Alur
Sugiati (
Fifi Young
) adalah ibu empat anak, tiga laki-laki (Achmad
Rd. Ismail
, Idris
S. Poniman
, Sumadi
A. Sarosa
) dan satu perempuan bernama Supinah (
Sulami
). Ia mencintai semuanya, tetapi Sumadi mendapat perhatian lebih karena ia tidak terlalu diperhatikan ayahnya, Subagio (
Ali Yugo
). Tanpa sepengetahuan keluarganya, Subagio menjalani hidup sebagai perampok dan setelah ditangkap, Sumadi menyatakan dirinya sebagai pelaku dan diasingkan. Dengan rasa bersalah, Subagio jatuh sakit dan meninggal dunia sehingga Sugiati harus bertahan hidup sendirian. Anak-anaknya yang kaya, Achmad dan Idris, menolak mengurusnya. Putrinya, Supinah, mau mengurusnya tetapi dirinya sendiri terlalu miskin. Akibatnya, Sugiati harus mencari tempat tinggal dan bergantung pada belas kasih orang lain. Setelah pulang dari pengasingan, Sumadi membalas dendam terhadap saudara-saudaranya.
Produksi
Majestic Film Company asal
Malang
mengumumkan
Air Mata Iboe
pada Juni 1941 bersama dua film lain,
Boedi Terbenam
dan
Bachtera Karam
.
[2]
[a]
Produksi langsung dimulai setelah itu.
[2]
Film ini disutradarai dan ditulis
Njoo Cheong Seng
dengan nama pena M. d'Amour dan diproduseri
Fred Young
, pemilik Majestic.
Film ini dibintangi istri Njoo, Fifi Young (tidak ada hubungan dengan Fred), Rd. Ismail, A. Sarosa, dan Ali Yugo.
Njoo sebelumnya menyutradarai
Djantoeng Hati
(1941) yang juga berakhir tragis. Akan tetapi, ini adalah film pertama yang dibintangi istrinya di Majestic; ia sakit saat syuting film sebelumnya. Dibantu penata rias, Young memerankan Sugiati muda dan tua.
Film
hitam putih
ini disertai sebelas lagu
keroncong
yang digubah
pengarah musik
R. Koesbini.
Lima pemeran film ini adalah penyanyi keroncong yang cukup terkenal, Soerip, Titing, Soelami, Ning Nong, dan Poniman.
Produksi
Air Mata Iboe
dimulai pada tahun 1941 dan menghabiskan anggaran besar.
Berdasarkan kesaksian sutradara
Tan Tjoei Hock
,
Air Mata Iboe
masih belum rampung saat
pendudukan Jepang
dimulai pada awal 1942.
[11]
Pendudukan tersebut berujung pada penutupan nyaris semua studio film di
Hindia Belanda
.
[11]
Njoo sudah mendirikan grup teaternya sesaat setelah pendudukan dimulai dan didukung Fred dan Fifi Young.
[11]
Menurutnya, Tan menyelesaikan film ini antara tahun 1942 dan 1945.
Sejumlah iklan dan ulasan yang diterbitkan di berbagai koran
Surabaya
mencantumkan bulan Desember 1941.
[11]
[12]
Rilis dan tanggapan
Air Mata Iboe
tayang perdana di Sampoerna Theater, Surabaya, pada tanggal 24 Desember 1941.
[11]
Film ini juga diiklankan dengan judul Belanda
Tranen Eener Moeder
, sebagai "ekstravaganza musikal".
[11]
[b]
[11]
Sebuah ulasan anonim di
Soerabaijasch Handelsblad
mencatat banyaknya penggunaan musik keroncong dan memuji akting dan pembawaan lagu oleh aktor-aktornya.
[11]
Ulasan tersebut juga memperkirakan banyak penonton
pribumi
yang mau menonton film ini.
[12]
Air Mata Iboe
adalah film terakhir yang dibuat Majestic Film Company, yang kemudian ditutup pasca-pendudukan Jepang.
Versi daur ulangnya
yang disutradarai Fred Young dibuat tahun 1957 setelah Indonesia
merdeka
.
Fifi Young kembali berperan sebagai Sugiati, sedangkan Rd. Ismail sebagai Subagio. Para pemeran di film daur ulang ini tidak terlibat dalam film aslinya.
Film ini diduga telah
hilang
.
Antropolog visual Amerika Serikat
Karl G. Heider
menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya.
Akan tetapi,
Katalog Film Indonesia
yang disusun J.B. Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di
Sinematek Indonesia
dan
Misbach Yusa Biran
menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di
Dinas Informasi Pemerintah Belanda
.
Catatan kaki
- ^
Misbach Yusa Biran tidak menyebut dua judul terakhir ini di
daftar film Hindia Belanda
-nya. Film-film tersebut mungkin tidak pernah selesai dibuat.
- ^
Teks asli: "
muzikale extravaganza
"
Referensi
Daftar pustaka