Bahasa Jawa
adalah bahasa
Austronesia
yang utamanya dituturkan oleh penduduk bersuku
Jawa
di wilayah bagian tengah dan timur
pulau Jawa
. Bahasa Jawa juga dituturkan oleh diaspora Jawa di wilayah lain di Indonesia, seperti di
Sumatra
dan
Kalimantan
; serta di luar Indonesia seperti di
Suriname
,
Belanda
, dan
Malaysia
. Jumlah total penutur bahasa Jawa diperkirakan mencapai sekitar 80 juta pada tahun 2023.
[1]
Sebagai bahasa Austronesia dari subkelompok
Melayu-Polinesia
, bahasa Jawa juga berkerabat dengan bahasa
Melayu
,
Sunda
,
Bali
dan banyak bahasa lainnya di Indonesia, meskipun para ahli masih memperdebatkan mengenai posisi pastinya dalam rumpun Melayu-Polinesia. Bahasa Jawa berstatus
bahasa resmi
di
Daerah Istimewa Yogyakarta
di samping
bahasa Indonesia
.
Sejarah tulisan bahasa Jawa bermula sejak abad ke-9 dalam bentuk bahasa
Jawa Kuno
, yang kemudian berevolusi hingga menjadi bahasa
Jawa Baru
sekitar abad ke-15. Bahasa Jawa awalnya ditulis dengan
sistem aksara dari India
yang kemudian diadaptasi menjadi
aksara Jawa
, walaupun bahasa Jawa masa kini lebih sering ditulis dengan
alfabet Latin
. Bahasa Jawa memiliki tradisi sastra kedua tertua di antara bahasa-bahasa Austronesia setelah
bahasa Melayu
.
Nomina
dalam bahasa Jawa umumnya diletakkan sebelum atribut yang memodifikasinya.
Verba
dapat dibedakan menjadi bentuk
transitif
dan
intransitif
, bentuk
aktif
dan
pasif
, atau dibedakan berdasarkan
modusnya
(
indikatif
,
irealis
/
subjungtif
,
imperatif
, dan
propositif
). Bahasa Jawa mengenal pembedaan antara beberapa tingkat tutur yang penggunaannya ditentukan oleh derajat kedekatan hubungan atau perbedaan status sosial antara pembicara dan lawan bicara atau orang yang dibicarakan.
Klasifikasi
Bahasa Jawa merupakan bagian dari subkelompok Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.
Namun, tingkat kekerabatan bahasa Jawa dengan bahasa-bahasa Melayu-Polinesia yang lain sulit ditentukan. Menggunakan metode
leksikostatistik
, pada tahun 1965 ahli bahasa Isidore Dyen menggolongkan bahasa Jawa ke dalam kelompok yang ia sebut "Javo-Sumatra Hesion", yang juga mencakup bahasa
Sunda
dan bahasa-bahasa "Melayik".
[a]
Kelompok ini juga disebut "Melayu-Jawanik" oleh ahli bahasa Berndt Nothofer yang pertama kali berusaha merekonstuksi leluhur dari bahasa-bahasa dalam kelompok hipotetis ini dengan data yang saat itu hanya terbatas pada empat bahasa saja (bahasa Jawa, Sunda,
Madura
, dan
Melayu
).
Pengelompokan Melayu-Jawanik telah dikritik dan ditolak oleh berbagai ahli bahasa.
Ahli
linguistik sejarah
Austronesia
K. Alexander Adelaar
tidak memasukkan bahasa Jawa dalam subkelompok
Melayu-Sumbawa
(yang mencakup bahasa-bahasa
Melayik
, Sunda, dan Madura) yang diusulkannya pada tahun 2005.
Ahli linguistik sejarah Austronesia yang lain,
Robert Blust
, juga tidak memasukkan bahasa Jawa dalam subkelompok
Borneo Utara Raya
yang ia usulkan sebagai alternatif dari hipotesis Melayu-Sumbawa pada tahun 2010. Meski begitu, Blust juga mengemukakan kemungkinan bahwa subkelompok Borneo Utara Raya berkerabat dekat dengan bahasa-bahasa Indonesia Barat lainnya, termasuk bahasa Jawa.
Usulan Blust ini telah dikembangkan secara lebih terperinci oleh ahli bahasa Alexander Smith yang memasukkan bahasa Jawa ke dalam subkelompok
Indonesia Barat
(yang juga mencakup bahasa-bahasa Borneo Utara Raya) berdasarkan bukti leksikal dan fonologis.
Sejarah
Secara garis besar, perkembangan bahasa Jawa dapat dibagi ke dalam dua fase bahasa yang berbeda, yaitu 1) bahasa Jawa Kuno dan 2) bahasa Jawa Baru.
Bahasa Jawa Kuno
Bentuk terawal bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dalam tulisan, yaitu
Prasasti Sukabumi
, berasal dari tahun 804 Masehi.
Sejak abad ke-9 hingga abad ke-15, ragam bahasa ini umum digunakan di pulau Jawa. Bahasa Jawa Kuno lazimnya dituliskan dalam bentuk puisi yang berbait. Ragam ini terkadang disebut juga dengan istilah
kawi
'bahasa kesusastraan', walaupun istilah ini juga merujuk pada unsur-unsur arkais dalam ragam tulisan bahasa Jawa Baru.
Sistem tulisan yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa Kuno merupakan adaptasi dari aksara
Pallawa
yang berasal dari India.
Sebanyak hampir 50% dari keseluruhan kosakata dalam tulisan-tulisan berbahasa Jawa Kuno berakar dari bahasa
Sanskerta
, walaupun bahasa Jawa Kuno juga memiliki kata serapan dari bahasa-bahasa lain di Nusantara.
Ragam bahasa Jawa Kuno yang digunakan pada beberapa naskah dari abad ke-14 dan seterusnya terkadang disebut juga "bahasa Jawa Pertengahan". Walaupun ragam bahasa Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan tidak lagi digunakan secara luas di Jawa setelah abad ke-15, kedua ragam tersebut masih lazim digunakan di Bali untuk keperluan ritual keagamaan.
Bahasa Jawa Baru
Bahasa Jawa Baru tumbuh menjadi ragam literer utama bahasa Jawa sejak abad ke-16. Peralihan bahasa ini terjadi secara bersamaan dengan datangnya pengaruh Islam.
