dari sekadar
faktisitas
adalah bagian dari dirinya sebagai manusia. Di sini terjadi kontradiksi pada perempuan, di mana sebagai seorang manusia dia adalah Subjek, yaitu suatu kesadaran, tetapi sebagai seorang perempuan dia juga adalah 'Liyan yang Mutlak' atau objek. Kontradiksi antara menjadi subjek, yang pada saat yang sama dihadapkan pada objektifikasi. Pada situasi tertentu seorang perempuan mungkin mendapati dirinya menjadi kaki tangan kejahatan terhadap dirinya sendiri, dengan cara melarikan diri dari tanggung jawab menjadi manusia yang bebas atau Subjek. Tetapi karena Beauvoir tidak percaya pada keajegan suatu situasi, tidak ada subjek yang dalam pandangannya dapat menjadi subjek tanpa suatu objek, dan tidak ada subjektivitas yang cukup aman, karena selalu saja ada kemungkinan terjadi perubahan posisi.
- Beauvior, De Simone. (2004).
The Second sex dalam buku A Passion for wisdom
. New Jersey: Upper Saddle River.
- Hondreich, Ted. (1995).
The Oxford Companion to Philosophy
. United Kingdom: Oxford University Press.
- Humm, Maggie. (1955).
The Dictionary of Feminist Theory
. Ohio, Columbus: Ohio State University Press. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 2017-11-07
. Diakses tanggal
2017-10-30
.
- Kurniasih (2006), "Lacan dan Cermin Hasrat Cala Ibi", dalam Adlin, Alfathri,
Menggeledah Hasrat : Sebuah Pendekatan Multi Perspektif
, Yogyakarta: Jalasutra,
ISBN
979368450X
- Lukman, Lisa. (2011).
Proses Pembentukan Subjek: Antropologi Jacques Lacan
. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
- Priyatna, Aquarini. (2006), "Feminisme sebagai Tubuh, Pemikiran, dan Pengalaman", dalam Adlin, Alfathri,
Resistensi Gaya Hidup : Teori dan Realitas
, Yogyakarta: Jalasutra,
ISBN
979-3684-57-7
- Sartre, Jean-Paul. (1973).
Being and Nothingness (diterjemahkan dari karya Jean-Paul Sartre: L’etre et le neant oleh; Hezel E. Barnes)
. New York: Pocket Books.
- Sumiarni, Dr. Endang (2004).
Jender dan Feminisme
. Yogyakarta: Wonderful Publishing Company.
- Tong, Rosemarie Putnam. (2010).
Feminist Thought
. Yogyakarta: Jalasutra.
- Tri Marheni, Pudji Astuti. (2008).
Konstruksi Gender
. Semarang: UNNES Press.
- Yustinus, Semiun. (2006).
Teori Kepribadian Dan Terapi Psikoanalitik Freud
. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
|
---|
Tokoh Filsuf
| |
---|
Teori
| |
---|
Konsep
| |
---|
|