Balai Pustaka
(
Ejaan Van Ophuijsen
:
Balai Poestaka
) adalah perusahaan yang bergerak di bidang
penerbitan
, percetakan dan multimedia.
PT Balai Pustaka
Perusahaan induk
| Danareksa
|
---|
Status
| Beroperasi
|
---|
Didirikan
| 22 September 1917
; 106 tahun lalu
?(
1917-09-22
)
|
---|
Pendiri
| Adviseur voor Inlandsch Zaken
|
---|
Negara asal
| Indonesia
|
---|
Kantor pusat
| Jakarta
|
---|
Tokoh kunci
| Achmad Fachrodji (Direktur Utama)
|
---|
Jenis terbitan
| - Buku sastra
- Buku pendidikan
- Buku bacaan umum
- Kamus
- Pustaka Digital
- Taman Bacaan Masyarakat
|
---|
Situs resmi
| www
.balaipustaka
.co
.id
|
---|
PT Balai Pustaka telah resmi menjadi anggota Holding PT Danareksa (Persero) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Danareksa, dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 143/KMK.06/2022 tanggal 18 April 2022 tentang Penetapan Nilai Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) dengan pengalihan seluruh saham seri B milik Negara RI pada Perseroan kepada PT Danareksa (Persero) untuk dijadikan sebagai tambahan penyertaan modal Negara RI pada PT Danareksa (Persero) sebanyak 99% kepemilikan saham dan 1 lembar saham seri A Dwiwarna kepemilikan pemerintah Republik Indonesia.
Balai Pustaka didirikan dengan nama Komisi untuk Bacaan Rakyat (
Belanda
:
Commissie voor de Volkslectuur
, selanjutnya KBR) oleh
pemerintah
Hindia Belanda
pada tanggal
15 Agustus
1908
. Lembaga itu berada di bawah naungan Biro Penasehat Urusan Pribumi (
Belanda
:
Adviseur voor Inlandsch Zaken
) yang termasuk ke dalam Departemen Pendidikan dan Keagamaan (
Belanda
:
Departement van Onderwijs en Eeredienst
).
[1]
KBR atau lebih dikenal dengan nama "Balai Poestaka" pada tanggal 17 September
1917
.
[2]
KBR menerbitkan kira-kira 350 judul buku per tahun yang meliputi
kamus
, buku referensi, keterampilan, sastra, sosial, politik, agama, ekonomi, dan penyuluhan.
[3]
Kios
Balai Poestaka di
Purwokerto
pada masa Hindia Belanda.
Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia Belanda. Bahasa-bahasa ini adalah
bahasa Jawa
,
bahasa Sunda
,
bahasa Melayu
, dan
bahasa Madura
.
Ada visi alternatif yang menyebutkan bahwa pendiriannya kala itu konon untuk mengantisipasi tingginya gejolak perjuangan bangsa
Indonesia
yang hanya bisa disalurkan lewat karya-karya tulisan. Berbagai tulisan masyarakat anti-Belanda bermunculan di
koran-koran
daerah skala kecil, sehingga perusahaan penerbitan ini lalu didirikan Belanda dengan tujuan utama untuk meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan menyalurkan nya secara lebih manusiawi sehingga tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda di Indonesia.
Tujuan lain yang dilakukan oleh KBR yaitu menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa hal ini juga bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang di negaranya sendiri.
Tidak semua usaha yang dilakukan oleh KBR negatif. Usaha-usaha yang positif antara lain: mengadakan perpustakaan di tiap-tiap sekolah, mengadakan peminjaman buku-buku dengan tarif murah secara teratur, memberikan bantuan kepada usaha-usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan, menerbitkan majalah-majalah Sari Pustaka dan Panji Pustaka dalam bahasa Melayu Kejawen dalam bahasa Jawa, dan majalah Parahiangan dalam
bahasa Sunda
. Selain itu, KBR menerbitkan majalah anak-anak dalam bahasa Melayu, Kanak-Kanak, dan dalam bahasa Jawa, Taman Botjah.
[2]
Langkah maju yang dilakukan KBR, yang telah berhasil sebagai pencetak, penerbit, dan penjual majalah, adalah mengubah KBR menjadi Yayasan Resmi Balai Pustaka pada tahun 1917.
Buku Bale Poestaka (
Supraba lan Suminten
, 1923)
Salah satu novel dalam
bahasa Melayu
terbitan Balai Pustaka kala itu yang ternama berjudul
Siti Noerbaja
karangan
Marah Roesli
, seorang
penulis
dari
Minangkabau
.
