Menyusul keberhasilan komersial
Terang Boelan
(1937),
Fatima
(1938), dan
Alang-Alang
(1939), industri film
Hindia Belanda
?- yang telah sangat lemah oleh
Depresi Besar
?- dihidupkan kembali. Produksi film meningkat, dan pada tahun 1940, empat rumah produksi baru didirikan.
Salah satunya adalah Union Films, yang didirikan oleh pengusaha etnis
Tionghoa
Ang Hock Liem sebagai investor utama dan Tjoa Ma Tjoen yang bertanggung jawab atas manajemen sehari-hari;
Liem diakui sebagai produser untuk sebagian besar rilisan perusahaan ini.
Union bermarkas di
Prinsenlaan
, Batavia (sekarang
Mangga Besar
, Jakarta), dan didirikan untuk "meningkatkan kualitas seni rupa Indonesia".
[a]
Film pertama perusahaan muda ini,
Kedok Ketawa
, dirilis pada bulan Juli 1940. Mengisahkan pasangan muda yang melawan penjahat dengan bantuan bandit bertopeng,
[4]
film ini disutradarai oleh Jo An Djan dan dibintangi Oedjang, Fatimah, dan Basoeki Resobowo.
Film ini mendapat tanggapan positif; jurnalis
Saeroen
, misalnya, menulis dalam
Pemandangan
bahwa kualitas film adalah sebanding dengan produksi Hollywood yang diimpor,
dan tinjauan anonim di
Bataviaasch Nieuwsblad
memuji sinematografinya.
Mengikuti tanggapan-tanggapan positif tersebut, Union merekrut Saeroen - yang sebelumnya menulis
Terang Boelan
dan beberapa karya untuk
Tan's Film
?? sebagai penulis skenario. Dia membuat debutnya untuk perusahaan ini dengan
Harta Berdarah
, disutradarai oleh karyawan baru R. Hu dan
Rd Ariffien
; Jo An Djan telah meninggalkan perusahaan ini untuk bekerja di Populair's Film. Film ini, yang mengisahkan seorang kaya yang meninggalkan komunitasnya untuk menderita sementara satu pasangan muda mencoba untuk menemukan jalan mereka, dirilis pada bulan Oktober 1940 dan dibintangi Soelastri, Zonder, RS Fatimah, dan Moesa.
[10]
Union merilis film ketiga mereka,
Bajar dengan Djiwa
pada Maret 1941.
Disutradarai oleh R. Hu, film ini adalah sebuah drama di mana seorang wanita muda dijual kepada seorang
rentenir
untuk membayar utang ayahnya.
Film ini menandai debut
film cerita
Djoewariah
; ia kemudian menjadi bintang wanita terkemuka perusahaan Union.
Ariffien, sementara itu, bertugas menyutradarai
Asmara Moerni
, berdasarkan naskah yang ditulis Saeroen. Mengambil keuntungan dari gerakan intelektual yang sedang tumbuh dengan menampilkan dokter muda
Adnan Kapau Gani
di sisi Djoewariah,
film roman ini mengisahkan tentang seorang pemuda yang akhirnya bisa menikah dengan mantan
pekerja rumah tangganya
setelah ia mendapat pendidikan.
Rilis April ini mendapat tanggapan yang bercampur: satu peninjau, untuk
Bataviaasch Nieuwsblad
, berpendapat bahwa film ini "menarik",
[b]
sementara peninjau yang lain untuk koran yang sama berpendapat bahwa film ini tetap bergantung pada tradisi panggung, yang telah dicela oleh iklannya.
Pada Juli 1941 Union merilis
Wanita dan Satria
, pelambung karier Djoewariah yang mengisahkan seorang mata keranjang yang menyalahgunakan statusnya untuk mendapatkan kepercayaan perempuan sebelum akhirnya mendapatkan pembalasan.
[18]
Dalam mengiklankan
Wanita dan Satria
, perusahaan ini kembali menekankan latar belakang non-teater para pemain film ini, yang juga termasuk Moesa, Djoewita dan Hidajat.
Tanggapan terhadap film ini mencerminkan klaim ini; satu peninjau, dari
Soerabaijasch Handelsblad
, menulis bahwa
Wanita Dan Satria
"memberikan gambaran yang jelas tentang posisi genting perempuan Indonesia dan memotivasi keinginan untuk garis yang lebih jelas mengehai hak-haknya dalam masyarakat muslim."
[c]
[18]
Film ini adalah film terakhir perusahaan ini yang disutradarai oleh Ariffien atau ditulis oleh Saeroen; keduanya segera bermigrasi ke perusahaan saingan Union,
Star Film
setelahnya.
Hu, bagaimanapun, tetap bekerja dengan Union. Produksi perusahaan ini berikutnya,
Soeara Berbisa
, disutradarai oleh Hu, dengan teknisi suara berdarah
peranakan
Boen Kin Nam sebagai asisten sutradara. Ditulis oleh Djojopranoto, karya ini mengisahkan dua pemuda yang bersaing untuk cinta seorang wanita sebelum mengetahui bahwa mereka adalah saudara yang telah lama terpisah.
Djoewita tidak lagi berakting bagi perusahaan ini pada saat itu. Maka, studio ini menyewa Raden Soekarno sebagai pemeran utama dalam film yang dirilis akhir 1941 ini.
Film produksi akhir perusahaan ini,
Mega Mendoeng
, disutradarai oleh Boen dan diumumkan segera setelah syuting untuk
Soeara Berbisa
telah dimulai. Film ini, sebuah roman yang dibintangi Soekarno dan bintang baru Sofiati, dirilis pada awal 1942.
Dalam memproduksi kedua film ini, Union menekankan realisme dan memasarkannya untuk sasaran kaum inteligensia.
Pada awal 1942, pemerintah kolonial Hindia Belanda telah kuatir dengan adanya kemungkinan invasi oleh
Kekaisaran Jepang
.
Ketakutan ini mencapai masyarakat umum Hindia, dan dalam edisi Februari 1942 majalah
Pertjatoeran Doenia Dan Film
dilaporkan bahwa beberapa studio film akan menjauh dari ibu kota kolonial Batavia atau masuk dalam masa hiatus produksi. Union, meskipun sudah memulai proses produksi film yang berlatar di era
Majapahit
berjudul
Damar Woelan
, terpaksa menutup perusahaan.
Ketika
Jepang menduduki Hindia
pada Maret 1942,
Union Films ditutup, dan tidak pernah dibuka kembali.
Selain Ariffien, yang terus menyutradarai film hingga tahun 1960-an,
tidak ada direksi atau produser dari Union Films yang kembali ke industri film setelah berakhirnya masa pendudukan Jepang pada tahun 1945. Namun beberapa aktor meneruskan karier mereka . Djoewariah, misalnya, membuat film pertamanya setelah meninggalkan Union,
Sehidup Semati
, pada tahun 1949, dan terus berakting sampai pertengahan 1950-an.
Sementara itu, karier Rd Soekarno berlangsung melampaui 1970-an; ia sebagian besar ditulis namanya sebagai Rendra Karno.
Tokoh-tokoh lainnya, seperti bintang
Kedok Ketawa
Basoeki Resobowo, memiliki karier di belakang layar; Resobowo menjadi penata seni di film-film seperti
Darah dan Doa
(1950).