Habib Burquibah
(???? ???????) (3 Agustus 1903 – 6 April 2000) atau disebut dengan
Habib Bourguiba
dalam
bahasa Prancis
ialah
Presiden
Tunisia
dari
25 Juli
1957
hingga
7 November
1987
. Ia sering disamakan dengan pemimpin
Turki
Kemal Ataturk
sebab reformasi
sekuler
yang dilakukan selama pemerintahannya.
Latar belakang dan ‘pejuang kemerdekaan’
[
sunting
|
sunting sumber
]
Habib Burquibah terlahir di kota pesisir Monastir. Ia belajar hukum di Universitas Paris. Ia menjadi anggota Partai Destour (Konstitusi) yang netral pada
1921
. Ia menginginkan aksi politik yang lebih tegas, sehingga membentuk Partai Neo-Destour pada
1934
untuk 'kemerdekaan Tunisia.' Partai ini dilarang pemerintah kolonial
Prancis
karena memimpin perlawanan rakyat terutama buruh untuk mogok dan unjuk rasa. Karena kegiatan politiknya, Bourguiba dipenjara di Prancis (1934-1936 dan 1938-1943), namun melarikan diri ke
Timur Tengah
(1945-1949) dan berkeliling dunia (1951) untuk memperjuangkan 'kemerdekaan' Tunisia. Pada Februari
1952
ia dan pemimpin Neo-Destour lainnya ditangkap sehingga menimbulkan unjuk rasa dan kerusuhan di seluruh pelosok Tunisia. Pada
27 Februari
1956
, ia memimpin delegasi Tunisia untuk perundingan kemerdekaan di
Paris
, dan sebulan kemudian Prancis secara resmi mengakui 'kemerdekaan' Tunisia.
Habib Burquibah menikah dengan wanita Prancis bernama Mathilde le Fras (Mathilde Lorrain), dan memiliki seorang putra bernama Habib Bourguiba Jr. Pasangan ini cerai pada 1961. Bourguiba lalu menikah dengan Wassila ben Amar yang berakhir dengan perceraian pada 1986.
Bourguiba diangkat sebagai presiden pada
1957
setelah tergulingnya
Bey Muhammad al-Amin
, Raja Tunisia. Melihat pada paham moderat, ia memperjuangkan
sekularisme
dan
hak wanita
.
Akibat dipengaruhi oleh
pemikiran bebas
, Habib Bourguiba selalu
mengkritik
Islam
. Secara eksplisit ia menentang pemahaman dan ketentuan syariat. Ketentuan syariat yang sudah jelas dilarang dan dihina. Saat berpidato di depan mahasiswa jurnalistik mengenai sejarah perjuangan
Muhammad
, secara vulgar ia menyerang ajaran Islam. Ia menyatakan
Al-Qur'an
mengandung sekian kekeliruan yang tak bisa lagi diterima akal rasional. Muhammad dianggapnya sebagai manusia yang kebanyakan mengembara dan mendengar hikayat, dongeng, dan legenda murahan saat itu. Iapun menyatakan, secara sengaja ke dalam Al-Qur'an ditambahkan kisah
Musa
. Tambahan pula, menurutnya umat terlalu mendewa-dewakan Muhammad dengan berulang-ulang mengiringi sebutan Muhammad.
Sejak ia menerima tampuk kekuasaan, ia menyusun makar untuk menghancurkan Islam berikut institusi pengusung, nilai, ulama dan aktivisnya. Ia menutup Universitas az-Zaytunah, universitas tertua di
Afrika
, padahal universitas ini menjadi pusat pendidikan Islam di Afrika dan
Eropa
meski saat Prancis menjajah Tunisia.
Salah satu tujuan makar Habib Bourguiba ialah membaratkan Tunisia, sehingga
bahasa Arab
diganti bahasa Prancis sebagai bahasa pergaulan masyarakat maupun bangsawan. Mahkamah Syari’at diganti dengan Mahkamah Sipil yang peraturan Undang-Undangnya mengadopsi sepenuhnya UU Barat.
Dalam usahanya melemahkan institusi Islam, Bourguiba merencanakan UU yang bertujuan merampas harta wakaf di seluruh Tunisia, padahal harta wakaf merupakan 33% kekayaan Tunisia. Sekolah dan madrasah yang mengajarkan Al-Qur'an ditutup. UU lain dikeluarkan demi melegalkan praktik mesum selama disetujui kedua belah pihak.
Kampanye anti Islam mencapai puncaknya saat pada Maret
1974
Habib Bourguiba menyeru rakyatnya agar meninggalkan kewajiban berpuasa. Menurutnya syariat berpuasa dianggap sebagai batu penghalang pertumbuhan ekonomi.
Ia terpilih sebagai
Presiden Seumur Hidup
oleh parlemen Tunisia pada
1975
. Program liberalisasi dimulai pada 1981 menyusul berhentinya PM konservatif
Hedi Nouira
.
Ribuan wanita Islam disingkirkan dari pegawai pemerintahan dan pusat pendidikan. Banyak yang dilarang berhijab dalam kehidupan umum seperti rumah sakit dan jalan raya. Meski dilarang UU dan dipersempit aparat keamanan, para pemakai jilbab di Tunisia tetap semakin banyak jumlahnya. Pemakaian jilbab di sana dilarang menurut UU No.108 tahun 1981. Isinya menegaskan bahwa jilbab ialah busana etnis/kelompok yang bukan kewajiban agama. Sehingga dalam UU itu ditulis larangan berjilbab di sekolah dan perguruan tinggi.
Akibatnya timbul hubungan yang tidak harmonis antara Presiden Habib Bourguiba dengan gerakan Islam. Hubungan ini karena Bourguiba dipengaruhi oleh pemikiran bebas. Misalnya saat ia mengambil inspirasi pengalaman dan warisan
Revolusi Prancis
tentang ‘persahabatan’ negara dan gereja dalam melaksanakan pemerintahan. Dengan berkedok agama, ia memberangus Islam yang diyakininya tidak sesuai pemahaman Islamnya. Padahal ia ternyata memakai Islam sebagai kedok saja. Ia mengadopsi pemahaman pemikir Prancis yang menyatakan semua hal terdahulu pasti usang, sehingga ia menganggap Islam itu usang sebab warisan nenek moyang. Menurutnya, institusi keagamaan merupakan batu penghalang utama bagi pembangunan negara. Baginya, Tunisia memerlukan asas pembangunan baru menurut ‘pemikiran ilmu tulen’ dan meninggalkan ‘pemikiran Islam.’
Kepresidenannya berakhir saat usia lanjut serta keadaan uzur sehingga PM
Zainal Abidin bin Ali
melancarkan kudeta melawan pemerintahannya. Bourguiba kemudian dikenakan tahanan rumah di Monastir hingga kematiannya.