Mania Member
Join Date: Mar 2012
Posts: 5,580
|
27 tahun tvri (1962-1989): Sewindu tanpa iklan, tanpa "ee... Ketemu lagi"
BETAPA saktinya TVRI! Begitu wajah kocak Benyamin S tampil di layar kaca sambil berseru, ?Eee.. ketemu lagi!?, kontan gaungnya terdengar di seantero nusantara. Di kota, di desa, di bus kota, di sekolah, di pasar, di WC umum, di mana-mana. Dari anak kecil, hingga kakek-nenek, dari tukang becak hingga pembesar, golongan besar-kecil, miskin-kaya, pria-wanita, semua jadi kelihatan lebih ramah dan akrab.
Bagaimana TVRI tidak ampuh? Ia bisa menyebarkan keakraban dari mana-mana. Bahkan, tahun 1981, pengaruhnya sudah mencapai 90 juta orang dalam daerah pancaran seluas 427.000 kilometer persegi, melalui sekitar 2,6 juta pemilik pesawat televisi yang terdaftar.
Itu tahun 1981 yang lalu, masa di mana para bintang iklan seperti Benyamin S, Kris Biantoro, S Bagio, atau berbagai sutradara manis begitu kerap memamerkan ini-itu pada pemirsanya melalui layar kaca. Masa sebelum 1 April 1981, sebelum Presiden Soeharto menghapuskan iklan dari TVRI melalui keputusannya.
?Untuk lebih memutuskan siaran televisi bagi kelancaran pelaksanaan program pembangunan, dan menghindarkan akibat-akibat samping yang tidak menguntungkan bagi semangat pembangunan,? demikian Pidato Presiden Soeharto ketika menyampaikan RAPBN 1981/1982 dalam sidang pleno DPR (5 Januari 1981).
Sejak itu, lenyaplah siaran iklan komersial di TVRI. Lenyap pula gaung anak-anak kecil menirukan berbagai jingle iklan TVRI. Padahal, sebenarnya di tahun 1989, potensi TVRI telah jauh berlipat ganda. Di akhir 1988, luas daerah pancarannya telah mencapai 600.000 kilometer persegi. Ini berarti, lewat sekitar 9 juta televisi yang terdaftar, TVRI waktu itu memiliki kekuatan mempengaruhi lebih dari 115 juta orang pemirsa.
Defisit
Tanpa iklan, toh terbukti TVRI masih bisa berjalan. Persoalannya, berjalan yang seperti apa? Bisa jadi, menyeret langkah. Sebelum siaran iklan dihapuskan, pembiayaan rutin TVRI didapat dari tiga sumber penting, yaitu subsidi pemerintah atau APBN rutin, iuran wajib pemilik pesawat TV, dan siaran iklan. Di tahun 1975-1976, subsidi pemerintah hanya sekitar 1% dari seluruh anggaran yang berjumlah Rp 37 milyar. Sumber yang terbesar secara nasional, didapatkan dari iuran pemilik pesawat TV, mencapai sekitar 60%.
Siaran niaga memberikan kontribusi 34% pada anggaran. Meskipun demikian, untuk TVRI Stasiun Pusat Jakarta, dominasi pendapatan tetap dari siaran niaga (iklan). Dominasi itu sukar diabaikan, mengingat bagian terbesar dari iuran digunakan untuk membiayai siaran jaringan nasional.
Menurut catatan Kompas di tahun 1981, pendapatan TVRI dari iklan saja waktu itu bisa mencapai Rp 20 milyar setahun. Menghapuskan dana sebesar itu pada awalnya, tentu terasa mencekik leher. Apalagi ternyata, subsidi yang diberikan kurang sepadan, sementara hasil pembayaran iuran televisi hingga delapan tahun kemudian, 1989, masih jauh di bawah sasaran.
Ketika iklan dihapuskan, alternatif memang jatuh pada dua pilihan itu, meningkatkan subsidi pemerintah yang berasal dari APBN, atau meningkatkan iuran TV, atau malah meningkatkan kedua-duanya.
