Skeptisisme
adalah sikap mempertanyakan atau mencurigai segala sesuatu karena adanya keyakinan bahwa segala sesuatu bersifat tidak pasti.
[1]
Para penganutnya menyakini adanya pengetahuan yang diduga sebagai keyakinan atau dogma belaka. Kata skeptisisme berasal dari kata skeptis yang menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) berarti kurang percaya atau ragu-ragu terhadap keberhasilan ajaran dan sebagainya.
Secara etimologis, skeptisisme berasal dari
bahasa Yunani
σκ?πτομαι (
skeptomai
) yang berarti 'untuk melihat sekitar' atau 'untuk mempertimbangkan'.
[2]
Kata skeptis tidak harus dipahami sebagai sikap negatif yang langsung meragukan sesuatu dan tidak memercayai keberadaan
pengetahuan
.
[3]
Sebab pada pelaksanaannya, skeptisisme mempertanyakan sesuatu dengan cara menyampaikan argumen yang terstruktur untuk menimbulkan keraguan agar mendapatkan penjelasan yang akurat dan memadai.
[2]
Secara formal, skeptisisme merupakan topik yang menarik dalam
filsafat
, khususnya
epistemologi
. Sedangkan secara informal, skeptisisme dapat diterapkan pada topik apa pun, seperti politik, agama, atau
pseudosains
. Ini sering diterapkan dalam ranah yang terbatas, seperti moralitas (skeptisisme moral),
teisme
(skeptisisme tentang keberadaan Tuhan), atau
supernatural
. Tom Friedman dari
New York Times
mengatakan bahwa skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah ditipu. Seorang yang skeptis akan berkata: "Saya kira itu tidak benar. Saya akan mengeceknya."
[4]
.
Dalam penggunaan sehari-hari, skeptisisme dapat diartikan sebagai sikap keraguan atau kecenderungan untuk tidak percaya, baik secara umum maupun terhadap objek tertentu. Skeptisisme juga dapat disebut sebagai doktrin bahwa pengetahuan bukan hal yang pasti, sebuah metode penilaian yang ditangguhkan, keraguan yang terstruktur, atau karakteristik dari kritik skeptis.
[5]
Sedangkan dalam
filsafat
, skeptisisme dapat merujuk pada metode penyelidikan yang menekankan pengawasan kritis, kehati-hatian, dan ketelitian intelektual; metode untuk mendapatkan pengetahuan melalui keraguan terstruktur dan pengujian terus-menerus; seperangkat tuntutan mengenai keterbatasan pengetahuan manusia dan tanggapan yang tepat untuk keterbatasan tersebut.
Tingkat keraguan dalam skeptisisme
sunting
Skeptisisme dapat digolongkan berdasarkan tingkat keraguannya. Dalam
filsafat
, setidaknya ada tiga pemetaan skeptisisme.
Pertama
, skeptisisme yang diperkenalkan oleh
Aristoteles
, yaitu sikap menunda putusan penilaian dan mempertanyakan semua dugaan dan simpulan, sehingga orang terpaksa menjustifikasi dirinya dengan analisis yang kritis.
Kedua,
skeptisisme yang diperkenalkan dalam
fenomenalisme
Immanuel Kant
, bahwa pengetahuan hanya terkait dengan pengalaman atau fenomena dan pikiran manusia tidak mampu mengetahui sumber atau landasan dari pengalaman.
Ketiga,
skeptisisme yang dipelopori oleh
Gorgias
dari kelompok
sofis
Yunani
, yaitu mustahil mencapai pengetahuan dan pencarian kebenaran merupakan hal yang sia-sia.
[6]
Skeptisisme sebagai sebuah pemahaman bisa dirunut dari
Yunani Kuno
. Pemahaman yang kira-kira secara gampangnya “Tidak ada yang bisa kita ketahui”, “Tidak ada yang pasti”, “Saya ragu-ragu.” Sebuah pernyataan yang akan diprotes karena memiliki
paradoks
. Jika memang tidak ada yang bisa diketahui, dari mana kamu mengetahuinya. Jika memang tidak ada yang pasti, perkataan itu sendiri sesuatu kepastian. Setidaknya dia yakin kalau dirinya ragu-ragu.
