Darah dan Doa
|
---|
Cuplikan film
Darah dan Doa
|
Sutradara
| Usmar Ismail
|
---|
Produser
| Usmar Ismail
|
---|
Ditulis oleh
| |
---|
Pemeran
|
- Del Juzar
- Ella Bergen
- Aedy Moward
- Awaluddin Djamin
- R. Soetjipto
|
---|
Penata musik
| G. R. W. Sinsu
|
---|
Sinematografer
| Max Tera
|
---|
Penyunting
| Djohan Sjafri
|
---|
Perusahaan
produksi
| |
---|
Distributor
| Spectra Film Exchange
|
---|
Tanggal rilis
| |
---|
Durasi
| 128 menit
|
---|
Negara
| Indonesia
|
---|
Bahasa
| Indonesia
|
---|
Anggaran
| 350.000
rupiah
|
---|
Darah dan Doa
(
[da?rah
?dan
do?a]
, dirilis di mancanegara dengan judul
The Long March
) adalah sebuah
film perang
Indonesia tahun 1950 yang disutradarai dan diproduseri oleh
Usmar Ismail
, yang mengisahkan cerita
Kodam Siliwangi
dan pemimpinnya Kapten Sudarto saat berkirab menuju
Jawa Barat
. Menyusul
Tjitra
(1949) karya Ismail buatan Belanda,
Darah dan Doa
seringkali disebut sebagai
film 'Indonesia'
pertama, dan hari syuting pertama film tersebut ? 30 Maret ? dirayakan di Indonesia sebagai Hari Film Nasional.
Diproduksi dengan biaya sejumlah 350.000
rupiah
dan ditujukan untuk ditayangkan di
Festival Film Cannes
, produksi
Darah dan Doa
nyaris berhenti karena kesulitan keuangan sebelum sutradara mendapatkan bekingan keuangan. Setelah menimbulkan kontroversi karena bahan temanya, film tersebut mengalami penyensoran dan akhirnya dirilis dengan kegagalan komersial. Namun, analisis retrospektif menyatakan hal yang lebih positif, dan Ismail dijuluki "bapak film Indonesia".
Kodam Siliwangi
, yang aslinya bermarkas besar di
Jawa Barat
, sementara dipindahkan ke
Jawa Tengah
menyusul
Perjanjian Renville
. Setelah meredam sebuah
pemberontakan komunis
di
Madiun
, yang menewaskan sejumlah anggota
Partai Komunis Indonesia
, mereka berpencar. Pemimpin kodam, Kapten Sudarto, bertemu dengan seorang wanita
Indo
bernama Connie, yang berasal dari
Bandung
. Keduanya menjadi teman, namun setelah
serangan Belanda
diluncurkan di ibukota
Yogyakarta
, mereka harus berpisah kala kodam tersebut bergerak menuju barat. Kapten Sudarto memimpin pasukannya ? bersama dengan sejumlah wanita dan anak-anak ? sejuah lebih dari 200 kilometer (120 mi), berrehat pada siang hari dan bergerak pada pagi dan sore hari. Mereka mengalami kelaparan, penipisan suplai, dan serangan udara Belanda. Di sepanjang jalan, Sudarto mulai jatuh cinta dengan seorang perawat bernama Widya.
Kodam Siliwangi melintasi sebuah desa yang nyaris seluruh penduduknya tewas karena serbuan Belanda. Usai diarahkan dari penyintas tunggal, mereka menuju ke desa terdekat. Di sana, mereka disambut hangat dan diberikan banyak makanan yang dibutuhkan. Kala kodam tersebut singgah selama semalam, Sudarto berjalan dengan Widya, sehingga menimbulkan kemarahan di kalangan kodamnya. Pada malam itu, kodam tidur nyenyak di kasur sementara penduduk desa berjaga. Namun, pada pagi harinya, para penduduk desa tersebut ? yang sebetulnya berkaitan dengan kelompok militan
Darul Islam
? berbalik melawan mereka. Kodam tersebut berhasil melawan balik, walau Sudarto tertembak oleh kepala desa.