Dari seluruh anggaran yang dicanangkan tahun 1989 itu, 78%-nya atau sekitar Rp 54 milyar, berasal dari penerimaan iuran pesawat TV. Itu pun baru berasal dari sekitar 40% seluruh jumlah pemirsa yang diharapkan membayar. Toh, jumlah ini sudah menunjukkan peningkatan yang berarti, sebesar 26% dari tahun 1987/1988.
Tahun 1986, subsidi Rp 12 milyar diterima dari APBN. Tahun 1987, turun jadi Rp 10 milyar. Dan tahun 1988/1989 itu, subsidi pemerintah ketika itu diharapkan sebesar Rp 14 milyar.
Namun, angka-angka sebesar itu ternyata jadi timpang jika dibandingkan dengan biaya operasionalnya untuk tahun 1987-1988 saja, dengan pemasukan iuran sekitar Rp 43 milyar dan subsidi Rp 10 milyar, biaya operasional yang harus dikeluarkan mencapai Rp 67,4 milyar. Jadinya, ya defisit lah TVRI (besarnya Rp 14,4 milyar). Saat itu, defisit menyebabkan catatan utang meumpuk. Terutama, tentunya pada Perumtel.
Sebab, TVRI juga mesti membayar sewa Satelit Palapa pada Perumtel. Meskipun rata-rata hanya digunakan delapan jam sehari (kecuali Minggu 12-13 jam), pembayaran tetap berlaku untuk 24 jam. Untuk satelit ini, TVRI harus mengeluarkan sekitar 1,3 juta dolar AS atau Rp 2,4 milyar satu tahun.
Bantuan
Melihat beratnya beban TVRI, pemasukan yang kemudian dikenal sebagai dana bantuan produksi menjadi sah saja. Dari acara musik seperti Aneka Ria Safari atau Selekta Pop, diperoleh dana bantuan produksi sebesar Rp 20 juta untuk tiap siaran.
Selain itu, untuk berita dan laporan kerjasama dengan departemen, lembaga atau instansi, besarnya biaya produksi dan bahan baku seperti film, tape video, sound recording processing, editing, dan penyiaran, dibebankan pada departemen, lembaga, atau instansi yang bersangkutan.
Namun, sekali lagi, jika dibandingkan dengan biaya operasional yang melangit sekitar Rp 20 juta tiap menit siaran, dana bantuan produksi ini juga ?belum seberapa?. Paling tidak, bisa sedikit mengatrol mutu agar tidak kelewat rendah.
?Pungutan resmi? yang dibebankan pada instansi departemen dan non-departemen waktu itu sebesar Rp 100.000 untuk setiap 10 menit berita tanpa suara dan Rp 150.000 dengan suara. Untuk laporan, sejak 1989, besarnya bertambah menjadi Rp 250.000 tiap 10 menit laporan tanpa suara. Dengan suara, biaya laporan jadi Rp 350.000.
?Jadi, walaupun istansi membayar Rp 100.000 misalnya, seringkali pada kenyataannya biaya yang dikeluarkan TVRI lebih dari 100 kali lipatnya,? ujar kepala seksi berita TVRI, Drs. JB Wahyudi. ?Ini karena dana bantuan produksi tersebut, belum memperhitungkan sewa satelit dan perlengkapan lain.?
Untuk event-event olahraga seperti terjun payung di Bali, dikenakan dana bantuan produksi yang lebih besar. Alasannya, ?Dalam acara seperti itu, iklan bertebaran di mana-mana melalui lensa televisi,? ujar JB Wahyudi. Kehadiran spanduk dan poster-poster promosi di arena peliputan seringkali merikuhkan penyelenggara siaran.
Murah meriah
Bila mengingat hasil iuran televisi merupakan sumber utama penghasilan TVRI, maka semestinya trend kenaikan biaya operasional menyebabkan juga kenaikan iuran televisi. Namun, hingga saat itu, televisi masih merupakan sarana hiburan yang murah-meriah. Coba saja, berapa yang dibayar seorang penonton tiap jam siaran?
Ambil contoh saja, iuran televisi berwarna untuk ukuran 14 inci iurannya sebesar Rp 2.000 tiap bulan. Yang lebih besar 17 inci, pemilik pesawat TV harus membayar Rp 2.500, dan untuk yang berukuran lebih dari 20 inci, pemilik harus membayar Rp 3.000 tiap bulan.
