Mr
.
Lambertus Nicodemus Palar
(5 Juni 1900 – 13 Februari 1981) adalah seorang diplomat dan politisi Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai
duta besar
Indonesia untuk
Perserikatan Bangsa-Bangsa
,
India
,
Jerman Timur
,
Uni Soviet
,
Kanada
, dan
Amerika Serikat
. Pada bulan November 2013, ia dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional
oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono
.
Palar masuk sekolah
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO) di
Tondano
. Dia kemudian masuk
Algemeene Middelbare School
(AMS) B di
Yogyakarta
dan tinggal bersama
Sam Ratulangi
. Di
AMS B Yogyakarta
inilah ia pertama kali berkenalan dengan politik dan ide-ide nasionalis dan menjadi anggota organisasi pemuda nasionalis
Jong Minahasa
.
[1]
Setelah lulus
AMS
tahun 1922, Palar meneruskan ke jenjang pendidikan tingginya di
Technische Hoogeschool te Bandoeng
, yang sekarang dikenal sebagai
Institut Teknologi Bandung
(ITB) selama sekitar satu tahun. Di kampus ini, Palar bertemu dengan
Sukarno
dan mahasiswa nasionalis lainnya dan aktif dalam menyelenggarakan pertemuan dan pidato nasionalis. Karena dilanda sakit yang parah, Palar hampir satu tahun terbaring di tempat tidur dan terpaksa menghentikan kuliahnya dan kembali ke
Minahasa
. Setelah sembuh ia bekerja sebentar di
Koninklijke Paketvaart Maatschappij
(KPM).
[1]
Pada tahun 1924 Palar memulai kembali kuliahnya di
Rechtshoogeschool te Batavia
(Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, cikal-bakal
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
). Di sana ia bergabung dengan paham sosialis-demokrat melalui seorang anggota
Volksraad
yaitu J. E. Stokvis, Ketua
Indische Sociaal-Democratische Partij
(ISDP - Partai Sosialis-Demokrat Hindia). Setelah
pemberontakan komunis tahun 1926
gagal di Jawa dan Sumatra, pemerintah Hindia Belanda mengambil tindakan represif termasuk deportasi ke
Boven Digoel
. Melihat kondisi tersebut, keluarga Palar mencari perlindungan di tempat lain. Pada tahun 1928, Palar pindah ke Belanda.
[1]
Pada tanggal 4 Agustus 1928 Palar berangkat dari
Batavia
menuju
Rotterdam
,
Belanda
dengan kapal "
Tabanan
" yang tiba di tujuan pada bulan September 1928.
[2]
Pada tahun 1930, Palar menjadi anggota
Sociaal-Democratische Arbeiders Partij
(SDAP) setelah SDAP melaksanakan Kongres Kolonial dan mengadakan pengambilan suara yang menyatakan beberapa posisi partai termasuk hak kemerdekaan nasional untuk Hindia Belanda tanpa syarat. Palar menjabat sebagai sekretaris Komisi Kolonial SDAP dan Nederlands Verbond van Vakverenigingen (NVV) mulai Oktober 1933. Dia juga adalah direktur Persbureau Indonesia (Persindo) yang ditugaskan untuk mengirim artikel-artikel tentang sosial demokrasi dari Belanda ke pers di Hindia Belanda. Pada tahun 1938, Palar kembali ke tanah airnya bersama isterinya, Johanna Petronella Volmers, yang dinikahinya pada tanggal 26 Juni 1935.
[1]
Dia mengunjungi berbagai daerah di Indonesia untuk menghimpun informasi. Dia menemukan bahwa gerakan kemerdekaan Indonesia sedang giat dan dia menulis tentang pengalamannya pada saat dia kembali ke Belanda.
[3]
Selama
pendudukan Jerman di Belanda
ketika
Perang Dunia II
, Palar tidak bisa bekerja untuk SDAP sehingga dia bekerja di laboratorium Van der Waals. Dia juga bekerja sebagai guru bahasa Melayu dan sebagai gitaris orkestra keroncong. Sementara perang, Palar dan istrinya tergabung dalam gerakan bawah tanah anti-Nazi.
[4]
Setelah perang, Palar terpilih menjadi anggota
Tweede Kamer
dari partai
Partij van de Arbeid
(PvdA), sebuah partai baru yang bermula dari SDAP.
[3]
[5]
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
, Palar mendukung pernyataan ini dan mempromosikan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia. Hal ini tidak disambut baik oleh PvdA sehingga menyebabkan partai ini menjauhkan diri dari posisi yang sebelumnya mendukung hak kemerdekaan Indonesia.