Sudarto memerintahkan agar kepala desa tersebut dieksekusi, dan tugas tersebut dilaksanakan oleh putra pria tersebut. Setelah itu, kodam melanjutkan perjalanan ke barat. Pada suatu malam, Adam – anak buah Sudarto – memberitahukannya bahwa kodamnya tak suka pada hubungannya Sudarto dengan Widya. Mereka beradu mulut, dan Widya ? yang mendengar semuanya ? berujar bahwa ia akan pergi. Keesokan paginya, pasukan Belanda meluncurkan serangan yang menewaskan banyak korban, termasuk Widya dan Adam. Karena Kodam Siliwangi berpencaran, Sudarto memutuskan untuk pergi ke Bandung sendirian untuk suplai yang sangat dibutuhkan; sementara ia pergi, perwira Leo ditugaskan untuk memimpin kodam. Setelah bertemu dengan pejuang kemerdekaan yang menawarkan suplai, Sudarto mengunjungi Connie dan ditangkap oleh pasukan Belanda.
Kala ditahan, Sudarto disiksa dan mulai menyesali tindakannya, khususnya kegemarannya bermain wanita. Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, Sudarto dibebaskan dari tahanan dan diberi tahu bahwa istrinya telah meninggalkannya dan ia berada di bawah penyelidikan karena kepemimpinan yang buruk. Usai bertemu dengan Leo, ia menyadari bahwa kodamnya sampai tujuan dengan selamat. Pada suatu malam, kala ia membaca buku hariannya, Sudarto dihadapi oleh seorang pria yang para kerabatnya tewas di Madiun. Usai keduanya beradu mulut, Sudarto ditembak mati.
Darah dan Doa
disutradarai oleh
Usmar Ismail
, seorang mantan prajurit yang sebelumnya pernah menjadi asisten sutradara dalam
Gadis Desa
karya
Andjar Asmara
dan menyutradarai dua film buatannya sendiri,
Tjitra
dan
Harta Karun
(semuanya tahun 1949).
Kontrol kreatif terhadap karya-karya tersebut, yang semuanya diproduksi untuk
South Pacific Film Corporation
(SPFC) dan disponsori Belanda, dipegang oleh jurukamera A.A. Denninghoff-Stelling. Sementara itu, Ismail menjabat sebagai
pelatih dialog
belaka.
Kala Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia usai
beberapa bulan konferensi
pada 1949, Ismail dan staf SPFC lainnya mendiskusikan pendirian studio mereka sendiri, walau langkah tak diambil sampai tahun berikutnya.
Untuk produksi perdananya, Ismail memilih untuk mengadaptasi sebuah cerpen karya penyair
Sitor Situmorang
, yang diserahkan oleh Situmorang kepada Ismail. Ismail kemudian menyatakan bahwa cerita tersebut menarik karena ia menceritakan "secara jujur kisah manusia dengan tidak jatuh menjadi film propaganda yang murah."
Kru untuk produksi tersebut terdiri dari jurukamera
Max Tera
, seorang mantan karyawan SPFC, dengan tata rias oleh Rancha', rancangan artistik oleh
Basuki Resobowo
, G. R. W. Sinsu pada musik, serta Sjawaludin dan E. Sambas bertugas untuk efek suara.
Melalui koneksi militernya, Ismail mendapatkan bantuan teknikal dari berbagai anggota
Tentara Nasional Indonesia
, terutama Kapten Sadono.
Pemeran film
Darah dan Doa
kebanyakan terdiri dari para pendatang baru yang menanggapi iklan-iklan surat kabar; pendekatan ini dipilih secara sengaja oleh Ismail, yang mencari "muka-muka baru dengan bakat-bakat yang segar."
Ismail mengadaptasi pendekatan ini dari para sutradara Italia seperti
Roberto Rossellini
dan
Vittorio De Sica
.
Del Juzar, seorang mahasiswa hukum
Universitas Indonesia
, berperan sebagai Sudarto,
dengan peran lain dipegang oleh Ella Bergen, Faridah,
Aedy Moward
,
Awaluddin Djamin
, Rd Ismail,
Suzana
, Muradi, dan
Rosihan Anwar
.
Pada usia dua puluh sembilan tahun,
Ismail memulai syuting film
Darah dan Doa
pada 30 Maret 1950 di
Subang
,
Jawa Barat
.