Jika kita anggap rata-rata pemilik pesawat televisi membayar Rp 3.000/bulan, maka iuran per harinya menjadi Rp 100. Apabila rata-rata layanan siaran seharinya 6,5 jam, maka iuran tiap jam jadi sekitar Rp 15. Lalu, jika satu keluarga dianggap terdiri dari satu bapak, satu ibu, dan satu anak saja, maka setiap kepala dala keluarga itu membayar hanya Rp 5 untuk tiap jam siaran.
Kenyataannya, jumlah Rp 5 itu bisa jauh lebih murah. Memang, inilah tontonan yang paling murah, sekalipun masih memperhitungkan lagi pengeluaran lain dari hadirnya sebuah pesawat televisi.
Dengan perhitungan dari atas, bisa saja berbagai pihak lantas maklum, bila TVRI menaikkan iuran penontonnya, apalagi dengan keharusan tanpa iklan.
Asumsinya, tentu jumlah pendapatan dari iuran plus subsidi bisa membiayai keseluruhan pengeluaran TVRI. Atau besar iuran selayaknya mengikuti trend kenaikan pembiayaan TVRI.
Bila kenaikan biaya disesuaikan dengan tingkat inflasi, Dirjen RTF Alex Leo Zulkarnaen dalam kertas kerjanya yang berjudul Peranan Iklan Dalam Pembiayaan Televisi pada tahun 1977, mengungkapkan bahwa semestinya tiap tahun harus ada kenaikan iuran pemilik pesawat TV, sedikitnya 15%. Tetapi, sekalipun ini logis dan beralasan, tampaknya tindakan semacam ini sangat ?tidak populer?. Jadi, haruskah TVRI waktu itu kembali pada siaran niaga?
Tidak haram
Meskipun merangsang konsumerisme, iklan tidak haram. Bahkan di teve Indonesia. Buktinya, saat itu RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) boleh menayangkan promosi aneka produk.
Namun, TVRI waktu itu tetap tidak boleh. Alasannya, RCTI waktu itu hanya menyiarkan iklan untuk DKI Jakarta dan sekitarnya melalui dekoder. Sedangkan TVRI bisa ditangkap sampai ke pelosok-pelosok. Jadi, saat itu dapat rawan bila rakyat di pedesaaan dirangsang dengan konsumerisme kemewahan, sedangkan daya belinya minim.
Padahal, menurut Kwik Kian Gie, seorang pengamat ekonomi, ledakan sosial selalu tidak datang dari desa, melainkan dari daerah-daerah kumuh di perkotaan. Mereka yang tinggal di daerah kumuh itu, justru yang setiap hari dihadapkan pada kemewahan dan kegemerlapan yang sangat luar biasa.
?Manusia telah mengenali dan menemukan ilmu pengetahuan atau kiat marketing yang di dalamnya mengandung promosi serta iklan sebagai salah satu instrumen yang sangat penting,? ujarnya.
Meskipun begitu, sikap selektif dan etis tetap harus dipertahankan. Iklan yang etis dan bertanggung jawab, menurutnya mempunyai peranan sangat penting bagi ekselerasi konsumsi, produksi, investasi, peningkatan pendapatan, perluasan lapangan kerja, peningkatan kemakmuran, dan kesejahteraan. ?Lucu bila TVRI yang dimiliki oleh rakyat melalui negaranya, tidak boleh melakukan peranan ini.?
Meskipun sasaran utama televisi sebagai sarana pendidikan, informasi, dan hiburan, kebutuhannya selalu menuntut baik dari segi kualitas, peralatan, maupun manusianya. Padahal, target pendidikan tentu sebagai sarana pendidikan, informasi dan hiburan.
Ambil perhitungan rata-rata satu jam siaran membutuhkan biaya Rp 20 juta. Biaya sebesar itu bisa lunas bila sepersepuluh waktu siaran dibeirkan pada iklan. Artinya, lima atau enam menit iklan bisa langsung tertutup ongkos siaran satu jam itu.
|