Pada awalnya, ragam baku bahasa Jawa Baru didasarkan pada ragam bahasa wilayah
pantai utara Jawa
yang masyarakatnya pada saat itu sudah beralih menjadi Islam. Karya tulis dalam ragam bahasa ini banyak yang bernuansa keislaman, dan sebagiannya merupakan terjemahan dari bahasa Melayu.
Bahasa Jawa Baru juga mengadopsi
huruf Arab
dan menyesuaikannya menjadi
huruf Pegon
.
Kebangkitan
Mataram
menyebabkan ragam tulisan baku bahasa Jawa beralih dari wilayah pesisir ke pedalaman. Ragam tulisan inilah yang kemudian dilestarikan oleh penulis-penulis Surakarta dan Yogyakarta, dan menjadi dasar bagi ragam baku bahasa Jawa masa kini.
Perkembangan bahasa lainnya yang diasosiasikan dengan kebangkitan Mataram pada abad ke-17 adalah pembedaan antara tingkat tutur
ngoko
dan
krama
.
Pembedaan tingkat tutur ini tidak dikenal dalam bahasa Jawa Kuno.
Buku-buku cetak dalam bahasa Jawa mulai muncul sejak tahun 1830-an, awalnya dalam
aksara Jawa
, walaupun kemudian
alfabet Latin
juga mulai digunakan. Sejak pertengahan abad ke-19, bahasa Jawa mulai digunakan dalam novel, cerita pendek, dan puisi bebas. Kini, bahasa Jawa digunakan dalam berbagai media, mulai dari buku hingga acara televisi. Ragam bahasa Jawa Baru yang digunakan sejak abad ke-20 hingga sekarang terkadang disebut pula "bahasa Jawa Modern".
Demografi dan persebaran
Di antara bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa dengan komunitas
penutur jati
yang besar.
Jumlah total penutur bahasa Jawa diperkirakan mencapai sekitar 80 juta pada tahun 2023.
[1]
Sayangnya, 27% orang Jawa tidak lagi menuturkan bahasa ini di lingkup keluarga. Hal ini mendorong bahasa Jawa ke jurang kemunduran bahasa.
[1]
Sebagian besar penutur bahasa Jawa mendiami wilayah tengah dan timur Pulau Jawa.
Jumlah penutur jati bahasa Jawa yang berasal dari provinsi
Jawa Tengah
,
Daerah Istimewa Yogyakarta
, dan
Jawa Timur
mencakup 83% dari total jumlah penutur jati bahasa Jawa di Indonesia.
Selain di pulau Jawa, bahasa Jawa juga dituturkan sebagai bahasa ibu di daerah-daerah transmigrasi seperti di
Lampung
, sebagian wilayah
Riau
,
Jambi
,
Kalimantan Tengah
, dan di tempat lainnya di Indonesia. Di luar Indonesia, penutur bahasa Jawa terpusat di beberapa negara, seperti di
Suriname
,
Hong Kong
,
Belanda
,
Kaledonia Baru
, dan
Malaysia
(terutama di pesisir barat
Johor
).
Status hukum
Bahasa Jawa ditetapkan sebagai
bahasa resmi
Daerah Istimewa Yogyakarta
berdasarkan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2021.
[3]
Sebelumnya,
Jawa Tengah
menetapkan peraturan serupa?Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012?tetapi tidak menyiratkan status resmi.
[24]
[25]
Fonologi
Bahasa Jawa memiliki 23?25 fonem konsonan dan 6?8 fonem vokal.
Dialek-dialek bahasa Jawa memiliki kekhasan masing-masing dalam hal fonologi.
Vokal
Terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah
fonem
vokal dalam bahasa Jawa. Menurut ahli bahasa Jawa
E. M. Uhlenbeck
, bahasa Jawa memiliki enam fonem vokal yang masing-masingnya memiliki dua variasi pengucapan (
alofon
), kecuali fonem pepet
/?/
.
Pendapat ini disetujui oleh beberapa ahli bahasa Jawa lainnya. Namun, analisis alternatif dari beberapa ahli bahasa menyimpulkan bahwa bahasa Jawa memiliki dua fonem tambahan, yaitu
/?/
dan
/?/
yang dianggap sebagai fonem mandiri, terpisah dari
/e/
dan
/o/
.
1. Vokal
|
Depan
|
Madya
|
Belakang
|
Tertutup
|
i
|
|
u
|
Semitertutup
|
e
|
|
o
|
Semiterbuka
|
(?)
|
?
|
(?)
|
Terbuka
|
|
a
|
|
Mengikuti analisis enam vokal, fonem-fonem di atas memiliki
alofon
sebagai berikut:
- Fonem
/i/
memiliki dua alofon, yaitu
[i]
yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan
[?]
dalam suku kata tertutup.
|
mari
|
[mari]
|
'sembuh'
|
|
wit
|
[w?t]
|
'bibit'
|
- Fonem
/u/
memiliki dua alofon, yaitu
[u]
yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan
[?]
dalam suku kata tertutup.
|
kuru
|
[kuru]
|
'kurus'
|
|
mung
|
[m?ŋ]
|
'hanya'
|
- Fonem
/e/
memiliki dua alofon, yaitu
[e]
dan
[?]
yang dapat muncul baik dalam suku kata terbuka maupun tertutup.
Dalam suku kata terbuka,
/e/
direalisasikan sebagai
[?]
jika suku kata tersebut diikuti oleh 1) suku kata terbuka dengan vokal
[i]
atau
[u]
, 2) suku kata dengan vokal identik, atau 3) suku kata yang memiliki vokal
[?]
.
|
sate
|
[sate]
|
'satai'
|
|
meri
|
[m?ri]
|
'iri'
|
|
kalen
|
[kal?n]
|
'selokan'
|
- Fonem
/o/
memiliki dua alofon, yaitu
[o]
yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan
[?]
yang dapat muncul baik dalam suku kata terbuka maupun tertutup.
Dalam suku kata terbuka,
/o/
direalisasikan sebagai
[?]
jika suku kata tersebut diikuti oleh 1) suku kata terbuka dengan vokal
[i]
atau
[u]
, 2) suku kata dengan vokal identik, atau 3) suku kata yang memiliki vokal
[?]
.
|
loro
|
[loro]
|
'dua'
|
|
kori
|
[k?ri]
|
'pintu gerbang'
|
|
sorot
|
[sor?t]
|
'cahaya'
|
- Fonem
/a/
memiliki dua alofon, yaitu alofon
[a]
yang umumnya muncul dalam suku kata
penultima
(kedua terakhir) dan antepenultima (ketiga dari akhir),
[b]
baik yang terbuka maupun yang tertutup, serta alofon
[?]
yang dapat muncul dalam suku kata terbuka.