Keesokan harinya, ia mendirikan studionya sendiri,
Perfini
, untuk memproduksi film tersebut.
Tak seperti film-film sebelumnya, Ismail mengalami batasan teknis yang berat.
Walaupun
Tjitra
membutuhkan biaya sejumlah 67.500
rupiah
, kala pemfilman
Darah dan Doa
dimulai, Ismail baru mengumpulkan 30.000 ? dan lebih dari separuhnya dipakai untuk menyewa studio dan fasilitas SPFC (yang telah berganti nama menjadi
Produksi Film Negara
[PFN]). Untuk perjalanan mereka ke Subang, para pemeran dan kru menyewa sebuah bus kecil. Pemfilman diselesaikan memakai kamera
Akeley
yang telah usang
dan kru menangani lebih dari satu peran.
Faktor manusia juga berujung pada penundaan produksi. Ismail dan anggota kru lainnya berniat untuk mencapai realisme dengan menjadikan segala adegang film sama seperti dalam kehidupan nyata; Ismail kemudian menyesal keputusan itu setelah menyadari bahwa "film itu adalah betul-betul seni
make believe
, membuat orang percaya tentang sesuatu, membuat kenyataan baru dari yang ada."
Sementara itu, tiga pemeran (termasuk pemeran utama, Del Juzar), bersaing untuk mendekati Faridah, sehingga terjadi pergesekan antar pemeran. Para pemeran juga memiliki penafsiran tersendiri soal peran-peran mereka, sehingga Ismail menghendaki agar mereka mengikuti pengarahannya.
Kala pemfilman, Ismail menulis
naskah syutingnya
setiap malam dan mengembangkan bahan sumbernya. Setelah setiap hari pemfilman dilakukan, Ismail mengirim hasilnya ke PFN di Jakarta dan menerima cetakannya yang ditayangkan untuk para pemeran dan kru.
Salah satu pertunjukan ini menghasilkan kesepakatan antara Ismail dan pemilik bioskop lokal Tong Kim Mew, yang hadir pada waktu itu:
Tong akan memberikan dana produksi kepada Ismail, yang sudah berutang berat (ia menyatakan bahwa, pada titik ini, mereka sudah lama tidak mampu melunasi uang sewa), sementara Ismail memperkenankan Tong untuk menangani distribusi. Dengan pendanaan tersebut kru dapat menyelesaikan syuting, termasuk adegan-adegan tambahan di
Purwakarta
.
[a]
Kala kembali ke Jakarta, Ismail dan kru menyadari bahwa beberapa rekaman tak dapat digunakan, karena "ceritanya tak jalan."
Karena itu, adegan tambahan direkam di pegunungan Jawa Barat, termasuk
Gunung Lawu
dan
Gunung Gede
. Adegan lainnya direkam di tepi
Sungai Citarum
.
Pada akhirnya, film
Dara dan Doa
menelan biaya sejumlah 350.000
rupiah
(kala itu sekitar US$90.000),
yang berjumlah tiga kali lipat dari rata-rata produksi sezaman.
Darah dan Doa
dirilis pada September 1950 dan didistribusikan oleh Spectra Film Exchange.
Film tersebut diberi judul Inggris
The Long March
; menurut antropologis visual Amerika Serikat
Karl G. Heider
, judul ini merujuk pada
Pawai Panjang
-nya Tiongkok tahun 1934.
[b]
Tak lama usai perilisan film tersebut, dua kontroversi timbul, sehingga film tersebut dicekal di beberapa daerah di Indonesia. Para anggota kodam militer lain menganggap bahwa film tersebut terlalu menonjolkan peran Siliwangi, sementara para anggota masyarakat umum sulit meyakini bahwa Darul Islam telah mengkhianati kepentingan bangsa.
Alhasil, film membutuhkan ijin Presiden
Sukarno
untuk dirilis ulang pada September 1950, usai presiden menerima penayangan pribadi di Istana Negara pada pertengahan 1950.
Pada akhirnya, sejumlah adegan telah dipotong.
