Pengangkutan batubara dengan troli listrik di tambang batubara Ombilin di Sawahlunto.
Tambang batu bara terbuka yang ada di Ombilin, sekitar 1890.
Batu bara di daerah ini ditemukan oleh insinyur Belanda
Willem Hendrik de Greve
pada tahun 1868.
Penambangan terbuka
lalu dimulai pada tahun 1892 seiring dengan rampungnya pembangunan infrastruktur pendukung berupa rel kereta api untuk mengangkut batu bara dari tambang ini ke
Pelabuhan Teluk Bayur
,
Padang
. Sebelum Indonesia merdeka, produksi batu bara di tambang ini mencapai puncaknya pada tahun 1930, dengan total produksi mencapai lebih dari 620.000 ton. Produksi batu bara di Ombilin pun dapat memenuhi 90% dari total kebutuhan energi di seantero Hindia Belanda.
[2]
Mulai tahun 1942 hingga 1945, tambang ini dikendalikan oleh
pemerintah pendudukan Jepang
. Setelah Indonesia merdeka, mulai tahun 1945 hingga 1961, tambang ini dikelola oleh
Direktorat Pertambangan
. Mulai tahun 1961 hingga 1968, tambang ini dikelola oleh sebuah
perusahaan negara
(PN) bernama PN Tambang Batubara Ombilin.
[6]
Pada tahun 1968, PN Tambang Batubara Ombilin digabung dengan PN Tambang Batubara Mahakam dan PN Tambang Batubara Bukit Asam untuk membentuk PN Tambang Batubara.
[7]
Pada tahun 1984, status PN Tambang Batubara diubah menjadi
perusahaan umum
(Perum).
[8]
Pada tahun 1990,
Perum Tambang Batubara
digabung ke dalam PT
Tambang Batubara Bukit Asam
.
[9]
Produksi tambang ini pernah mencapai puncaknya pada tahun 1976 dengan total produksi sebesar 1.201.846 ton per tahun.
[10]
Pada 2002, cadangan batu bara di tambang terbuka Ombilin mulai menipis. Setelah itu, hanya tambang bawah tanah yang terus beroperasi.
[11]
China National Technology Import-Export Corporation
(CNTIC) pernah menginvestasikan $100 juta untuk tambang Ombilin.
[11]
[12]
Pada 2008, tambang ini diperkirakan memiliki cadangan sekitar 90,3?juta ton
batu bara
pembuat
kokas
, di antaranya 43?juta ton bisa ditambang.
[10]
Tambang ini menghasilkan sekitar 500.000 ton batu bara setiap tahunnya.
[10]
Pada tahun 2019, Bukit Asam menghentikan operasinya di Ombilin.
Saat ini, sisa-sisa kejayaan tambang di Sawahlunto dikelola untuk menggerakkan roda perekonomian kota berbasis industri pariwisata warisan budaya. Kawasan bekas tambang dihijaukan dan infrastruktur peninggalan kolonial direvitalisasi untuk tujuan wisata, di antaranya kini dijadikan kebun binatang, pacuan kuda, dan danau. Lubang bekas galian tambang diberi pencahayaan yang cukup dan pasokan udara, salah satunya
Lubang Tambang Mbah Soero
, untuk menarik wisatawan lokal dan asing, terutama dari Malaysia dan Singapura. Wisatawan dapat masuk dengan biaya Rp30.000 per orang.
[2]
[10]