Dalam suku kata terbuka,
/a/
hanya dapat direalisasikan sebagai
[?]
jika suku kata tersebut berada di akhir kata, atau jika suku kata tersebut merupakan suku kata penultima dari kata yang berakhir dengan
/a/
.
|
bali
|
[b?ali]
|
'pulang'
|
|
kaloka
|
[kalok?]
|
'termasyhur'
|
|
kaya
|
[k?y?]
|
'seperti'
|
- Fonem
/?/
selalu diucapkan sebagai
[?]
.
|
metu
|
[m?tu]
|
'keluar'
|
|
pelem
|
[p?l?m]
|
'mangga'
|
Konsonan
Bahasa Jawa memiliki 21 fonem konsonan jika hanya menghitung kosakata "asli". Sekitar 2?4 fonem konsonan tambahan dapat ditemui dalam kata-kata pinjaman. Dalam tabel di bawah ini, fonem dalam tanda kurung menandakan fonem pinjaman.
Kecuali dalam kluster sengau homorganik
[f]
, fonem
/b/
,
/d/
,
/?/
,
/d?/
, dan
/?/
dalam posisi awal suku kata cenderung diucapkan dengan
aliran udara
yang lebih besar daripada biasanya dan hampir tanpa
menggetarkan pita suara
, sehingga mendekati bunyi
[p?]
,
[t?]
,
[??]
,
[t??]
, dan
[k?]
.
Ahli
ilmu fonetik
Peter Ladefoged
dan Ian Maddieson mengistilahkan seri fonem ini sebagai konsonan hambat "bersuara kendur" (
slack voiced
), kontras dengan seri fonem
/p/
,
/t/
,
/?/
,
/t?/
, dan
/k/
yang "bersuara kencang" (
stiff voiced
). Walaupun keduanya sama-sama diucapkan tanpa menggetarkan pita suara dalam beberapa kondisi, seri konsonan kendur memiliki bukaan
pita suara
yang lebih lebar daripada seri konsonan kencang.
Selain itu, bunyi vokal yang mengikuti seri konsonan kendur juga diucapkan dengan aliran udara yang lebih besar (
breathy voice
).
Bunyi hambat pada akhir suku kata umumnya diucapkan tanpa letupan (
/p/
diucapkan
[p?]
,
/t/
diucapkan
[t?]
,
/k/
diucapkan
[k?]
, dan seterusnya).
Fonotaktik
Struktur suku kata paling umum dalam bahasa Jawa adalah
V
,
K
V, VK, dan KVK. Suku kata dapat pula diawali dengan gabungan konsonan, yang umumnya terbagi menjadi tiga jenis: 1) gabungan konsonan homorganik yang terdiri dari bunyi sengau ditambah bunyi letup bersuara (
N
KV, NKVK), 2) gabungan konsonan yang terdiri dari bunyi letup ditambah bunyi likuida atau semivokal (KKV, KKVK), dan 3) gabungan konsonan sengau homorganik yang diikuti dengan bunyi
likuida
dan
semivokal
(NKKV, NKKVK).
|
V
|
:
ka-
e
'itu'
|
|
KV
|
:
gu
-
la
'gula'
|
|
VK
|
:
pa-
it
'pahit'
|
|
KVK
|
:
ku-
lon
'barat'
|
|
KKV (termasuk NKV)
|
:
bla
-bag
'papan',
kre
-teg
'jembatan'
|
|
KKVK (termasuk NKVK)
|
:
prap
-ta
'datang'
|
|
NKKVK
|
:
ngglam
-byar
'tidak fokus'
|
Deret konsonan antarvokal umumnya terdiri dari konsonan sengau + letup homorganik (seperti [mp], [mb], [?t?], dan seterusnya), atau [ŋs]. Bunyi /l/, /r/, dan /j/ dapat pula ditambahkan di akhir deret konsonan semacam ini. Contoh deret konsonan semacam ini adalah
wo
nt
en
'ada',
ba
ngs
a
'bangsa', dan
sa
ntr
i
'santri, Muslim yang taat'. Dalam bahasa Jawa, suku kata sebelum deret konsonan semacam ini secara konvensional dianggap sebagai suku kata terbuka, sebab bunyi /a/ dalam suku kata seperti ini akan mengalami
pembulatan
menjadi
[?]
. Kata
tampa
'terima', misalnya, diucapkan sebagai [t?mp?]. Bandingkan dengan kata
tanpa
'tanpa' yang diucapkan sebagai [tanp?].
Sebagian besar (85%) morfem dalam bahasa Jawa terdiri dari 2 suku kata; morfem sisanya memiliki satu, tiga, atau empat suku kata. Penutur bahasa Jawa memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengubah morfem dengan satu suku kata menjadi morfem dengan dua suku kata. Morfem dengan empat suku kata kadang pula dianalisis sebagai gabungan dua morfem yang masing-masingnya memiliki dua suku kata.
Tata bahasa
Pronomina persona
Bahasa Jawa tidak memiliki
pronomina
persona khusus untuk menyatakan jamak kecuali kata
kita
dan
kami.
Penjamakan kata ganti dapat diabaikan atau dinyatakan dengan menggunakan frasa semisal
aku kabeh
'kami',
awake dhewe
'kita',
dheweke kabeh
'mereka' dan semacamnya.
3. Pronomina persona
Glos
|
Bentuk bebas
|
Awalan
|
Akhiran
|
Ngoko
|
Madya
|
Krama
|
Krama inggil
/
andhap
|
1SG
'aku, saya'
|
aku
|
?
|
kula
|
dalem
|
tak
-,
dak
-
|
-
ku
|
1PL.EXCL
'kami'
|
kami
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
1PL.INCL
'kita'
|
kita
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
2SG
,
2PL
'kamu, Anda, kalian'
|
kowe
|
samang
|
sampeyan
|
panjenengan
|
ko
-,
kok
-
|
-
mu
|
3SG
,
3PL
'dia, ia, ia, mereka'
|
dheweke
[g]
|
?
|
piyambakipun
|
panjenengane
,
panjenenganipun
[h]
|
di
-,
dipun-
|
-
(n)e
, -
(n)ipun
|
Pronomina persona dalam bahasa Jawa, terutama untuk persona kedua dan ketiga, lebih sering digantikan dengan nomina atau gelar tertentu.