Di era itu juga menjadi penanda penyebaran
sastra Jawa Modern
. Jumlah buku
berbahasa Jawa
lebih banyak dibandingkan yang berbahasa Melayu. Dari penelusuran
George Quinn
, pada katalog Balai Pustaka di
1920
, ada 40 buku
berbahasa Madura
, 80 judul
berbahasa Melayu
, hampir 100 buku
berbahasa Sunda
, dan hampir 200 berbahasa Jawa. Pada tahun ini pula lahir novel
Serat Rijanto
karangan
Raden Bagoes Soelardi
yang menjadi tonggak sastra Jawa modern.
Era pendudukan Jepang - sekarang
sunting
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), Balai Pustaka tetap eksis namun menggunakan nama lain, yaitu
Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku
(
軍政監部?民?書局
)
. Nama ini artinya kurang lebih adalah "Biro Pustaka Rakyat, Pemerintah Militer Jepang" dan merupakan terjemahan dari nama Belanda
Commissie voor de Volkslectuur
.
Pada era
Orde Baru
sebagai sebuah perusahaan penerbitan, Balai Pustaka memasuki masa kejayaannya. Karena saat itu terdapat kebijakan yang mengharuskan instansi pemerintahan melakukan penerbitan buku dan sejenisnya melalui Balai Pustaka. Pada tahun
1995
atas inisiasi dari Ibu
Tien Soeharto
, Balai Pustaka bersama
Yayasan Supersemar
akan membangun
Taman Pustaka dan Literasi Indonesia
atau TAMPUSINDO seluas 130 hektare di timur
Taman Wisata Mekarsari
, Daerah
Jonggol, Bogor
yang kala itu menjadi kandidat
Ibukota Indonesia
.
Taman Pustaka dan Literasi Nasional
atau TAMPUSINDO, akan difungsikan sebagai objek wisata edukasi, museum, galeri pustaka, dan pusat gerakan literasi dan menulis di
Indonesia
. Selain itu dikawasan TAMPUSINDO juga akan dijadikan sebagai Kantor Pusat Balai Pustaka dan Sekretariat Nasional Himpunan Penerima Beasiswa Supersemar. Namun, rencana itu gagal akibat lahan tersebut yang masih dimiliki oleh
Yayasan Supersemar
menjadi objek sitaan
Kejaksaan Agung
karena
Dugaan Korupsi Soeharto
.
Pasca Reformasi Balai Pustaka justru mengalami kemunduran. Menurut
Menteri BUMN
,
Mustafa Abubakar
, Balai Pustaka kini terancam bangkrut dan akan dilikuidasi karena terus mengalami kerugian.
[4]
Pada tanggal 24 Januari 2022, pemerintah Indonesia resmi menyerahkan mayoritas saham perusahaan ini ke
Danareksa
, sebagai bagian dari upaya untuk membentuk holding BUMN yang bergerak di lintas sektor.
[5]
Ketika masih bernama
Commisie voor de Inlansche School en Volkslectuur
, badan penerbitan ini dipimpin oleh G.A.J. Hazeu yang dibantu enam orang anggota. Pemimpin selanjutnya adalah D.A. Rinkes yang menjabat ketika badan ini sudah bernama
Kantor voor de Volkslectuur
.
Sejumlah sastrawan Indonesia pernah menjadi redaktur Balai Pustaka, di antaranya
Sutan Takdir Alisjahbana
,
Nur Sutan Iskandar
,
Achdiat K. Mihardja
,
Pramoedya Ananta Toer
,
Utuy Tatang Sontani
,
Rusman Sutiasumarga
,
Hamid Jabbar
,
Abdul Hadi W.M.
, dan
Subagio Sastrowardoyo
Setelah cendekiawan pribumi menulis untuk Balai Pustaka, kecurigaan semula tentang niat Pemerintah Hindia Belanda di balik Balai Pustaka berangsur berkurang. Beberapa cendekiawan itu adalah
Mohammad Yamin
, Agus Salim, Sutomo, Mariah Ulfah Santoso, Amir Syarifuddin, Mangunsarkoro, Margonohadikumo,
Sumanang
, dan Bahder Johan.
Animasi (2016), Balai Pustaka mengembangkan konten buku menjadi film animasi, seperti Film Lutung Kasarung dan Timun Emas
Audio Book (2017), Balai Pustaka meluncurkan Audio Book. Audio Book ini diangkat dari buku-buku back list serta buku baru Balai Pustaka yang kembali diterbitkan dan dibuat dalam format Audio Book.
edubp (2019), merupakan perpustakaan digital berbentuk
Smartbox
yang berisikan
Platform
, Konten, Animasi, dan Video yang dikemas dengan menarik dan dapat dinikmati oleh pengguna
Smartphone
dan
PC
desktop tanpa memakai kuota internet.
Smartbox
ini dapat digunakaan secara bersaman.