Saat rilis,
Darah dan Doa
, yang diiklankan sebagai film yang menampilkan "pertempuran sengit melawan pendjadjah" dan "Suka Duka dalam GERILJA",
pada umumnya memperoleh sambutan kritis yang negatif. Sebuah ulasan dalam surat kabar
Merdeka
menganggap bahwa
Darah dan Doa
tak selaras, dengan hanya sedikit adegan yang dapat diterima.
Armijn Pane
, yang menulis empat tahun usai perilisan film tersebut, mengkritik penampilan prajurit pada kirab mereka, menyatakan bahwa seragam mereka seharusnya nampak lebih kotor.
Namun, sambutan luar negeri bersifat lebih positif. Contohnya, kritikus film Jepang
Tadao Sato
memuji konsep film tersebut, dan bahkan membandingkannya dengan karya
Andrzej Wajda
.
[29]
Kritikus film Indonesia
Salim Said
berujar bahwa Ismail memutuskan untuk "tidak akan mempertimbangkan segi komersial" dan mengirim film tersebut ke
Festival Film Cannes
di Prancis.
Sebetulnya,
Darah dan Doa
mengalami kegagalan keuangan, dan keuntungan yang diperoleh belum mampu menutupi biaya produksi sampai Ismail merilis film berikutnya pada tahun berikutnya.
Film ini tak ditayangkan di Cannes.
Pada tahun 1960, perusahaan Perfini mengatributkan kegagalan film tersebut dengan konflik antara apa yang diinginkan rakyat dan apa yang terjadi; dituturkan bahwa Ismail tak berhendak menggambarkan militer yang ideal, melainkan militer yang apa adanya ? serta orang-orang dalam film tersebut.
Ismail beranggapan bahwa
Darah dan Doa
mencerminkan "kepribadian bangsa".
Pada tahun 1962, ia menulis bahwa film ini merupakan film perdananya karena ia memiliki kontrol kreatif yang sedikit dalam produksi-produksi sebelumnya.
Usai menyutradarai film tersebut, ia membuat dua puluh lima film lainnya sebagai sutradara,
termasuk dua film (
Enam Djam di Jogja
[1951] dan
Pedjuang
[1959]) yang berkisah tentang
Revolusi Nasional Indonesia
;
perusahaan-perusahaan yang menyaingi Perfini juga merilis film tersebut dengan tema serupa,
[c]
meski Biran berpendapat bahwa film-film tersebut tak menyentuh pada esensi revolusi.
Untuk perannya sebagai sutradara
Darah dan Doa
dan karya berikutnya, Ismail dijuluki "bapak film Indonesia",
walaupun cendekiawan Thomas Barker berujar bahwa perannya dalam perkembangan industri film Indonesia dilebih-lebihkan oleh
Orde Baru
karena keperluan anti-komunis dan pro-nasionalistik mereka.
Darah dan Doa
seringkali dianggap sebagai film Indonesia "nasional" pertama, meskipun film pertama yang diproduksi di Nusantara,
Loetoeng Kasaroeng
karya L. Heuveldorp, telah dirilis 24 tahun sebelumnya.
Menurut sejarawan film Indonesia
Misbach Yusa Biran
,
film-film yang dirilis antara 1926 dan 1949
tak dapat disebut film Indonesia, karena film-film tersebut memiliki kekurangan esensi identitas nasional.
Kritikus film critic Nova Chairil menyatakan hal serupa, karena film
Darah dan Doa
merupakan film yang "disutradarai oleh orang Indonesia asli, diproduksi oleh perusahaan film Indonesia, dan diambil gambarnya di Indonesia."
Namun, Barker dan rekan cendekiawan film Charlotte Setijadi-Dunn berpendapat bahwa film-film karya para produser
beretnis Tionghoa
? yang pada umum diabaikan karena dianggap terlalu berorientasi kepada laba ? sudah mengandung sebuah identitas Indonesia; sebagai contoh, mereka mengutip
Kris Mataram
(1940) karya
Njoo Cheong Seng
. Tak seperti identitas nasional homogen yang ditawarkan dalam
Darah dan Doa
, mereka menyatakan bahwa film-film yang diproduksi orang Tionghoa tersebut menawarkan kemungkinan identitas heterogen.