Selain pronomina yang dijabarkan di dalam tabel di atas, bahasa Jawa masih memiliki beragam pronomina lain yang penggunaannya bervariasi tergantung dialek atau tingkat tutur.
Demonstrativa
Demonstrativa
atau kata tunjuk dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut:
4. Demonstrativa
|
dekat
|
agak jauh
|
jauh
|
netral
|
iki
,
kiyi
,
kiye
'ini'
|
iku
,
kuwi
,
kuwe
'itu'
|
(
ika
),
kae
'itu'
|
lokal
|
kene
'sini'
|
kono
'situ'
|
kana
'sana'
|
arah
|
mrene
,
rene
'ke sini'
|
mrono
,
rono
'ke situ'
|
mrana
,
rana
'ke sana'
|
modal
|
mengkene
,
ngene
'begini'
|
mengkono
,
ngono
'begitu'
|
mengkana
,
ngana
'begitu'
|
kuantitatif
|
semene
,
mene
'sekian ini'
|
semono
,
mono
'sekian itu'
|
semana
,
mana
'sekian itu'
|
temporal
|
seprene
'hingga saat ini'
|
?
|
seprana
'hingga saat itu'
|
Kata
iki
dan
iku
dapat digunakan baik dalam tulisan maupun percakapan. Bentuk
kiyi
,
kiye
,
kuwi
, dan
kuwe
utamanya digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bentuk
ika
hanya dipakai dalam tembang. Bentuk
madya
dari
iki/kiyi/kiye
,
iku/kuwi/kuwe
dan
kae
adalah
niki
,
niku
, dan
nika
. Ketiga jenis demonstrativa ini memiliki bentuk krama yang sama, yaitu
punika
atau
menika
, walaupun dalam beberapa kasus, kata
mekaten
atau
ngaten
juga digunakan sebagai padanan
krama
dari
kae
.
Nomina
Dalam bahasa Jawa, atribut pewatas (
modifier
) nomina inti diletakkan setelah nomina.
Nomina inti tidak diberi imbuhan jika diikuti dengan atribut
adjektiva
atau verba non-pasif (penanda tujuan atau kegunaan) yang membatasi makna nomina tersebut. Kepemilikan dapat dinyatakan secara implisit tanpa imbuhan, atau secara eksplisit dengan akhiran
-(n)e
atau
-(n)ipun
pada nomina inti.
|
wit kinah
|
'pohon kina'
|
|
sumur jero
|
'sumur dalam'
|
|
peranti nenun
|
'peralatan menenun'
|
|
idham-idhaman kita
|
'cita-cita kita'
|
|
omahe Marsam
|
'rumahnya Marsam'
|
Imbuhan
-(n)ing
, yang utamanya digunakan dalam ragam tulisan, memiliki beberapa makna berbeda yang menyatakan hubungan antara inti dan atribut.
|
ratuning buta
|
'rajanya para raksasa'
|
|
rerengganing griya
|
'hiasan untuk rumah'
|
|
dewining kaendahan
|
'dewi kecantikan'
|
Numeralia
Numeralia
atau angka umumnya diletakkan setelah nomina.
|
wong siji
|
'satu orang'
|
|
gelas pitu
|
'tujuh gelas'
|
|
candhi sewu
|
'seribu candi'
|
Numeralia diletakkan sebelum nomina jika nomina tersebut merupakan penunjuk satuan ukuran atau satuan bilangan. Numeralia dalam posisi ini akan mendapatkan pengikat nasal
-ng
jika berakhir dengan bunyi vokal, atau
-ang
jika berakhir dengan konsonan non-sengau. Satu-satunya pengecualian adalah numeralia
siji
'satu' yang diganti dengan imbuhan
sa-/se-/s-
dalam konteks ini.
|
telu-ng puluh
|
'tiga puluh'
|
|
pat-ang pethi
|
'empat peti'
|
|
sa-genthong
|
'satu tempayan'
|
|
se-gelas
|
'segelas'
|
|
s-atus rupiyah
|
'seratus rupiah'
|
Verba
GEN:genitif
LOC:penanda lokasi
TR1:transitif I, aplikatif
TR2:transitif II, kausatif
Paradigma verba bahasa Jawa baku dapat diringkaskan sebagai berikut:
5. Paradigma verba
modus
|
diatesis
|
awalan
|
akhiran
|
netral
|
aplikatif I
|
aplikatif II
|
indikatif
|
aktif
|
N-
|
-Ø
|
-i
|
-ake
|
pasif I
|
tak-/kok-/di-
|
pasif II
|
ke-
|
-an
|
-Ø
|
imperatif
|
aktif
|
N-
|
-a
|
-ana
|
-na
|
pasif I
|
Ø-
|
-en
|
propositif
|
aktif
|
(
aku
)
tak
N-
|
-Ø
|
-i
|
-ake
|
pasif I
|
tak-
|
-e
|
-ane
|
-ne
|
subjungtif
|
aktif
|
N-
|
-a
|
-ana
|
-na
|
pasif I
|
tak-/kok-/di-
|
-en
|
-na
|
Tidak semua imbuhan verba dalam paradigma yang dijabarkan di atas lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari. Selain itu, dialek bahasa Jawa lainnya umumnya memiliki paradigma verba yang lebih sederhana, seperti misalnya dialek Tengger yang tidak menggunakan imbuhan berbeda bagi verba dengan modus
subjungtif
dan
imperatif
(walaupun dialek baku juga tidak membedakan keduanya dalam bentuk aktif, sama-sama ditandai dengan imbuhan
N-
dan
-a
).
Verba
transitif
dalam bahasa Jawa dapat dibentuk dengan merangkaikan awalan sengau
N-
pada kata dasar untuk bentuk aktif atau awalan pronominal seperti
di-
,
tak-
, dan
kok-
untuk bentuk pasif.
(1)
Wis
nemu
akal aku
sudah AV:temu akal aku
'Aku sudah menemukan solusinya.' (
Ogloblin 2005
, hlm. 601)
(2)
Kandha=ku
perkataan=
1
.
GEN
di-gugu
PASS
:
3
-percaya
Kandha=ku
di-gugu
wong akeh
perkataan=1.GEN PASS:3-percaya orang banyak
'Perkataanku dipercaya oleh orang-orang.' (
Ogloblin 2005
, hlm. 601)
Penambahan akhiran
-i
dan
-ake
umumnya menandakan
valensi
yang lebih tinggi.