Skeptis juga bisa dianggap sebagai sifat. Kadang kita juga melakukannya tanpa kita sadari. Ketika kita mendengar bahwa ada cerita kita diculik pocong tentu saja kita mengerutkan kening. Kemudian kita tidak mempercayai dengan mudah, kita anggap isapan jempol,
urban legend
(dongeng)
,
palsu. Orang skeptis bisa memberikan argumen-argumen keberatan terhadap cerita tersebut. Mereka meminta bukti, menyodorkan fakta kenapa cerita itu tak mungkin dan lain sebagainya.
Dengan kata lain meragukan. Sifat skeptis artinya sifat meragukan sesuatu. Tidak mau menerima dengan mudah apa adanya. Selalu meragukan sesuatu jika belum ada bukti yang benar-benar jelas. Jika ada cerita maka tidak langsung mempercayainya.
Sifat semacam ini penting bagi
ilmu pengetahuan
. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu kepastian yang seakurat mungkin karena itu ilmuwan diharapkan skeptis.
Ilmuwan
tidak boleh langsung percaya begitu saja terhadap berita, percobaan dan lain sebagainya. Ini karena metode dalam ilmu pengetahuan yang ketat.
Jika seseorang menyatakan sebuah teori misalnya “Naga itu ada!” Ilmuan kemudian bertanya. Mana buktinya? Ilmu selalu mempertanyakan bukti. Ini karena ilmu tidak boleh mudah percaya. Ini karena di dunia banyak penipu dan pembohong, ada mereka yang menyatakan melihat sesuatu padahal tidak ada di sana. Ada juga mereka yang merasa melihat sesuatu padahal sebenarnya tidak. Jika komunitas ilmuwan hendak mempercayai hal semacam ini tanpa bukti dan meminta yang lain supaya percaya, maka ilmu pengetahuan akan dipenuhi hal-hal yang tidak bisa dipercaya kebenarannya.
[7]
Sikap skeptis adalah sebuah pendirian di dalam
epistemologi
(filsafat pengetahuan) yang menyangsikan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya. Penganut skeptisisme sudah ada sejak zaman Yunani kuno, tetapi di dalam filsafat modern,
Rene Descartes
adalah perintis sikap ini dalam
metode ilmiah
. Kesangsian
descartes
dalam metode kesangsiannya adalah sebuah sikap skeptis, tetapi skeptisisme macam itu bersifat metodis, karena tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan kepastian yang tak tergoyahkan, yaitu:
cogito
atau
subjectum
sebagai instansi akhir pengetahuan manusia. Di dalam filsafat D. Hume kita menjumpai skeptisisme radikal, karena ia tidak hanya menyangsikan hubungan-hubungan kausal, melainkan juga adanya substansi atau realitas akhir yang bersifat tetap.
Dalam filsafat klasik, mempertanyakan merujuk kepada ajaran mengenai s
keptikoi
. Dalam ilmu filsafat, dari yang dikatakan bahwa mereka "Tidak menyatakan apa-apa selain pandangan sendiri saja". Dalam hal ini, keraguan filsafati atau
Pyrrhonisme
adalah posisi filsafat yang harus menangguhkan satu keputusan dalam penyelidikan.
[8]
Dalam agama, mempertanyakan merujuk kepada "Keraguan tentang prinsip-prinsip dasar agama (seperti keabadian, pemeliharaan, dan wahyu)"
[5]
. Pandangan yang mirip tetapi tak sama dengan Ian G. Barbour, yaitu John F. Haught yang membagi pendekatan sains dan agama, menjadi pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan kontak, dan pendekatan konfirmasi. Untuk itu, secara singkat membahas empat pemikiran Haught tentang hubungan sains dan agama, sebagai berikut:
Pendekatan Konflik
, suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dipadukan. Artinya banyak pemikir [saintis] yang memandang bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman, sedangkan agama berdasarkan keyakinan. Kaum skeptis ilmiah sering mengatakan agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau “keyakinan”, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu bersandar pada imajinasi yang liar, sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif. Jadi, pertautan antara keduanya tidak dengan mudah dapat dilakukan. Keduanya memiliki perbedaan mendasar sehingga upaya menyandingkan keduanya dalam satu ”kotak” tentu akan memicu beberapa persoalan, terutama terkait dengan benturan-benturan konseptual, metodologis dan ontologis antara ”sains” dan ”agama”. Secara tegas dapat dikatakan, bahwa dalam sejarah, sikap ”ekspansionis” agama maupun ”sains” menolak pengavelingan wilayah masing-masing. Keduanya sulit dipaksa berdiam dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin memperluas wilayah signifikansinya ke kotak-kotak lain. Maka, ketika satu ”kotak” didiami oleh dua entitas ini, terbukalah peluang terjadinya konflik antara keduanya.