Komunitas film Indonesia mulai merayakan hari pertama syuting
Darah dan Doa
, 30 Maret, sebagai
Hari Film Nasional
pada 1950. Dalam konferensi Badan Film Nasional Indonesia tahun 1962, tanggal ini mulai diberi pengakuan yang lebih formal sebagai Hari Film Nasional, dan
Darah dan Doa
diakui sebagai "film nasional" pertama.
Hari Film Nasional resmi dinyatakan pada 1999, kala Presiden
B. J. Habibie
mengesahkan Keputusan Presiden no. 25/1999.
Menurut pemeran yang beralih menjadi sutradara
Slamet Rahardjo
, peringatan tersebut menandakan bahwa "bangsa Indonesia mengakui industri film lokal mereka dan berkehendak untuk mengembangkannya".
Kirab panjang Kodam Siliwangi menjadi tema dari film lainnya,
Mereka Kembali
pada 1972.
Disutradarai oleh Nawi Ismail, film tersebut dibintangi
Sandy Suwardi Hassan
,
Rahayu Effendi
,
Rina Hasyim
, dan
Aedy Moward
.
Mereka Kembali
memenangkan penghargaan tunggal, Runner-Up untuk Pemeran Laki-laki Terbaik (Arman Effendy), di
Festival Film Indonesia
1972.
Dalam membandingkan dua film tersebut, Heider menyatakan bahwa
Darah dan Doa
menggambarkan komunis dalam sorotan lebih simpatetik dan "mengabaikan" Darul Islam, sementara
Mereka Kembali
tak menggambarkan tragedi di Madiun dan menyudutkan Darul Islam. Ia menyatakan bahwa film sebelumnya dirilis dalam "waktu untuk penyembuhan, waktu untuk mengkonsolidasikan republik baru, bahkan menonjolkan orang-orang yang ... berjuang melawannya."
Ia kemudian menyatakan bahwa
Darah dan Doa
lebih ter-Eropanisasi dan individualistik, dengan fokus pada Sudarto, sementara
Mereka Kembali
memusatkan pentingnya kelompok dan mewakilkan "Indonesianisasi sinema nasional".
Arsip video Indonesia
Sinematek Indonesia
menyimpan salinan
35 mm
dan
VHS
dari
Darah dan Doa
.
Film tersebut juga disimpan di
Cinematheque Francaise
.
Film ini masih ditayangkan dalam festival-festival.
[43]
- ^
Tong juga menyediakan dana untuk dua film Ismail berikutnya,
Enam Djam di Jogja
(1951) dan
Dosa Tak Berampun
(1951), dengan jumlah serupa (
Biran 2009b
, hlm. 123–125).
- ^
(
Ismail 1983
, hlm. 185) menyatakan bahwa hal tersebut adalah niat Sitor Situmorang kala menulis.
- ^
Beberapa contoh: produksi-produksi karya Persari (
Sepandjang Malioboro
[1950];
Hampir Malam di Djogja
[1951]), dan Bintang Surabaja (
Djembatan Merah
[1950];
Selamat Berdjuang, Masku!
[1951]).
- Anwar, Rosihan
(2004).
Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia
[
A Small History (Petite Histoire) of Indonesia
]. Jakarta: Kompas.
ISBN
978-979-709-428-7
.
- Barker, Thomas (2011). "Mempertanyakan Gagasan 'Film Nasional
'
" [Questioning the Concept of 'National Films']. Dalam Cheng, Khoo Gaik; Barker, Thomas; Imanjaya, Ekky.
Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita?
[
Where Will Our Cinema Go?
]. Jakarta: Salemba Humanika. hlm. 31–56.
ISBN
978-602-8555-38-8
.
- Biran, Misbach Yusa
(2009a).
Sejarah Film 1900?1950: Bikin Film di Jawa
[
History of Film 1900?1950: Making Films in Java
]. Jakarta: Komunitas Bamboo working with the Jakarta Art Council.
ISBN
978-979-3731-58-2
.
- Biran, Misbach Yusa (2009b).
Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia
[
The Role of the Youth in the Development of the Indonesian Film Industry
]. Jakarta: Ministry of Youth and Sports.
OCLC
607257806
.
- Hastuti, Rita Sri (14 March 2011).