[i]
Akhiran
-i
biasanya bersifat aplikatif, seperti dalam kata
tanduri
'tanami (dengan sesuatu)' dari kata dasar
tandur
'tanam'. Akhiran
-ake
(bentuk
krama
:
-aken
) dapat membentuk verba kausatif dari verba transitif, contohnya kata
lebokake
'masukkan (ke dalam sesuatu)' dari kata
mlebu
. Jika dipasangkan pada verba intransitif, verba yang terbentuk dapat bersifat benefaktif, contohnya seperti kata
jupukake
'ambilkan (untuk seseorang)' dari bentuk dasar
jupuk
'ambil'.
(3)
Kuwi
mangan-i
godhong teh
itu AV:makan-TR1 daun teh
'[Serangga] itu memakani daun-daun teh.' (
Ogloblin 2005
, hlm. 611)
(4)
ng-islam-ake
AV
-Islam-
TR2
Para utusan mau uga
ng-islam-ake
wong-wong ing Pejajaran
PL utusan ANAPH juga AV-Islam-TR2 orang-orang LOC Pejajaran
'Para utusan ini juga mengislamkan orang-orang di Pejajaran.' (
Ogloblin 2005
, hlm. 611)
Baik verba transitif maupun intransitif memiliki beberapa bentuk tergantung
modus gramatikanya
. Selain bentuk dasar atau bentuk
indikatif
, ada pula bentuk
irealis
/subjungtif, imperatif, dan propositif.
Modus irealis dalam bahasa Jawa diekspresikan dengan imbuhan
-a
, yang dapat memiliki beberapa makna, yaitu:
- Menyatakan kemungkinan (
potential
).
(5)
Daya-daya
tekan-a
ing omah
secepatnya sampai-IRR LOC rumah
'Secepatnya [ia] sampailah ke rumah.' (
Ogloblin 2005
, hlm. 605)
- Menyatakan pengandaian (
conditional
).
(6)
Aja-a
ana lawa, lemud kuwi rak ndadi
NEG.IMP-IRR EXIST kelelawar, nyamuk itu PTCL menjadi
'Seandainya tidak ada kelelawar, nyamuk-nyamuk itu akan semakin menjadi-jadi.' (
Ogloblin 2005
, hlm. 605)
- Menyatakan harapan (
optative
).
(7)
di-gawe-a
PASS
:
3
-buat-
IRR
Lelakon iku
di-gawe-a
kaca
Kejadian itu PASS:3-buat-IRR cermin
'Jadikanlah kejadian itu pelajaran.' (
Ogloblin 2005
, hlm. 605)
- Menyatakan permintaan (
hortative
).
(8)
Ngombe-a
banyu godhogan
minum-IRR air rebusan
'Minumlah air rebusan.' (
Ogloblin 2005
, hlm. 605)
Verba dengan modus imperatif tidak dapat diawali dengan
pelengkap
yang berupa pelaku, dan ditandai dengan imbuhan
-en
atau
-a
. Verba intransitif tidak memiliki bentuk imperatif khusus.
(9)
tutup-an-a
tutup-
TR1
-
IMP
Mripat=mu
tutup-an-a
mata=2.GEN tutup-TR1-IMP
'Pejamkan matamu.' (
Ogloblin 2005
, hlm. 603)
Bentuk propositif merupakan bentuk imperatif yang digunakan untuk memerintahkan diri sendiri atau mengekspresikan keinginan untuk melakukan sesuatu.
Morfem
tak
atau
dak
digunakan sebelum verba untuk memarkahi modus propositif aktif. Tidak seperti awalan pronominal
tak-
atau
dak-
yang tidak dapat didahului oleh subjek persona pertama, konstruksi propositif aktif dengan
tak/dak
dapat didahului oleh subjek (
mis.
aku
tak nggoreng iwak
'aku bermaksud menggoreng ikan'). Pemarkah propositif aktif ini juga bisa dipisahkan dari verba yang mengikutinya, seperti yang bisa dilihat dari contoh (10?11).
(10)
Aku
tak
nusul
Bapak dhewean
1 1.PRPV AV:susul Bapak sendirian
'Biarkan aku menyusul Bapak sendirian.' (
Ogloblin 2005
, hlm. 606)
(11)
Aku
tak
dhewean wae
nusul
Bapak
1 1.PRPV sendirian PTCL AV:susul Bapak
'Biarkan aku sendiri saja menyusul Bapak.' (
Ogloblin 2005
, hlm. 606)
Imbuhan
-e
atau
-ipun
digunakan untuk menandakan bentuk propositif pasif.
Di sini morfem
tak-
berfungsi serupa dengan awalan pronomina
tak-
yang digunakan dalam bentuk pasif pada modus indikatif dan irealis.
(12)
Tak=Ø-plathok-an-e
1
=
PASS
:
1
/
2
-belah-
TR1
-
PRPV
Tak=Ø-plathok-an-e
kayu=mu
1=PASS:1/2-belah-TR1-PRPV kayu=2.GEN
'Biarkan kubelah kayumu.' (
Ogloblin 2005
, hlm. 606)
Dalam bentuk-bentuk non-indikatif (irealis/subjungtif, imperatif, dan propositif), imbuhan
-i
dan
-ake
bersinonim dengan imbuhan
-an
dan
-n
seperti dalam rangkaian imbuhan
-an-a
,
-an-e
,
-n-a
, dan
-n-e
. Imbuhan-imbuhan ini sering dianggap sebagai bentuk yang padu (
-ana
,
-ane
,
-na
, dan
-ne
), walaupun beberapa linguis menganggap bahwa imbuhan-imbuhan ini sejatinya terdiri dari dua komponen yang berbeda, yaitu
-an
dan
-n
yang merupakan imbuhan derivatif, serta
-a
dan
-e
yang merupakan pemarkah modus.
Sistem penulisan
Saat ini bahasa Jawa modern ditulis menggunakan tiga jenis aksara, yaitu aksara Jawa, abjad Pegon, dan alfabet Latin.
Aksara Jawa
Aksara Jawa merupakan
aksara berumpun Brahmi
yang diturunkan dari
aksara Pallawa
lewat
aksara Kawi
. Aksara tersebut muncul pada abad ke-16 tepatnya pada era keemasan hingga akhir Majapahit.
[70]
[71]
Pengurutan aksara Jawa secara tradisional menggunakan pengurutan Hanacaraka. Pengurutan aksara ini diciptakan menurut legenda
Aji Saka
untuk mengenang dua orang pembantunya, Dora dan Sembada, yang berselisih paham tentang pusaka Aji Saka. Sembada ingat bahwa hanya Aji Sakalah yang boleh mengambil pusaka tersebut, sedangkan Dora diminta Aji Saka untuk membawakan pusaka Aji Saka ke Tanah Jawa. Perselisihan ini berujung pada pertarungan sengit; mereka memiliki kesaktian yang setara dan kedua-duanya pun mati.
