Chatib Sulaiman lahir tahun 1906 di
Sumpur
, sebuah
nagari
yang terletak di
afdeling
(wilayah administratif setingkat kabupaten pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda)
Tanah Datar
, Sumatera Barat. Nagari ini terletak di tepi
Danau Singkarak
.
[1]
Leon Salim
(1987) dalam manuskripnya berjudul
Khatib Sulaiman
, menyebut Chatib terlahir dari keluarga mapan. Sedari kecil, putra Haji Sulaiman dan Siti Rahma itu dididik dalam pola budaya
Minangkabau
.
[2]
Pagi hari, ia berangkat ke
Hollandsch Indlandsche School
(
HIS
)
Adabiah
, sore belajar mengaji dan
silat
, kemudian malam harinya menginap di
surau
yang terletak di Pasar Mudik, Padang.
[2]
Di tengah kemapanan hidup, usaha dagang ayah Khatib di
Pasar Gadang
jatuh bangkrut. Sekolahnya di
MULO
tetap lanjut atas bantuan saudagar kaya
Abdullah Basa Bandaro
, seorang tokoh yang terkenal di kalangan kaum nasionalis, islamis, dan komunis pada awal pergerakan kebangsaan di Sumatera Barat.
[2]
Di bawah asuhan Basa Bandaro, pola pemikiran Khatib di dunia pergerakan dan pada masa revolusi kemerdekaan telah terbentuk. Pengalaman hidup Khatib selama 23 di Pasar Gadang dalam menikmati masa pendidikan, violist, maupun mengisi suara untuk film bisu di sebuah bioskop di Padang, turut memberi pengaruh terhadap watak dan kepribadiannya.
Chatib Sulaiman (berdiri nomor 5 dari kiri) bersama ulama-ulama dan tokoh Minangkabau
Pada tahun 1930, Khatib yang hobi menggesek biola ini memutuskan hijrah ke
Padang Panjang
, episentrum dari pusat pendidikan dan pergerakan kebangsaan. Dalam buku
Menuju Lentera Merah
ditulis bahwa masa itu Padang Panjang telah menjelma sebagai pusat modernisasi Islam, yang ditandai dengan lahirnya
Muhammadiyah
dan dua sekolah Islam modernis
Sumatra Thawalib
dan
Diniyah School
.
[2]
Euforia pergerakan Islam di Padang Panjang, juga dipengaruhi modernisasi transportasi massal kereta api, yang mendorong mobilisasi manusia dan barang dalam jumlah besar. Disadari atau tidak, segmen-segmen peristiwa besar itu mendorong Khatib untuk terlibat aktif di dalamnya.
Pemuda Khatib masa itu telah mengajar di
HIS Muhammadiyah
, diminta menjadi juru penerjemah
El-Hilaal
, sebuah kepanduan milik PMDS dan Sumatra Thawalib. Sampai di akhir 1930 terjadi perpecahan di tubuh El-Hilaal.
[2]
Khatib dan sahabatnya
Leon Salim
memutuskan untuk mendirikan
Kepanduan Indonesia Muslim
(KIM) pada Juli 1931.
[2]
Penggunaan kata Indonesia dari rangkaian akronim KIM, menurut Fikrul, menarik dicermati. Pengakuan kata Indonesia bisa disebut kali pertama terjadi di Sumatra, khusus untuk kelompok padvinder Islam mau melekatkan kata Indonesia. Tren lain dalam tubuh KIM adalah keterlibatan perempuan dalam kepanduan yang digawangi Dahniar Zainuddin, Timur Latif, dan Dinar Sulaiman.
Di tengah kesibukannya mengurus kepanduan, Khatib tetap menyempatkan dirinya untuk membaca buku-buku bernuansa religius, nasionalis, sosialis, dan lainnya. Kecenderungan-kecenderungan di atas, memang telah menjangkiti kalangan terpelajar dan aktivis organisasi pada awal abad ke-20, sehingga di sela-sela waktu mereka masih menyempatkan diri untuk melahap bacaan dari 'luar' (Kahin, 1996).