[3]
Setelah ditugaskan untuk mengadakan misi ke Indonesia, Palar sempat bertemu kembali dengan para pemimpin kemerdekaan Indonesia. Di Belanda, Palar berusaha untuk mendesak penyelesaian konflik antara Belanda dan Indonesia tanpa kekerasan, tetapi pada tanggal
20 Juli
1947
parlemen Belanda menyetujui untuk melakukan
aksi polisionil di Indonesia
. Palar kemudian mengundurkan diri sebagai anggota parlemen dan anggota PvdA.
[5]
Palar bergabung dengan usaha pengakuan internasional kemerdekaan Indonesia dengan menjadi Wakil Indonesia di PBB pada tahun 1947. Posisi ini dijabatnya sampai tahun 1953. Pada masa jabatannya peristiwa-peristiwa penting terjadi seperti konflik antara Belanda dan Indonesia, pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda, dan masuknya Indonesia menjadi anggota PBB.
[3]
[4]
[5]
Pada saat konflik antara Belanda dan Indonesia, Palar memperdebatkan posisi kedaulatan Indonesia di PBB dan di
Dewan Keamanan
walaupun pada saat itu dia hanya mendapat gelar "peninjau" di PBB karena Indonesia belum menjadi anggota pada saat itu. Setelah
Agresi Militer II
yang dikecam oleh Dewan Keamanan PBB,
Perjanjian Roem Royen
disetujui yang kemudian diikuti dengan
Konferensi Meja Bundar
dan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada tanggal
27 Desember
1949
.
Indonesia menjadi anggota ke-60 di PBB pada tanggal
28 September
1950
.
[6]
Pada saat berpidato di muka Sidang Umum PBB sebagai Perwakilan Indonesia di PBB paling pertama, Palar berterima kasih kepada para pendukung Indonesia dan berjanji Indonesia akan melaksanakan kewajibannya sebagai anggota PBB. Palar tetap di PBB sampai saat dia ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia di India pada tahun 1953.
[5]
Pada tahun 1955, Palar diminta kembali ke Indonesia dan ikutserta dalam persiapan
Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika
, yang mengumpulkan negara-negara di Asia dan Afrika di mana kebanyakan dari negara tersebut baru merdeka.
[5]
Setelah pelaksanaan konferensi, Palar memulai kembali tugas diplomatisnya melalui jabatan Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet merangkap Jerman Timur.
[7]
:232
Dari tahun 1957 sampai 1962, dia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kanada dan setelah itu kembali menjadi Duta Besar di PBB sampai tahun 1965.
[5]
Karena konflik antara Indonesia dan Malaysia dan setelah Malaysia terpilih untuk masuk Dewan Keamanan PBB, Sukarno mencabut keanggotaan Indonesia di PBB. Palar kemudian menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat.
[5]
Pada saat kepemimpinan
Suharto
pada tahun 1966, Indonesia kembali meminta masuk keanggotaan PBB melalui pesan yang disampaikan kepada
Sekretaris Jendral PBB
oleh Palar.
[4]
Palar pensiun dari tugas diplomatisnya pada tahun 1968 setelah melayani bangsanya dalam permulaan usaha dan konflik Indonesia dan setelah dia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dalam arena diplomatis. Palar kembali ke Jakarta, tetapi tetap giat melalui tugas mengajar, pekerjaan sosial, dan tugasnya sebagai penasehat Perwakilan Indonesia di PBB.
[5]
Palar meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 13 Februari 1981. Dia meninggalkan isterinya, Johanna Petronella "Yoke" Volmers, dan anak-anaknya Mary Elizabeth Singh, Maesi Martowardojo, dan Bintoar Palar.
- Drooglever, P., Schouten, M., and Lohanda M. (1999)
Guide to the Archives on Relations between the Netherlands and Indonesia 1945-1963
. Institute of Netherlands History.
- Hansen, E. (1977)
The Dutch East Indies and the Reorientation of Dutch Social Democracy, 1929-40
. Indonesia, 23.
- Kahin, G. (1981)
In Memoriam: L. N. Palar
. Indonesia, 32.
- Saxon, W. (1981)
Lambertus N. Palar Dead at 80; Battled for Indonesia's Freedom
. New York Times, February 15, 1981.
- "Biografie van Palar, Lambertus Nicodemus"
. Accessed
20 September
2008
.
(Belanda)
- "Lambertus Nicodemus Palar"
. Accessed
20 September
2008
.
(Belanda)
- "History of the Indonesian Mission to the United Nations"
. Accessed
20 September
2008
.
|
---|
Politik
| |
---|
Militer
| |
---|
Kemerdekaan
| |
---|
Revolusi
| |
---|
Pergerakan
| |
---|
Sastra
| |
---|
Seni
| |
---|
Pendidikan
| |
---|
Integrasi
| |
---|
Pers
| |
---|
Pembangunan
| |
---|
Agama
| |
---|
Perjuangan
| |
---|
|