[72]
Aksara Jawa saat ini digunakan secara luas di ruang publik, terutama di wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Aksara Jawa dipasang mendampingi alfabet Latin pada papan nama jalan, papan nama instansi, maupun di tempat umum.
[73]
[74]
Aksara yang berkerabat dengan aksara Jawa adalah
aksara Bali
yang diturunkan dari versi awal dari aksara Jawa pada abad ke-16.
Abjad Pegon
Muncul bersama masuknya Islam di Jawa serta berkembang selama masa-masa keemasan Kerajaan Demak hingga Pajang,
abjad Pegon
yang bersaudara dengan
abjad Jawi
(Arab-Melayu) mengadopsi huruf-huruf Arab standar dengan ditambahkan huruf-huruf baru yang sama sekali tidak ada dalam abjad Arab maupun bahasa Arab asli. Kecuali jika orang Arab memahami dan menguasai bahasa Jawa, huruf-huruf pegon tidak bisa dipahami oleh orang Arab. Jika abjad Jawi selalu tanpa
harakat
(penanda vokal), abjad Pegon ada yang berharakat dan ada yang tidak. Pegon yang tidak berharakat disebut Gundhil. Abjad Pegon menjadi materi wajib yang diajarkan di banyak pesantren Jawa. Kata
pegon
berarti "menyimpang", maksudnya adalah bahwa "bahasa Jawa yang ditulis menggunakan abjad Arab merupakan sesuatu yang tidak lazim."
[75]
[76]
[77]
Alfabet Latin
Latinisasi bahasa-bahasa Nusantara telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda. Pada abad ke-17, teknologi percetakan sudah mulai diperkenalkan di Hindia Belanda dan hal ini menyulitkan sejumlah pihak Belanda untuk menuliskan bahasa Jawa menggunakan alfabet Latin. Alfabet Latin sendiri mulai diintensifkan untuk mentranskripsi karya-karya yang ditulis menggunakan aksara Jawa dan Pegon pada abad ke-19. Dengan kompleksnya penulisan aksara Jawa, transkripsi itu membutuhkan sebuah standar. Standar yang pertama kali dibuat untuk transkripsi Jawa-Latin adalah
Paugeran Sriwedari
, diciptakan di Solo pada tahun 1926.
[70]
Karena paugeran tersebut sangat kompleks dan sulit menyesuaikan perkembangan zaman?terutama banyaknya kosakata serapan bahasa Inggris dan Indonesia ke dalam bahasa Jawa?pada tahun 1993 diterbitkanlah buku berjudul
Pedoman Penulisan Aksara Jawa
, di Yogyakarta.
[78]
Aksara lain
Pada masa lampau, bahasa Jawa kuno ditulis menggunakan
aksara Kawi
dan
aksara Nagari
. Banyak dijumpai di prasasti-prasasti dari abad ke-8 hingga abad ke-16, aksara ini terus mengalami perubahan baik dari segi bentuk dan tipografinya.
[79]
[80]
Sastra
Di antara bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Jawa merupakan bahasa dengan budaya kesusastraan paling tua. Bahasa Melayu Kuno, walaupun lebih dulu muncul secara kronologis dalam prasasti-prasasti dari abad ke-7, tidak merepresentasikan sebuah budaya kesusastraan yang stabil.
Sastra Jawa Kuno mayoritasnya berbentuk
kakawin
, sementara sastra Jawa Pertengahan banyak yang menggunakan bentuk
kidung
.
Ratusan karya sastra berbahasa Jawa Kuno disusun antara abad ke-9 dan ke-15. Banyak di antara karya ini yang didasarkan pada karya sastra yang berasal dari India, seperti
Ramayana
dan
Mahabharata
.
Sejak setidaknya awal abad ke-20, pertumbuhan pesat dalam populasi serta tingkat literasi telah menjadikan karya sastra tulisan sebagai sesuatu yang tidak lagi eksklusif ditemui pada kalangan aristokrat semata. Karya-karya sastra pun bermunculan dalam genre yang lebih beragam.
Dialek
Bahasa Jawa dapat dibagi ke dalam dua kelompok dialek utama, yaitu kelompok barat yang masih mempertahankan pengucapan /a/ sebagai
[a]
di posisi terbuka, serta kelompok tengah dan timur yang mengganti
[a]
dengan
[?]
. Konsonan hambat dalam kelompok dialek barat umumnya juga masih diucapkan dengan
menggetarkan pita suara
.
Menurut
J. J. Ras
, profesor emeritus bahasa dan sastra Jawa di
Universitas Leiden
, dialek-dialek bahasa Jawa dapat digolongkan berdasarkan persebarannya menjadi tiga, yaitu 1) dialek-dialek barat, 2) dialek-dialek tengah, dan 3) dialek-dialek timur. Penjabarannya adalah sebagai berikut:
- Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah barat (Kulon)
- Banyumas?Wonosobo?Kebumen Barat (
Banyumasan
)
- Indramayu
?
Cirebon
- Tegal
?Brebes?
Pemalang
?
Pekalongan
- Banten (
Serang
)
- Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah tengah (Tengah)
- Kebumen?Bagelen?Magelang?Temanggung (
Kedu
)
- Surakarta?Yogyakarta (
Mataram
)
- Madiun?Kediri?Blitar (
Mataraman
)
- Semarang?Demak?Kudus?Jepara (
Semarangan
)
- Blora?Rembang?Pati?Bojonegoro?Tuban (
Muria/Aneman
)
- Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah timur (Wetanan)
- Surabaya?Malang?Pasuruan (
Arekan
)
- Banyuwangi (
Osing
)
Tingkat tutur
Informasi lebih lanjut mengenai tingkatan bahasa:
Ngoko
dan
Krama
Bahasa Jawa memiliki beberapa tingkat tutur, atau ragam bahasa yang berhubungan dengan etika pembicara pada lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Penggunaannya bergantung pada hal-hal seperti derajat tingkat sosial, umur, jarak kekerabatan dan keakraban.
Perbedaan antara tingkat tutur dalam bahasa Jawa utamanya adalah pada kosakata serta imbuhan yang digunakan.