Terstrukturnya pola pikir dan gerak cepat Khatib pasca-Kolonial Belanda nantinya, diduga kuat dipengaruhi oleh bacaan-bacaan yang dilahap selama bermukim di Padang Panjang. Rasa nasionalisme yang kuat, mendorongnya untuk membentuk organisasi
Pendidikan Nasional Indonesia
, atau yang dikenal dengan PNI Baru.
Khusus Sumatera Barat,
Mohammad Hatta
mendaulat Khatib Sulaiman sebagai anggota pimpinan umum, dengan posisi sebagai pengkader.
[2]
Suasana dalam kursus-kursus yang diselenggarakan oleh PNI Baru di bawah binaan Khatib dan kesungguhan anggota-anggotanya, mengingatkan banyak orang kepada Workers Education Association (WEA).
Anggota PNI Baru di bawah binaan Khatib, sebagian besar berpendidikan menengah, namun mereka menginginkan suatu pendidikan politik yang berwarna sosialis yang membawa mereka melampaui batas-batas gaya agitasi nasionalisme yang sempit. Pada 24 Maret 1933 dalam konferensi pertama PNI Baru di Padang Panjang, Khatib telah merumuskan pendidikan politik untuk rakyat, taktik, dan strategi, yang diarahkan pada kader-kader PNI Baru.
[2]
Karena dianggap telah menyebarkan rasa permusuhan dan merusak
rust en orde
(ketenangan dan ketertiban), Khatib pun dihukum buang ke Kota Cane (
Kutacane
)
Aceh
pada tahun 1942, bersama Leon Salim, Dt. Mandah Kayo, Murad Saad, Rajo Bujang, dan Khaidir Ghazali.
[2]
Hampir saja melayang jiwanya, namun segera diselamatkan serdadu militer Jepang yang diminta
Bung Karno
mencari keberadaan pemuda Khatib di Kota Cane.
[2]
Melihat kecerdasan Khatib,
pemerintah Jepang
pun segera merekrutnya sebagai
think tank
membentuk barisan keamanan. Atas prakarsa Khatib, dibentuklah barisan
Giyugun
, yang merupakan cikal bakal pembentukan TNI di Sumatera Barat.
[2]
Pada tanggal
14 Januari
1949, Chatib Sulaiman sebagai Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah memimpin suatu rapat di Lurah Kincia, Situjuh Batua,
Kecamatan Situjuah Limo Nagari
,
Kabupaten Lima Puluh Kota
, Sumatera Barat. Rapat diikuti Bupati Militer dan beberapa pimpinan pejuang lainnya serta puluhan orang pasukan pengawal. Hasil rapat memutuskan kota
Payakumbuh
yang sedang dikuasai
Belanda
harus diserang dari segala arah lalu mendudukinya untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa perjuangan rakyat
Indonesia
masih tetap ada. Hal ini dilakukan untuk melawan opini yang dibentuk Belanda bahwa Indonesia telah mereka kuasai sepenuhnya.
[3]
Keberadaan mereka akhirnya diketahui Belanda. Pada subuh hari tanggal
15 Januari
1949 saat para pejuang akan melaksanakan shalat subuh, mereka diberondong tembakan oleh Belanda. Chatib Sulaiman dan beberapa pimpinan perjuangan beserta puluhan orang lainnya tewas seketika, diantaranya
Arisun Sutan Alamsyah
(Bupati Militer Limapuluh Kota), Letkol
Munir Latief
, Mayor Zainuddin, Kapten Tantawi, Lettu Azinar, Letda Syamsul Bahri serta 69 orang pasukan
Barisan Pengawal Nagari dan Kota
(BPNK).
[4]
Peristiwa yang dikenal sebagai
Peristiwa Situjuah
ini menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing yang telah berlangsung begitu lama.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan dan kepahlawanannya beberapa kota di Sumatera Barat menyandangkan nama Chatib Sulaiman sebagai nama jalan, seperti
Jalan Khatib Sulaiman, Padang
, salah satu jalan utama di Kota Padang