"Mengenang 40 Tahun Kepergian USMAR ISMAIL Dari Darah dan Doa"
[Commemorating 40 Years After USMAR ISMAIL's Death, from Darah dan Doa].
lsf.go.id
. Jakarta: Film Censorship Bureau. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 16 April 2014
. Diakses tanggal
20 January
2012
.
- Heider, Karl G (1991).
Indonesian Cinema: National Culture on Screen
. Honolulu: University of Hawaii Press.
ISBN
978-0-8248-1367-3
.
- "Indonesians Doubt Ban Caused Crisis"
.
New York Times
. 12 June 1951. hlm. 5
. Diakses tanggal
13 January
2013
.
(perlu berlangganan)
- Ismail, Usmar (sutradara dan produser) (1950).
Darah dan Doa
. Jakarta: Perfini.
OCLC
51902911
.
- Ismail, Usmar (1983). "Film Pertama Saya" [My First Film].
Usmar Ismail Mengupas Film
[
Usmar Ismail Discusses Film
]. Jakarta: Sinar Harapan. hlm. 164?71.
OCLC
10435722
.
- Kurniasari, Triwik (24 June 2012).
"Reviving Usmar Ismail's legacy"
.
The Jakarta Post
. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 16 April 2014
. Diakses tanggal
23 September
2012
.
- "Long March, The (Darah dan Doa)"
.
filmindonesia.or.id
. Jakarta: Konfidan Foundation. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 12 March 2017
. Diakses tanggal
10 January
2013
.
- "Long March, The (Darah dan Doa) | Kredit"
[Long March, The (Darah dan Doa) | Credits].
filmindonesia.or.id
. Jakarta: Konfidan Foundation. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 7 March 2016
. Diakses tanggal
11 January
2013
.
- Pane, Armijn (Juni 1955). "Bahasa dan Film" [Language and Film].
Bulanan Medan Bahasa
.
V
(6): 1–6.
- "Penghargaan Mereka Kembali"
[Awards for Mereka Kembali].
filmindonesia.or.id
. Jakarta: Konfidan Foundation. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 6 March 2016
. Diakses tanggal
10 January
2013
.
- Perfini, ed. (1960).
10 Tahun Perfini
[
10 Years of Perfini
]. Jakarta: Perfini.
- Sabarini, Prodita (23 March 2008).
"National film day time to reflect to history"
.
The Jakarta Post
. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 5 March 2016
. Diakses tanggal
11 January
2013
.
- Said, Salim (1982).
Profil Dunia Film Indonesia
[
Profile of Indonesian Cinema
]. Jakarta: Grafiti Pers.
OCLC
9507803
.
- Setijadi-Dunn, Charlotte; Barker, Thomas (2011). "Membayangkan 'Indonesia': Produser Etnis Tionghoa dan Sinema Pra-Kemerdekaan" [Imagining 'Indonesia': Ethnic Chinese Producers and Pre-Independence Cinema]. Dalam Cheng, Khoo Gaik; Barker, Thomas; Imanjaya, Ekky.
Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita?
[
Where Will Our Cinema Go?
]. Jakarta: Salemba Humanika.
ISBN
978-602-8555-38-8
.
- Susanto, A. Budi (2003).
Identitas Dan Postkolonialitas Di Indonesia
[
Identity and Postcolonialism in Indonesia
]. Yogyakarta: Kanisius.
ISBN
978-979-21-0851-4
.
- "The Long March (Darah dan Doa)".
Aneka
. Jakarta.
1
(13): 20. 1 September 1950.
- "Tjitra"
.
filmindonesia.or.id
. Jakarta: Konfidan Foundation. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 2 December 2013
. Diakses tanggal
23 August
2012
.
- "Usmar Ismail | Filmografi"
[Usmar Ismail | Filmography].
filmindonesia.or.id
. Jakarta: Konfidan Foundation. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 16 April 2014
. Diakses tanggal
23 September
2012
.
- Zandri, Er Audy (28 Maret 2011).
"Reminiscing the glorious past of Indonesian films"
.
The Jakarta Post
. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 4 Maret 2016
. Diakses tanggal
11 Januari
2013
.
|
---|
1940-an
| |
---|
1950-an
| |
---|
1960-an
| |
---|
1970-an
| |
---|