Berdasarkan derajat formalitasnya, kosakata dalam bahasa Jawa dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu 1)
ngoko
, 2)
madya
, dan 3)
krama
.
Bentuk
ngoko
digunakan untuk berbicara kepada orang yang akrab dengan pembicara. Bentuk
krama
, yang jumlahnya ada sekitar 850 kata, digunakan untuk berbicara secara formal kepada orang yang belum akrab atau derajat sosialnya lebih tinggi. Beberapa imbuhan juga memiliki padanan
krama
. Sementara itu, bentuk
madya
jumlahnya amat terbatas, hanya sekitar 35 kosakata khusus, dan digunakan untuk mengekspresikan derajat formalitas yang sedang.
Selain tiga ragam kosakata yang didasarkan pada derajat formalitas, ada pula jenis kosakata yang digunakan untuk menandakan penghormatan (
honorific
) atau perendahan diri (
humilific
), yaitu
krama inggil
dan
krama andhap
.
Bentuk
krama inggil
digunakan untuk merujuk pada seseorang yang dihormati oleh pembicara, kepemilikannya, serta perbuatannya. Bentuk
krama andhap
digunakan untuk merujuk pada hal-hal yang ditujukan pembicara atau orang lain kepada orang yang dihormati tersebut. Beberapa pronomina persona juga memilki padanan
krama andhap
.
Karena bentuk
krama inggil
dan
krama andhap
bukan penanda derajat formalitas, kosakata jenis ini dapat digunakan dalam semua tingkat tutur.
Jumlah seluruh kosakata dalam kategori ini adalah sekitar 280 buah.
Padu-padan kosakata dari kategori-kategori ini membentuk tiga tingkat tutur kalimat, sesuai nama leksikon utama yang digunakan, yaitu
ngoko
,
madya
, dan
krama
, yang masing-masingnya juga memiliki beberapa subtingkat. Pilihan penggunaan tingkat tutur ini bergantung pada keakraban atau kedekatan hubungan antara pembicara dengan lawan bicaranya. Perbedaan antara subtingkat dalam setiap tingkat tutur biasanya tergantung pada penggunaan leksikon
krama inggil
dan
krama andhap
yang menandakan penghormatan pembicara kepada lawan bicara yang memiliki status sosial yang lebih tinggi.
Keterangan
- ^
Definisi "Melayik" Dyen berbeda dengan definisi yang diterima para ahli secara luas sejak 1990-an; Melayik versi Dyen memiliki cakupan yang lebih luas, termasuk di antaranya bahasa
Madura
dan bahasa
Aceh
.
- ^
Ultima
merujuk pada suku kata terakhir sebuah kata. Penultima merupakan suku kata kedua dari belakang, dan antepenultima merupakan suku kata ketiga dari belakang.
- ^
Fonem
/n/
,
/l/
,
/r/
, dan
/s/
(serta
/z/
) ditandai sebagai fonem dental dalam analisis
Ogloblin (2005)
, alveolar dalam analisis
Wedhawati dkk. (2006)
, dan retrofleks dalam analisis
Nothofer (2009)
. Fonem
/t/
dan
/d/
secara konsisten selalu ditandai sebagai konsonan dental;
Wedhawati dkk. (2006)
secara spesifik menyebut keduanya sebagai konsonan "apiko-dental", yaitu konsonan yang diucapkan dengan menempelkan ujung lidah ke gigi atas.
- ^
Kedua konsonan ini ditandai sebagai "apiko-palatal" oleh
Wedhawati dkk. (2006)
.
- ^
Wedhawati dkk. (2006)
tidak memasukkan
/?/
dan
/x/
sebagai fonem pinjaman dalam bahasa Jawa.
- ^
Kluster homorganik adalah gabungan konsonan yang diucapkan pada satu tempat artikulasi yang sama, seperti
/mb/
dan
/nd/
.
- ^
Varian
dhewekne
,
dhekne
, dan
dheknene
juga umum ditemui.
- ^
Panjenengane
dipakai dalam konteks
ngoko
, sementara
panjenenganipun
dipakai dalam konteks
krama
.
- ^
Valensi adalah konsep tata bahasa mengenai hubungan antara verba dengan jumlah
argumen
yang dirujuk olehnya. Semakin tinggi valensi sebuah verba, semakin banyak argumen yang bisa dirujuk olehnya. Verba intransitif, misalnya, memiliki valensi terkecil, karena hanya dapat merujuk pada satu argumen saja.
Rujukan
Catatan kaki
- ^
a
b
c
d
Wulandari, Trisna.
"Badan Bahasa: Ada Kemunduran Penutur Bahasa Jawa, Bagaimana agar Tak Punah?"
.
detikedu
. Diakses tanggal
2023-11-25
.
- ^
Ethnologue
(dalam bahasa Inggris) (edisi ke-25, 19), Dallas:
SIL International
,
ISSN
1946-9675
,
OCLC
43349556
,
Wikidata
Q14790
, diakses tanggal
23 April
2022
- ^
a
b
"Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa"
. Diakses tanggal
2021-03-19
.
- ^
Hammarstrom, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023).
"Javanesic"
.
Glottolog 4.8
. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.
- ^
"UNESCO Interactive
Atlas of the World's Languages in Danger
"
(dalam bahasa bahasa
Inggris
,
Prancis
,
Spanyol
,
Rusia
, and
Tionghoa
).
UNESCO
. 2011. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 29 April 2022
. Diakses tanggal
26 Juni
2011
.
- ^
"UNESCO
Atlas of the World's Languages in Danger
"
(PDF)
(dalam bahasa Inggris).
UNESCO
. 2010. Diarsipkan dari
versi asli
(PDF)
tanggal 31 Mei 2022
. Diakses tanggal
31 Mei
2022
.
- ^
"Bahasa Jawa"
.
www.ethnologue.com
(dalam bahasa Inggris). SIL Ethnologue.
- ^
"Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 9 Tahun 2012"
.
Diarsipkan
dari versi asli tanggal 2021-05-02
. Diakses tanggal
2021-03-20
– via data.go.id.
- ^
Putra, Yudha Manggala P. (2015-09-03).
"Pertahankan Bahasa Lokal Sebagai Identitas"
.
Republika Online
.
Diarsipkan
dari versi asli tanggal 2021-05-02
. Diakses tanggal
2021-03-20
.
- ^
a
b
Gaul aksara Jawa
(edisi ke-1). Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
ISBN
978-602-0809-08-3
.
OCLC
953823997
.
- ^
Kozok, Uli (1999).