Pendekatan Kontras
, suatu pernyataan bahwa tidak ada pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan dan agamawan [teolog] tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains. Menurut kubu kontras, ”agama” dan ”sains” sangat berbeda sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama valid meskipun hanya dalam batas ruang penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, keduanya harus dipisahkan antara satu dan lainnya. Jika agama dan sains sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan yang sama, tentu saja mereka akan bertentangan. Sains dan agama benar-benar mempunyai tugas-tugas yang tidak sama dan tetap menjaga agar sains dan agama berada dalam wilayah yurisdiksinya masing-masing. Jadi, agama dan sains tidak perlu mencampuri urusan satu sama lain.
Pendekatan Kontak
, suatu pendekatan yang mengupayakan dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara untuk menghubungkan agama dengan sains, sebab Haught, tidak rela membiarkan dunia ini terpilah-pilah menjadi dua ranah (dikotomi). Namun, ia juga tidak setuju pada harmoni yang dangkal dalam pendekatan peleburan. Maka menurutnya, pendekatan ini setuju bahwa sains dan agama jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dalam dunia nyata, mereka tidak dapat dikotak-kotakkan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh kubu pendekatan kontras. Kata mempertanyakan dapat menggambarkan posisi pada sebuah klaim, namun di kalangan lain lebih sering menjelaskan yang menetapkan kekekalan pikiran dan pendekatan untuk menerima atau menolak informasi baru. Individu yang menyatakan memiliki pandangan mempertanyakan sering disebut bersikap skeptis, akan tetapi sering terlupakan apakah sikap secara filsafati mempertanyakan atau ketidakpercayaan secara empiris sebenarnya malahan adalah pernyataan sebuah pengakuan.
Di Indonesia ada beberapa pandangan yang membuat perbedaan tegas antara agama dan kepercayaan kepada Tuhan. Yaitu yang pertama meyakini agama datang dari Tuhan melalui Rasul-Nya yang kemudian terabadikan melalui pesan ilahi ke dalam kitab suci, sedangkan yang kedua tidak lagi mengenal konsep ketuhanan dan kerasulan. Selain itu, muncul istilah yang populer yaitu ”agama langit” dan ”agama bumi” yang mengundang perdebatan.
[9]
- ^
Rahim, F. R., dan Sari, S. Y. (2019).
Perkembangan Sejarah Fisika
. Purwokerto: CV IRDH. hlm.?452.
ISBN
978-623-7343-14-1
.
- ^
a
b
Richard H, Popkin (1967).
“Skepticism” dalam Encyclopedia of Philosophy
. Diterjemahkan oleh Paul, Edwards. USA: Macmillan Inc. hlm.?461.
- ^
Keraf, Sony, dan Mikhael Dua (2001).
Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis
. Yogyakarta: Kanisius. hlm.?40?41.
- ^
Ishwara, Luwi (2007).
Catatan-catatan Jurnalisme Dasar
. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm.?1.
ISBN
9789797092023
.
- ^
a
b
"Definition of SKEPTICISM"
.
www.merriam-webster.com
(dalam bahasa Inggris)
. Diakses tanggal
2021-12-12
.
- ^
Harol H., Titus (1946).
Living Issues in Philosophy
. New York: American Book Company. hlm.?201.
- ^
"Skeptisisme dalam Ilmu"
. Diarsipkan dari
versi asli
tanggal 2011-10-18
. Diakses tanggal
18 Agustus
2015
.
- ^
Empiricus, Sextus (1933).
Outlines Of Pyrrhonism
. Diterjemahkan oleh R. G., Bury. Cambridge: Harvard University Press. hlm.?21.
- ^
Okezone (2011-02-18).
"Skeptisisme terhadap Agama"
.
Okezone.com
. Diakses tanggal
2020-11-29
.