Warisan leluhur : sastra lama dan aksara Batak
. Ecole francaise d'Extreme-Orient., Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta [Indonesia]: Ecole francaise d'Extreme-Orient.
ISBN
979-9023-33-5
.
OCLC
46390839
.
Diarsipkan
dari versi asli tanggal 2023-04-12
. Diakses tanggal
2019-12-25
.
- ^
Dwiyanto, Djoko (2009).
Kraton Yogyakarta : sejarah, nasionalisme & teladan perjuangan
(edisi ke-1). Yogyakarta: Paradigma Indonesia.
ISBN
978-979-17834-0-8
.
OCLC
320349826
.
- ^
Sumarno (2008-02-04).
"Solo Wajibkan Aksara Jawa di Papan Nama"
.
Okezone.com
.
Diarsipkan
dari versi asli tanggal 2019-12-25
. Diakses tanggal
2019-12-25
.
- ^
Widjanarko, Tulus (2017-05-12). Widjanarko, Tulus, ed.
"Papan Nama Jalan di Yogyakarta Akan Tampil Antik dan Khas"
.
Tempo.co
.
Diarsipkan
dari versi asli tanggal 2019-12-25
. Diakses tanggal
2019-12-25
.
- ^
"BUDAYA?Mengenal Aksara Arab Pegon: Simbol Perlawanan dan Pemersatu Ulama Nusantara"
.
Diarsipkan
dari versi asli tanggal 2019-09-05
. Diakses tanggal
2019-09-05
.
- ^
"Huruf Pegon, Sarana Kreativitas Umat Islam di Jawa Masa Lalu"
.
Poskota News
. 2016-07-01. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 2019-09-05
. Diakses tanggal
2019-09-05
.
- ^
Sedyawati, Edi (2001).
Sastra Jawa : suatu tinjauan umum
(edisi ke-1). Jakarta: Pusat Bahasa.
ISBN
979-666-652-9
.
OCLC
48399092
.
Diarsipkan
dari versi asli tanggal 2023-04-12
. Diakses tanggal
2019-12-25
.
- ^
Dipodjojo, Asdi S. (1996).
Memperkirakan titimangsa suatu naskah
. Yogyakarta: Lukman Ofset Yogyakarta.
ISBN
979-8515-06-4
.
OCLC
38048239
.
Diarsipkan
dari versi asli tanggal 2023-04-12
. Diakses tanggal
2019-12-25
.
- ^
Nala, Ngurah (2006).
Aksara Bali dalam Usada
(edisi ke-1). Surabaya: P?ramita.
ISBN
979-722-238-1
.
OCLC
170909278
.
- ^
Rochkyatmo, Amir (1996). Guritno, Sri, ed.
Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa
(PDF)
. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Daftar pustaka
- Adelaar, Karl Alexander (2005).
"Malayo-Sumbawan"
.
Oceanic Linguistics
. University of Hawai'i Press.
44
(2): 356?388.
doi
:
10.1353/ol.2005.0027
.
- Blust, Robert
(1981).
"The reconstruction of proto-Malayo-Javanic: an appreciation"
.
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde
. Brill.
137
(4): 456?459.
JSTOR
27863392
.
- Blust, Robert (2010). "The Greater North Borneo Hypothesis".
Oceanic Linguistics
. University of Hawai'i Press.
49
(1): 44?118.
JSTOR
40783586
.
- Conners, Thomas J. (2008).
Tengger Javanese
(Tesis Doktoral). New Haven: Yale University.
- Dyen, Isidore
(1965).
A lexicostatistical classification of the Austronesian languages
. Baltimore: Waverly Press.
- Ladefoged, Peter
;
Maddieson, Ian
(1996).
The Sounds of the World's Languages
. Oxford: Blackwell.
ISBN
9780631198154
.
- Naim, Akhsan; Syaputra, Hendry (2011).
Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010
. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
ISBN
9789790644175
.
- Nothofer, Berndt (1975).
The reconstruction of Proto-Malayo-Javanic
. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
73
. Den Haag: Martinus Nijhoff.
ISBN
9024717728
.
- Nothofer, Berndt (2009).
"Javanese"
. Dalam Keith Brown; Sarah Ogilvie.
Concise Encyclopedia of Languages of the World
. Oxford: Elsevier. hlm. 560?561.
ISBN
9780700712861
.
- Ogloblin, Alexander K. (2005).
"Javanese"
. Dalam K. Alexander Adelaar; Nikolaus Himmelmann.
The Austronesian Languages of Asia and Madagascar
. London dan New York: Routledge. hlm. 590?624.
ISBN
9780700712861
.
- Poedjosoedarmo, Soepomo (1968).
"Javanese Speech Levels"
.
Indonesia
. Cornell University Press.
6
: 54?81.
JSTOR
3350711
.
- Ras, Johannes Jacobus
, ed. (1979).
Javanese Literature since Independence
. Den Haag: Martinus Nijhoff.
ISBN
9789004287198
.
- Ras, Johannes Jacobus (1985).
Inleiding tot het modern Javaans
. Dordrecht, Belanda dan Cinnaminson, AS: Foris Publications.
ISBN
9789067650731
.
- Robson, Stuart Owen (2014).
Javanese Grammar for Students: A Graded Introduction
. Clayton, Victoria: Monash University Publishing.
ISBN
9781922235374
.
- Smith, Alexander D. (2017).
"The Western Malayo-Polynesian Problem"
.
Oceanic Linguistics
. University of Hawai'i Press.
56
(2): 435?490.
doi
:
10.1353/ol.2017.0021
.
- Subroto, Daliman Edi; Soenardji; Sugiri (1991).
Tata bahasa deskriptif bahasa Jawa
. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Uhlenbeck, Eugenius Marius
(1982).
Kajian morfologi bahasa Jawa
. Indonesian Linguistics Development Project.
4
. Jakarta: Penerbit Djambatan.
- Wedhawati; Nurlina, Wiwin Erni Siti; Setiyanto, Edi, ed. (2006).
Tata bahasa Jawa mutakhir
. Yogyakarta:
Kanisius
.
ISBN
9789792110371
.
Bacaan lanjutan
Pranala luar
|
---|
Penulisan
| | |
---|
Tingkatan
| |
---|
Dialek
| Bagian Barat
| |
---|
Bagian Tengah
|
|
---|
Bagian Timur
|
|
---|
|
---|
Bahasa terkait
| |
---|
Topik terkait
| |
---|
|
---|
Umum
| |
---|
Perpustakaan nasional
| |
---|